Tiga hari sudah, aku dan Mas Arfa menghabiskan waktu di Bali. Meski sempat dibarengi kerjaan, tetapi itu tidak terlalu mengganggu. Aku benar-benar menikmati setiap momennya. “Nda, lihat patungnya!” tiba-tiba saja, Mas Arfa menahanku, lalu menunjuk sebuah patung besar yang membuatku seketika memalingkan wajah. “Please, deh, aku udah lihat.” “Tetep bagus yang asli kan, Nda?” Aku tidak menjawab, dan lebih memilih untuk menarik Mas Arfa agar segera pergi. Namun, bukan Mas Arfa namanya, kalau dia menyerah begitu saja. Dia kembali menahanku, lalu menunjukkan yang lainnya. “Nda, yang itu lebih besar—“ “Tak getok, lho ya!” “Dih! Medok Jogjanya tumben keluar?” Aku mendengus pelan. “Cepet ah, panas.” Mas Arfa mengacak rambutku, lalu tertawa pelan. Saat ini, kami sedang jalan di tro

