Enem

1713 Kata
Hari ini Naira berangkat lebih pagi dari sebelumnya. Keadaannya sudah benar-benar membaik dan ia siap untuk berkerja maksimal. Ia juga tak sabar untuk bertemu ayahnya yang katanya akan kembali ke Indonesia beberapa hari lagi. Seperti biasa, Naira langsung membersihkan dapur dan ruangan depan. Ia melirik mobil Affandra yang memasuki area parkir. Selain Affandra, kunci restoran juga dipegang petugas sekuriti yang sudah datang lebih dulu. Sejenak ia terpaku menatap Affandra yang selalu rapi dengan baju-bajunya yang branded serta tatanan rambut yang selalu rapi. Ia membayangkan, hidup Affandra pasti begitu bahagia semenjak diangkat anak oleh ayahnya. Ia mendapatkan kasih sayang, pendidikan yang bagus, restoran yang besar, dan ia bisa leluasa kemana pun menaiki mobil mewahnya. Naira tersenyum, teringat akan kenangan bersama almarhumah ibunya. Waktu kecil, Naira pernah berujar pada ibunya bahwa ia ingin menaiki mobil seperti teman-temannya. Sang ibu membawanya berkeliling menaiki angkot. Katanya, angkot juga mobil meski nggak sebagus mobil teman-temannya. Saat ibunya memiliki uang yang cukup, ia pernah mengajak Naira menaiki taksi agar sang putri tahu bagaimana rasanya naik mobil yang cukup bagus dan nyaman. Matanya seketika berkaca setiap kali kenangan bersama almarhumah ibunya melintas dalam benak. Affandra memasuki dapur. Ia tersenyum melihat Naira sudah datang. Naira termasuk karyawan yang paling disiplin. "Nai ...." "Ya, Pak." Naira membalas senyum itu. "Seperti biasa, buatkan saya teh hangat, ya. Nanti antarkan ke ruangan saya." Affandra tersenyum tipis lalu berjalan menaiki tangga menuju ruangannya. Naira segera melaksanakan perintah Affandra. Ia membuatkan teh lalu mengantarnya menuju ruangan Affandra. "Silakan diminum, Pak." Affandra mengangguk pelan. "Makasih, Nai." "Oya Nai, apa kamu bisa masak?" Pertanyaan Affandra membuat gadis itu tersentak. Tentu ia bisa memasak. Sejak kelas empat SD, dia sudah sering membantu ibunya memasak di dapur. Naira mengangguk. "Iya, Pak, saya bisa masak. Ya cuma masak sederhana, sih." "Begini, Nai, salah satu koki restoran ada yang izin tidak berangkat karena sakit. Sedang siang ini ada reservasi 30 kursi untuk makan siang. Saya butuh satu orang untuk ikut masak di dapur. Kalau kamu bisa masak, apa kamu bersedia membantu?" Naira merasa ini kesempatan yang bagus untuknya. Ia juga bisa belajar banyak dari koki lain. "Saya bersedia membantu, tapi saya takut kalau masakan saya tidak enak dan mengecewakan pengunjung." Affandra tertawa kecil. "Oya, duduk dulu Nai, biar lebih santai ngobrolnya." Naira menurut. Ia duduk di hadapan Affandra. "Kamu nggak akan langsung bikin bumbunya sendiri. Koki atau saya yang akan menyiapkan bumbunya. Kamu cuma tinggal membantu menggoreng atau menyiapkan bahan-bahannya. Kamu bisa belajar mengamati cara kami membuat bumbu. Ke depan aku akan kasih kamu kesempatan untuk terus memasak di dapur. Kalau memang kamu berbakat dan hasil masakanmu enak, kamu akan terus masak di dapur. Gaji tukang masak di sini jelas lebih besar dibanding petugas cleaning service." Mendengar penuturan Affandra, Naira merasa senang. Dengan gaji yang lebih besar, ia berharap bisa memanfaatkan gajinya untuk mengambil kuliah akhir pekan. "Saya mau banget, Pak. Sebenarnya saya ingin kuliah akhir pekan, setiap Sabtu Minggu. Kalau saya bisa terus kerja jadi tukang masak, gaji saya naik dan itu akan sangat membantu biaya kuliah saya nanti. Cuma saya nggak tahu, apa Bapak mengizinkan saya kuliah? Karena itu artinya Sabtu Minggu saya harus off kerja." Affandra mengagumi semangat Naira yang masih terbersit keinginan untuk melanjutkan studinya. Tentu, ia akan mendukungnya. Ia sadar, dalam hatinya sudah ada ketertarikan pada gadis itu. Ketertarikan yang mungkin sudah tumbuh menjadi cinta. "Tentu saya akan mengizinkan. Biar adil, gaji kamu cuma dihitung dari Senin sampai Jumat. Lagipula tiap akhir pekan semua karyawan ada jatah libur, bergantian liburnya." Naira tersenyum cerah. "Makasih banyak, Pak." "Oya, kamu ingin ambil kuliah apa?" "Saya ingin ambil pendidikan guru, soalnya saya dulu pernah kerja ngajar les anak-anak SD. Ya mungkin selepas kuliah, saya bisa ngajar di SD atau bimbel." "Bagus itu, Nai. Oya apa kamu udah ada info biaya registrasinya berapa? Dan berapa biaya semesterannya?" Naira mengangguk. "Iya, saya sudah dapat. Kalau gaji saya dikumpulkan insya Allah nanti bisa untuk bayar biaya registrasi. Sedang untuk biaya semesterannya, saya bisa nabung dari gaji saya di bulan-bulan berikutnya." Affandra menatap Naira tajam. "Untuk biaya registrasi kamu tidak perlu menunggu sampai gaji kamu kumpul. Insya Allah saya bisa membantu." Naira terbelalak. Ia merasa tak enak hati jika Affandra membantunya. "Tidak, Pak. Saya nggak enak. Saya akan berusaha sendiri." "Tolong, Nai, jangan tolak bantuan saya." Ada harapan besar di sorot mata Affandra. Ia serius ingin membantu Naira. Naira tak bisa begitu saja menerima bantuan Affandra. Apalagi Affandra adalah laki-laki yang bukan mahram. Sekalipun Affandra adalah saudara angkatnya, tapi tetap saja dia bukan mahram. Almarhumah ibunya berpesan padanya untuk tidak sembarang menerima bantuan laki-laki. Ketika dia awal datang ke Purwokerto, dia menerima bantuan Okta karena dia memang sangat membutuhkan dan pamannya juga mendesaknya untuk menerima. Kali ini, ia tak bisa gegabah menerima bantuan Affandra. "Nggak, Pak, saya nggak bisa menerima bantuan Bapak." "Kenapa, Nai? Saya akan memaksa kamu untuk menerimanya." Naira menggeleng. "Maaf, Pak, saya nggak bisa." "Kalau saya tetap memaksa bagaimana?" Affandra hanya ingin mendengar Naira mengucap kata 'ya'. "Saya tetap tidak akan mau, Pak." "Tapi saya akan terus memaksa dan kamu harus mau." "Kok Bapak maksa saya?" Naira menyipitkan matanya. Ia tak habis pikir Affandra keukeuh ingin membantunya. "Ya karena saya memang ingin membantu kamu." "Kalau yang dibantu nggak mau ya jangan maksa." "Saya nggak mau tahu, kamu harus mau menerima bantuan saya." Naira membulatkan matanya. "Kenapa, Pak?" Affandra mencondongkan badannya dan menatap gadis itu lebih tajam. Naira merasa gugup. "Karena saya ingin dekat sama kamu. Saya ingin selalu ada saat kamu butuh." Nada bicara Affandra terdengar pelan tapi juga penuh ketegasan. Naira membeku. Apa ini pernyataan cinta secara tidak langsung? Kenapa hatinya mendadak menghangat kala mendengar Affandra mengatakan rentetan kata manis itu? Naira menyadarkan diri sendiri. Ia tak ingin mudah jatuh. Dulu ia percaya pada Okta, nyatanya Okta tak pernah serius padanya. "Pak, saya ke dapur dulu, ya. Saya belum selesai beres-beres tadi." Naira kikuk dan tak berani menatap Affandra. "Okay, silakan." Naira segera keluar dari ruangan Affandra. Laki-laki itu merenung. Haruskah ia mengatakan secara gamblang bahwa ia jatuh cinta pada Naira? Ia bisa melihat gadis itu tersipu dan salah tingkah. Apakah ini pertanda Naira juga memiliki perasaan yang sama dengannya? ****** Kesibukan terlihat jelas di dapur. Semua koki, termasuk Affandra dan Naira sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Naira tak lupa untuk mengamati cara koki membuat bumbu dan mengolah masakan. Ia bertugas mengiris sayuran juga menggoreng. Meski baru sekali merasakan bagaimana rasanya memasak bersama koki-koki handal, Naira merasa telah mendapat banyak pelajaran. "Nai, tolong parut lengkuasnya, ya." Seorang koki bernama Sammy memberi Naira beberapa lengkuas. "Baik, Chef. Ini buat apa kalau boleh tahu?" "Itu buat bumbu ayam goreng serundeng. Lengkuas yang diparut akan memberikan cita rasa yang khas dan gurih." Sammy menjelaskan. Naira manggut-manggut. Kata-kata Sammy akan melekat di benaknya. Affandra diam-diam turut memperhatikan cara Naira memasak. Perempuan itu cukup cekatan. Ia teringat akan Zalina. Adik angkatnya itu bahkan tak bisa membedakan mana ketumbar, mana merica, mana jahe mana kencur. Naira sudah sangat paham akan bumbu-bumbu dapur. Saat rombongan dari suatu instansi datang untuk makan siang, sebagian besar menu sudah disiapkan. Affandra bersyukur, pekerjaan selesai tepat waktu. Dari keceriaan yang tergambar di wajah para pengunjung, Affandra tahu, mereka puas dengan pelayanan dan rasa masakan. Restoran tidak hanya menyajikan menu ayam tapi juga menu khas Jawa lainnya seperti urap, pecel, mendoan, sayur asem, segala jenis oseng, termasuk juga soto Sokaraja. Menjelang petang, satu per satu karyawan pulang ke rumah atau kost masing-masing. Naira mengambil tas di loker. Affandra melangkah menuju dapur dan melihat masih ada sisa makanan. Ia melirik Naira. Terbersit dalam benaknya untuk mengajak Naira makan. "Nai ...." "Iya, Pak ...." Naira menoleh pada Affandra. "Masih ada sisa makanan. Apa kamu mau menemani saya makan? Kamu juga ikut makan." Naira membisu sesaat, bingung memberi jawaban. "Mau ya, Nai. Kali ini saya memaksa. Kamu sering menolak tawaran saya untuk mengantarmu pulang ke kost, kali ini jangan tolak ajakan saya untuk makan bersama." Naira tersenyum tipis. "Kenapa Bapak jadi senang memaksa saya, ya?" Affandra tertawa pendek. "Karena kalau nggak dipaksa, kamu nggak akan mau." Naira terdiam. "Mau, ya, Nai ...." Binar mata Affandra seperti sorot mata kucing polos yang memelas. Naira tak tega jika harus menolak. "Baik, Pak." Mereka makan bersama dalam satu meja. Suasana begitu hening. Naira sebenarnya tak enak hati karena saat ini di ruangan itu hanya ada dirinya dan Affandra, sedang karyawan lain sudah pulang kecuali petugas sekuriti yang masih ada di depan. Naira gugup dan berdebar kala sepasang netra Affandra seolah tak lepas menatapnya. Semua mendadak serasa aneh tapi juga hadirkan sensasi debaran yang kini bertalu di hati Naira. Saking gugupnya, Naira pamit ke toilet untuk menetralkan debaran yang tiba-tiba menyapa. Ketika ia beranjak dan hendak melangkah, kakinya terantuk kaki meja, tubuhnya oleng. Affandra yang melihat Naira hampir terjatuh segera beranjak dan menangkap tubuh itu. Naasnya, wajah Naira terdorong ke depan dan tak sengaja menyentuh wajah Affandra. Kedua bibir itu bersentuhan sementara kedua tangan Affandra memeluk pinggang Naira. Keduanya berdebar tak karuan. First kiss? Affandra bahkan hilang kontrol hingga ia sedikit menggerakkan bibirnya dan memancing Naira untuk sedikit membuka bibirnya agar Affandra bisa memagutnya. Naira tak berkutik untuk sesaat. Setelah kesadarannya terbangun seutuhnya, ia dorong tubuh Affandra hingga menjauh dari tubuhnya. Naira mengusap bibirnya. Ia begitu malu dan rasanya tak lagi punya harga diri. Baginya menjaga diri untuk tidak disentuh laki-laki adalah harga mati. "Bapak sengaja memeluk dan mencium saya? Bapak cari-cari kesempatan!" air mata Naira menetes. "Nai, saya nggak sengaja. Tadi saya cuma ingin menahan tubuh kamu agar nggak jatuh. Soal ciuman itu ... saya khilaf ...." Affandra merasa sangat bersalah. Bagaimana bisa ia hilang kendali? "Bapak jahat ... saya kecewa sama Bapak!" "Saya minta maaf, Nai... Tolong kamu jangan marah. Saya akan bertanggung jawab." "Tanggung jawab bagaimana? Bapak nggak akan bisa mengembalikan semuanya. Bapak sudah mencuri ciuman pertama saya!" Naira terisak. Ia segera mengambil tasnya dan berlari meninggalkan Affandra yang mematung. "Nai dengarkan penjelasan saya dulu, Nai..." Affandra berusaha mengejar Naira tapi gadis itu sudah tak terlihat lagi. Dering ponsel menghentikan langkah Affandra. Ia mengangkat telepon dari ayah angkatnya. "Assalamu'alaikum, Ayah..." "Fan, besok Ayah, Ibu, dan Zalina pulang ke Indonesia. Maaf ya baru ngabarin." Affandra bahagia mendengarnya, tapi di sisi lain ada yang retak di dalam hatinya saat teringat akan kemarahan Naira padanya. Ia harus segera meminta maaf pada gadis itu. ****** Insiden ciuman yg tak disengaja ini sangat menghancurkan Naira, tapi kayaknya pembaca malah seneng ya? Hahaha
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN