Chapter 2

1392 Kata
Pagi ini begitu dingin sampai membuatnya menggigil. Padahal Shin dewa kematian, tapi dia tetap merasakan cuaca dingin di dunia manusia setelah hujan deras mengguyur seharian. Tentu saja Shin tak kehilangan akal. Dipakainya mantel tebal dan dia lilit lehernya dengan syal. Shin mencurinya, omong-omong. Dia tahu perbuatan ini begitu buruk dan tercela. Tapi, apa boleh buat. Shin tak menduga cuacanya akan sedingin ini. Tak ada pemberitahuan semacam itu di daftar yang dikirimkan atasan. Yang tertulis di sana hanya nama, tempat, serta waktu orang yang akan dia cabut nyawanya. Tak lebih dari itu. Kalau mengingat bagaimana Shin mencuri mantel dan syal, rasanya dia sedikit menyesal telah melakukannya. Shin melihat butik yang menjual mantel itu tak jauh dari apartemen orang yang nyawanya hendak dia cabut. Pemilik butik itu begitu cantik bernama Magdaline. Shin suka sekali melihatnya tersenyum. Senyumnya begitu tulus dan lepas, membuat siapa pun merasa nyaman di dekatnya. Shin sedang bersin-bersin hebat karena kedinginan saat melihat Magdaline menaruh bungkusan sampah di depan butiknya. Sebagai dewa kematian, mudah baginya untuk mengetahui data dirinya. Begitu jemarinya menyentuh sudut mata, proyeksi biodata Magdaline tertampang jelas di depan matanya. Saat itulah Shin tahu hidup Magdaline tak lama lagi. Sayangnya, bukan Shin yang akan mencabut nyawanya, melainkan Flo. Dia kolega Shin sesama dewa kematian. “Wah, kau tak boleh sering-sering melihat data manusia, Shin.” Sebuah tepukan lembut mendarat di bahunya. Shin menoleh dan mendapati Flo sedang nyengir seraya menggigil kedinginan. Shin menahan tawa. Sepertinya Flo pun tak sanggup menghadapi cuaca dingin kota ini. “Apa boleh buat. Aku kedinginan sekali. Bagaimana kalau kita masuk dan ambil saja mantel itu?” Lagi-lagi Shin menahan tawa mendengar ucapan Flo, karena mereka punya pemikiran yang sama. Mereka segera masuk ke dalam butik, tepat saat Magdaline membuka pintu. Magdaline tak bisa melihat keberadaan Shin dan Flo. Bagi manusia normal, mereka tak ubahnya angin, bisa dirasakan tapi tak bisa dilihat atau dipegang. Butik milik Magdaline didominasi pakaian perempuαn. Bagus untuk Flo, dia bisa memilih baju mana pun yang dia mau. Sayangnya, Shin tak segila itu ingin mencoba gaun atau rok kembang-kembang. Akhirnya, Shin mencoba mencari di deretan mantel dan menemukan mantel berukuran jumbo dengan warna natural—bisa dipakai laki-laki maupun perempuαn. Shin pun segera mengenakan mantel itu. Di mata manusia, mantel itu masih ada di tempatnya. Hanya saja, telah terjadi penurunan kualitas karena Shin telah menduplikasi mantel itu menjadi dua bagian—ini salah satu kekuatan dewa kematian. Satu untuknya sendiri, satu lagi yang dijual Magdaline. Tindakan ini memang tak sepenuhnya mencuri, tapi tetap saja Shin telah membuat mantel itu tak layak jual akibat kainnya yang menipis. Selain mantel, Shin pun mencuri syal warna biru. Sengaja dia cari yang paling tebal agar saat dia curi, syal itu tak sepenuhnya menipis. “Nah, sudah. Kita keluar sekarang?” Flo mendekati Shin. Dia sudah memilih jaket warna merah muda dengan aksen bulu-bulu pada leher yang dipadu rok metalik. Dia juga memakai sepatu berhak warna hitam. Penampilannya tampak trendi, meski tentu saja semuanya hasil curian. “Aku sedikit merasa bersalah memakai ini,” ucap Shin, sedikit tidak nyaman memakai mantel curian. “Bayangkan kalau ada yang membeli baju yang kita pakai. Mereka pasti protes karena butik ini telah menjual baju yang kurang layak.” Flo mengibaskan tangannya tak peduli. “Kau sama sekali tak berubah, ya. Terlalu manusiawi. Selalu merasa tindakan kita sebagai penjahat. Ingatlah, kita ini dewa kematian. Kita tak perlu kasihan pada manusia. Baiklah, kita memang mencuri. Tapi, toh tak sepenuhnya. Manusia tak akan rugi kalau hanya kehilangan kualitas satu-dua barang. Jangan mengkhawatirkan mereka.” Shin menghela napas. Benar kata Flo. Itu pula yang diucapkan seniornya berkali-kali. Hanya saja Shin tak bisa menghilangkan perasaan telah berbuat salah pada manusia. Banyak yang bilang perasaan Shin terlalu halus sebagai dewa kematian. Mungkin benar apa yang mereka katakan. Padahal pekerjaan ini haruslah bersifat keji. Mencabut nyawa sangatlah berat. Shin harus mencongkel jiwa manusia yang berbentuk seperti kumpulan tetesan air itu berkali-kali. Tak mudah melakukannya, karena jiwa terlalu menempel erat pada jantung manusia. Untuk itulah Shin harus mengeruknya dengan tangan telαnjang sampai jiwa manusia keluar. Dan, pada saat proses itu dilakukan, Shin harus melihat manusia kesakitan. Bahkan pernah ada yang sampai menggelepar-gelepar akibat jiwanya yang enggan keluar dari raganya. Akibatnya, Shin harus ekstra keras mengobok-obok jantung manusia tersebut agar jiwanya dapat keluar bebas dan dia bisa mati dengan tenang. Sebenarnya, lebih mudah andai semua manusia mati karena kecelakaan. Khusus untuk kasus semacam ini, Shin tak perlu repot mencongkel jiwa mereka. Yang perlu dia lakukan hanya mengumpulkan jiwa manusia yang berserakan di tempat kejadian perkara. Hanya saja Shin harus teliti melakukannya. Karena jiwa manusia berbentuk seperti kumpulan tetesan air, maka Shin harus mengumpulkan pecahannya secara utuh. Kalau sampai ada yang tertinggal, pecahan jiwa itu bisa berubah menjadi makhluk tak diinginkan. Atau kalau di dunia manusia mereka disebut hantu atau setαn. “Jadi, dia kan yang nyawanya akan kau ambil? Pemilik butik ini?” ujar Shin seraya keluar dari butik. Tepat saat itu ada pengunjung yang datang, jadi Shin dan Flo sekalian keluar. Flo berhenti sejenak di depan butik. Dia menoleh ke belakang, memperhatikan Magdaline yang sedang melayani pengunjung yang baru datang. Magdaline bersikap ramah seraya menunjuk pakaian yang sepertinya dicari pengunjung tersebut. “Begitulah. Sayang sekali, kan? Dia akan mati sebentar lagi.” Flo mengedikkan bahu dengan gaya mencibir. “Aku tak peduli padanya, tentu saja. Aku mengunjunginya untuk mencari tahu apa datanya sudah sesuai dengan kondisi di lapangan. Ternyata sangat sesuai. Kau tahu beberapa hari lalu aku hampir saja salah mencabut nyawa gara-gara aku keliru membaca data. Aku tak mau hal itu terulang kembali. Kecerobohan itu menakutkan!” Shin tertawa pendek. “Bisa berbahaya kalau kau sampai salah mencabut nyawa manusia.” “Kau sendiri bagaimana? Korbanmu tinggal di sini juga?” tanya Flo. Shin sedikit bersungut-sungut mendengar ucapan Flo. Korban. Sungguh pilihan kata yang tak tepat, seakan-akan Shin adalah pembunuh berdarah dingin yang sengaja mengincar nyawa manusia. Padahal kenyataannya tak seperti itu. “Begitulah,” jawabnya. “Sama sepertimu, aku harus memastikan kondisi di lapangan dengan data yang dikirim padaku.” “Tunggu…” Mendαdak mata Flo memicing. Dia mencondongkan badannya mendekat, seakan menelisik apa yang tengah Shin pikirkan. “Oh! Oh! Jangan bilang kau sedang memperhatikan kehidupan korbanmu lagi? Kau masih sering melakukannya? Itu tindakan yang kurang bijak, Shin. Kau tahu itu, kan? Sebagai dewa kematian, kau harus menjaga jarak dengan manusia yang jiwanya akan kau ambil.” Flo menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Shin cuma meringis. Dia sudah tahu hal itu. Hanya saja Shin tak bisa berhenti melakukannya. Sebagai dewa kematian, Shin memang punya kuasa untuk mengambil jiwa manusia. Karena itulah paling tidak dia melakukannya untuk alasan yang benar. Atau paling tidak Shin tahu kenapa manusia-manusia itu harus meninggal. “Ya sudahlah, aku tak akan mencampuri urusanmu. Yang jelas aku sudah memperingatkanmu. Baiklah, aku pergi dulu. Mumpung di sini aku ingin jalan-jalan sebentar,” pamit Flo kemudian. Shin mengangguk, lalu melambaikan tangan pada Flo yang pergi menjauh. Dia menghela napas. Ditatapnya langit mendung di atas sana. Mendαdak udara berhembus dingin, membuat pipinya seolah beku. Saat itulah, dari kejauhan Shin melihat sosok yang begitu familier di matanya. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, menyadari sosok itu adalah pria yang nyawanya hendak dia cabut. Wajahnya mirip sekali dengan foto pada data yang dikirim padanya. Untuk memastikan, Shin menyentuh sudut matanya seraya melihat sosok itu. Tak lama, proyeksi biodata pria itu terpampang di depan matanya. Rupanya benar, datanya sudah sesuai. Menurut data yang dikirim, pria itu bernama Hans. Dia akan mati dua hari lagi. Tak disebutkan bagaimana caranya mati. Yang jelas, dia akan mati tepat pukul tiga sore. “Hei, Hans! Aku sudah menunggumu!” Dari kejauhan, dilihatnya Magdaline menyambut kedatangan Hans. Mereka berpelukan erat. Setelahnya, Magdaline mengajak Hans masuk ke dalam butik. Shin memperhatikan mereka dengan perasaan tak menentu. Sepertinya mereka berhubungan baik. Atau malah mereka sebenarnya sepasang kekasih? Entah kenapa hati Shin seolah teriris saat memikirkannya. Kalau itu benar, Magdaline tak akan tahu Hans akan mati dua hari lagi. Hans pun tak tahu Magdaline juga akan mati. Dua orang yang sama-sama mendekati ajal kini tengah berbicang akrab, tanpa tahu apa yang akan terjadi pada diri mereka. Shin menghela napas. Entah kenapa dia merasa buruk dengan apa yang akan dia lakukan pada jiwa Hans. Tapi, Shin sudah bertekad. Dia pun melangkahkan kakinya mendekati butik. Shin sudah tahu kapan Hans akan mati. Karena itu, dia harus tahu kisah hidupnya supaya tak ada perasaan bersalah karena Shin akan mencabut nyawanya nanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN