Sudah seminggu aku tidak bertemu atau mendapat teror chat dari mantan suamiku—Pram, setelah pengakuan cintanya siang itu. Dia pikir aku akan percaya begitu saja dengan segala yang diucapkannya, setelah pengkhiatan yang diberikan padaku? Tidak sama sekali. Aku masih waras untuk tidak menanggapi pengakuan konyol Pram. Aku bahkan sudah bersiap untuk meninggalkan rumah ini, jika Pram tak merubah sikapnya yang sering kali merecoki kehidupanku.
Info dari Ayu, Pram saat ini tengah berada di pulau seberang untuk mengurusi pekerjaannya di sana. Yang kutahu Pram mendirikan Firma Arsitektur bersama beberapa rekannya. Selain itu, Pram juga memiliki bisnis properti dan entah bisnis apalagi yang dibangun oleh pria itu. Sejak dulu, Pram adalah sosok yang pekerja keras. Ketika kami masih bersama, aku kerap mendapatinya terjaga hingga tengah malam untuk menyelesaikan pekerjaan. Kadang kala, aku menemani Pram di ruang kerjanya, setelah kami melakukan sesi percintaan yang hebat.
Sayangnya, karena terlalu nyaman menjadi istri dari Pramono Agung, dengan segala kenyamanan yang diberikan olehnya, aku tak pernah berpikir untuk memiliki tabungan pribadi. Karena pikirku saat itu tidak perlu sebab ketika orang tua dan adikku membutuhkan bantuan finansial, Pram tanpa pikir panjang akan mentransfer sejumlah uang yang dibutuhkan keluargaku saat itu juga.
Namun saat ini keadaan berubah. Aku harus berjuang dari nol agar tak diremehkan lagi oleh Pram dan juga ibunya. Sejak dulu mantan mertuaku memang tidak terlalu menyukaiku. Mungkin karena aku hanya puteri dari seorang pedagang sembako di pasar. Sedangkan orang tua Pram memiliki pekerjaan yang lebih mentereng dibanding orang tuaku. Ayah Pram seorang pensiunan polisi yang juga memiliki peternakan ayam dan sapi. Sedangkan sang ibu memiliki sebuah butik yang cukup terkenal di kota ini.
Dengan kepergian Pram, membuatku lebih leluasa berbicara pada Ayu. Aku sudah membahas mengenai Pram yang seenaknya masuk ke rumah yang kutempati pada Ayu. Tanggapan Ayu memang terbilang santai untuk ukuran seorang istri.
“Aku nggak bisa melarang Mas Pram, Kak. Kak Lintang tentu lebih tahu kalau Mas Pram adalah pria yang keras kepala. Lagi pula, dia ke rumah juga untuk menemui anak-anak atau mengambil keperluan anak-anak, kan?”
***
Tepat hari ini adalah hari Minggu. Namun sayangnya aku haarus pergi bekerja, karena jatah liburku sebulan hanya satu kali. Satria dan Elok terlihat murung saat aku berpamitan bekerja, meski aku sudah berjanji akan membelikan mainan sepulang bekerja nanti.
“Mama kenapa nggak libur saja? Aku sama adek kepengen jalan-jalan. Papa kan juga lagi nggak ada di rumah sekarang.” Satria melayangkan protes.
“Nanti Kak Satria dan Kak Elok jalan-jalan sama Mbak Narti dulu ya. Atau kalau nggak kalian main saja ke rumah Tante Ayu, nemenin Adek Kiano. Adek Kiano pasti senang rumahnya ramai,” kataku berusaha membujuk.
“Elok mau sama Mama, kalau nggak Papa jalan-jalannya. Bukan sama Tante Ayu apa Mbak Narti.” Puteriku yang lebih pendiam turut mengutarakan keinginannya.
Aku menjadi semakin tidak tega meninggalkan mereka bekerja. Tetapi aku juga tidak bisa izin libur begitu saja jika tidak ada keperluan yang benar-benar mendesak. Kedua mataku seketika panas menyaksikan raut kecewa dan sedih pada wajah kedua buah hatiku. Seandainya aku sudah memiliki bisnis sendiri, tentu aku dengan senang hati membawa Satria dan Elok ketempat usahaku. Saat ini saja aku baru merintis berjualan basreng pedas yang kutitipkan di warung-warung sepanjang jalan menuju tempat kerjaku. Dan belum terlihat progress kedepannya bagaimana.
Akhirnya dengan bujukan sepulang bekerja nanti aku akan mengajak mereka ke mal, Satria dan Elok mengizinkanku pergi bekerja. Aku pun sempat mampir ke rumah Ayu, menitipkan anak-anak jika mereka ke rumah ibu sambungnya ini.
Sore harinya selepas bekerja, kukendarai motorku dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang cukup ramai. Aku menyempatkan mampir ke warung yang kutitipi daganganku. Bersyukur dari lima warung kelontong yang kutitipi camilan buatanku, semuanya habis terjual. Meski keuntungan yang kudapat tidak seberapa, namun aku bersyukur, karena mungkin ini adalah cara Tuhan menunjukkan jalan rezekiku yang lain. Aku pun pulang dengan perasaan optimis, jika usahaku berjualan camilan bisa berkembang.
Kuparkir motor di carport begitu tiba di rumah dan tak sabar ingin bertemu dengan kedua buah hatiku. Aku akan menepati janjiku yang akan mengajak mereka ke pusat perbelanjaan.
Langkahku tertahan di teras ketika mendapati pintu depan terbuka dan runguku menangkap suara wanita yang sangat familier. Mama Nungki—mantan ibu mertuaku.
Kutarik napas sebelum melanjutkan langkah memasuki rumah. Perasaanku sudah tak nyaman dengan kedatangan wanita paruh baya yang adalah ibu dari mantan suamiku ini. Aku pun mengucap salam begitu tiba di ambang pintu. Dan selanjutnya kudengar jawaban salamku dari dalam rumah. Detika berikutnya, Satria dan Elok menyambutku dengan semringah.
“Asyiik, Mama udah pulang.” Satria berseru riang.
“Kita jadi ke mall kan, Ma?” tanya Elok yang begitu antusias.
“Jadi, Sayang. Tapi Mama mandi dulu ya,” jawabku mengusap pipi Satria dan Elok. “Sekarang, Kak Satria dan Kak Elok siap-siap dulu ya sama Mbak Narti,” pintaku kemudian lalu menatap Mbak Narti.
Dengan patuh, kedua anakku menghampiri Mbak Narti untuk dimandikan dan digantikan baju. Begitu mereka naik ke lantai dua, aku pun tersenyum sungkan pada Mama Nungki yang sedari tadi menatapku datar.
“Kapan datang, Ma?” tanyaku sembari berjalan mendekat, lalu menyalami mantan ibu mertuaku ini. Dengan gerakan kaku, Mama Nungki membiarkan punggung tangannya kusalami.
“Tadi siang.” Mama menjawab datar, tanpa senyum sedikit pun di wajahnya. “Duduk Lin, saya mau bicara.” Menggunakan dagunya, Mama Nungki memintaku duduk di sofa seberang.
Kami saling terdiam selama beberapa saat. Aku sendiri yang sudah mengenal watak Mama Nungki yang sama keras kepalanya dengan Pram. Dan tidak pernah berusaha menyembunyikan rasa tidak sukanya padaku, membuatku didera was-was. Aku hanya tidak ingin, Mama Nungki memarahiku untuk kesalahan yang aku tidak sadari.
“Kamu bahagia setelah berpisah dengan Pram, Lin?” tanya Mama Nungki membuka pembicaraan.
Sorot matanya seperti biasa, tajam dan tak tampak ramah sama sekali. Memang sejak dulu Mama Nungki ini tidak menyukaiku. Padahal sewaktu masih menjadi istri Pram, aku selalu berusaha menjadi menantu yang baik. Aku rutin mengirim masakanku ke rumah orang tua Pram. Aku juga selalu menyempatkan membantu sebisaku jika di rumah Mama sedang mengadakan acara. Tetapi, entah mengapa hingga aku dan Pram akhirnya berpisah, keluarga Pram—Mama terutama, masih tak menyukaiku.
“Lintang bahagia, Ma,” jawabku.
“Baguslah kalau begitu. Semoga kamu nggak ada keinginan untuk merebut Pram kembali. Karena saya mendengar kabar, kalau Pram sering ke rumah ini. Dan saya harap, bukan kamu yang mengundangnya, Lin,” tuduh Mama Nungki tak berperasaan.
“Demi Allah, Ma, Lintang tidak pernah mengemis pada Pram untuk datang ke rumah ini. Justru Lintang sudah berulang kali melarang Pram, Ma,” kataku getir. Tega-teganya Mama Nungki justru menuduhku yang mengundang Pram untuk datang kemari.
“Oh ya?” Mama Nungki menyorotku dengan pandangan meremehkan.
“Terserah Mama mau percaya atau tidak. Yang pasti, Lintang bukan seperti yang Mama pikirkan. Lintang masih punya harga diri, Ma. Seandainya bukan karna Pram yang mengancam akan mengambil alih hak asuh Satria dan Elok, Lintang juga tidak sudi untuk tetap tinggal di sini,” tandasku ketus.
Bersambung