BAB 12

1264 Kata
Rendra dan Doni mengunjungi Gedung Sate sejak pagi. Mereka berdua tidak masuk ke dalam Museum Gedung Sate, melainkan berkeliling di sekitar Gedung Sate untuk mencari spot foto yang menarik. Suasana di sekitar Gedung Sate tidak terlalu ramai pada hari Sabtu ini, berbeda dengan hari Minggu di mana banyak pengunjung yang melakukan olahraga atau sekadar jalan-jalan di sekitar sini. Doni sengaja memilih Gedung Sate sebagai lokasi foto karena ingin memotret dengan tema klasik. Menurut Doni, lokasi ini sangat cocok dengan keinginannya. Rendra hanya menuruti keinginan Doni saja. Sesekali Rendra memberikan pendapat mengenai objek yang akan di foto oleh Doni. Setelah lelah berkeliling, Rendra dan Doni memutuskan untuk mengisi perut mereka yang telah keroncongan. Mereka mencari rumah makan menaiki sepeda motor. Pilihan mereka jatuh pada sebuah rumah makan yang tidak terlalu ramai pada siang hari ini. Doni memarkir sepeda motor miliknya di depan rumah makan, lalu dia dan Rendra berjalan memasuki rumah makan itu. Doni menghentikan langkah di dekat pintu masuk. Rendra yang berjalan di belakangnya ikut menghentikan langkah dan menoleh. “Kenapa berhenti, Don?” tanya Rendra, heran. “Itu Bella dan temannya bukan, Ren?” Doni balik bertanya, menunjuk ke arah salah satu meja di mana ada dua orang perempuan sedang menyantap makanan di piring masing-masing sambil asyik mengobrol. Rendra memandang ke arah yang ditunjuk Doni. Dia membeku ketika mengenali salah satu sosok perempuan itu. Dia tidak menyangka mereka akan bertemu di tempat tak terduga seperti ini. “Iya, itu Bella,” ucap Rendra, ketika Doni kembali bertanya. Posisi tubuh Bella membelakangi pintu masuk sehingga mereka hanya melihat punggungnya saja. Namun, Rendra yakin kalau itu adalah Bella. “Wah ... sungguh kebetulan yang tak terduga,” komentar Doni, persis seperti yang dipikirkan Renda. “Ayo kita sapa mereka, Ren,” ajaknya kemudian. Rendra terkejut. “Tunggu, Don!” Dia ingin mencegah Doni menghampiri Bella dan Fika. Namun, Doni sudah berjalan terlebih dahulu mendekati meja tempat mereka makan. Rendra menghela napas panjang sebelum berjalan mengikuti Doni. “Bella. Fika,” sapa Doni, ketika tiba di dekat meja mereka. Bella dan Fika menoleh begitu mendengar nama mereka dipanggil. Keduanya tampak terkejut ketika melihat Doni dan Rendra. “Kak Doni. Kak Rendra.” Fika yang lebih dulu tersadar dari keterkejutannya dan menyapa mereka berdua. “Hai. Aku nggak menyangka bisa bertemu kalian di sini. Apa yang kalian lakukan di tempat ini?” tanya Doni, berjalan mendekat dan duduk di kursi sebelah Fika yang kosong. Bella dan Rendra terbelalak. Rendra bahkan memberi peringatan dengan sorot matanya agar Doni segera beranjak dari kursi yang baru saja didudukinya. Dia tidak mau mengganggu Bella dan Fika yang sedang makan siang. “Kami sedang makan, Kak,” jawab Fika. “Kakak sendiri apa yang sedang dilakukan di tempat ini?” lanjutnya balik bertanya. “Kami juga mau makan, Fik. Boleh, kan, kalau kita bergabung dengan kalian?” jawab dan tanya Doni. “I-iya. Boleh, Kak,” jawab Fika, yang langsung mendapat pelototan dari Bella. Fika hanya menyeringai melihat sorot mata protes yang ditunjukkan Bella kepadanya. Doni tersenyum mendapat persetujuan dari Fia. Dia kemudian memanggil seorang pelayan untuk memesan makanan. “Lo mau pesan apa, Ren?” tanya Doni, setelah menyebutkan menu makanan yang dipesannya. “Samakan saja dengan punya lo, Don,” jawab Rendra. “Baiklah,” sahut Doni, lalu meminta sang pelayan restoran menyiapkan dua porsi makanan dan minuman yang telah dipesannya. “Duduk, Ren! Lo mau makan sambil berdiri di situ?” perintah Doni, saat melihat Rendra masih berdiri di tempatnya. Rendra menghela napas berat. Dia melangkah mendekati meja, lalu mendudukkan diri di kursi kosong yang ada di sebelah Bella. Rendra tersenyum canggung ke arah Bella yang dibalas oleh Bella tak kalah canggung juga. Bella dan Fika melanjutkan makan siang mereka begitu makanan pesanan Doni dan Rendra tiba. Mereka berempat menyantap makanan di piring masing-masing sambil mengobrol ringan. Obrolan didominasi oleh Doni dan Fika, sementara Bella dan Rendra hanya sesekali menanggapi obrolan mereka. “Ini hanya perasaan gue saja atau memang elo berdua sedang perang dingin?” tanya Doni, memandang Bella dan Rendra bergantian. “Perang dingin apa, Don? Kami baik-baik saja,” sahut Rendra, memasang raut wajah bingung. “Lalu kenapa sejak tadi kalian hanya diam saja? Kalian sangat irit bicara,” komentar Doni. “Kami sedang makan, Kak,” kata Bella, memberikan alasan yang masuk akal. “Baiklah,” sahut Doni, tidak berkomentar lagi dengan sikap Bella dan Rendra. “Jadi, kalian dari mana saja tadi?” tanya Doni, mengganti topik pembicaraan. Dia memandang Fika dan Bella, ingin tahu. “Kami pergi ke Museum Gedung Sate dan Museum Geologi,” jawab Bella. “Apakah menarik? Aku dan Rendra pernah masuk ke sana dan langsung keluar dalam waktu lima belas menit. Museum sangat membosankan bagi kami berdua,” cerita Doni, sambil terkekeh. Fika dan Bella ikut terkekeh, sementara Rendra memasang wajah masam mendengar cerita Doni. Kejadian itu sudah terjadi sangat lama di saat mereka baru tiba di Bandung dan berkeliling mengunjungi tempat-tempat wisata yang ada di kota ini. “Aku rasa museum nggak semembosankan itu, Kak. Iya, kan, Bel?” komentar Fika, memandang Bella untuk mendukungnya. Bella mengangguk. “Iya, Kak. Koleksi museumnya cukup menarik ditambah dengan teknologi digital yang ada di Museum Gedung Sate, membuat kita serasa nggak berada di dalam museum,” ujarnya berkomentar. “Benarkah? Sepertinya lain kali kami harus masuk ke dalam museum lagi. Selama ini kami hanya berkeliling di sekitar museum. Benar, kan, Ren?” tanya Doni, meminta pendapat Rendra. “Iya, patut dicoba, Don,” sahut Rendra, setuju. “Setelah ini kalian mau ke mana, Fik, Bel?” tanya Doni lagi. “Kami akan pergi ke Upside Down World,” beri tahu Fika. “Wah ... kebetulan banget. Aku dan Rendra juga akan ke sana setelah ini. Bagaimana kalau kita pergi bersama?” usul Doni, tampak bersemangat. Bella dan Rendra kembali terbelalak mendengar ucapan Doni. “Apa?” tanya Doni, memandang Bella dan Rendra dengan raut wajah bingung. “Kita naik motor, ingat?” kata Rendra, mengingatkan. “Iya, gue tahu. Terus kenapa, Ren?” Doni balik bertanya, tak mengerti. “Tunggu ... tunggu! Kalian berdua naik apa ke sini?” tanyanya mulai paham maksud perkataan Rendra. Doni memandang Bella dan Fika, ingin tahu. “Kami naik kendaraan umum, Kak,” jawab Bella. Doni terdengar menghela napas kecewa. “Yah ... sayang banget aku dan Rendra enggak naik motor sendiri-sendiri. Kalau iya, kami bisa membonceng kalian ke Upside Down World.” “Enggak masalah, Kak. Kami bisa ke sana naik angkot atau kendaraan umum lainnya,” ucap Bella, tersenyum tipis. Sepertinya dia terlihat lega karena tidak jadi dibonceng oleh Doni atau Rendra ke Upside Down World. “Baiklah. Kalau begitu kami akan mengikuti kalian dari belakang,” timpal Doni. “Nggak perlu, Kak. Kami bisa ke sana sendiri,” tolak Bella, tak enak hati. “Enggak apa-apa, Bel, anggap saja kami pengawal kalian agar kita enggak terpisah saat berada di sana nanti,” ujar Doni. “Iya, kan, Ren?” Rendra hanya mengangkat bahu menanggapi ucapan Doni. Kalau boleh jujur, mereka lebih baik pergi secara terpisah. Suasana pasti akan sangat canggung ketika mereka berempat pergi bersama, terutama bagi Rendra dan Bella. Hubungan mereka tidak bisa dikatakan baik-baik saja sekarang. Rendra dan Bella akan canggung bila mereka pergi bersama. “Baiklah. Ayo kita pergi sekarang,” ajak Doni, bangkit berdiri. “Biar aku yang bayar makanan kalian,” tambahnya memandang Rendra, Bella, dan Fika. “Tapi, Kak—“ “Anggap saja sebagai salam pertemuan kita, Bel,” potong Doni, tak ingin mendengar penolakan dari Bella. “Baiklah. Terima kasih, Kak,” sahut Bella, tersenyum. “You’re welcome,” ucap Doni, balas tersenyum. oOo
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN