Tak terasa masa liburan usai, Gara sempat mengajak Neva menyambangi beberapa tempat wisata yang tak jauh dari kampung halamannya, yaitu pantai Teluk Penyu dan Benteng Pendem. Momen itu membuat keduanya semakin dekat. Neva begitu bahagia seakan segala masalah hidup yang berat musnah.
Mereka kembali ke Jakarta untuk kembali berperang dengan kehidupan nyata yang tak ubahnya seperti roller coaster. Gara kembali bekerja di bengkel dan kuliah di akhir pekan, Neva pun kembali bergelut mencari pekerjaan di beberapa perusahaan.
Malam itu setelah salat Isya, Neva mengetuk pintu kontrakan Gara dengan perasaan berseri. Gara membuka pintu dengan tergesa-gesa. Ia langsung mengenali suara Neva yang begitu nyaring. Melihat wajah sumringah Neva, Gara menduga jika Neva baru saja mendapat kabar bahagia.
"Gara .... Alhamdulillah aku dapat panggilan kerja. Perusahaannya cukup besar. Ya Allah mimpi apa aku." Neva melonjak kegirangan. Sudah lama ia menginginkan pekerjaan di perusahaan Bumi Hijau, salah satu perusahaan properti yang sudah punya nama dan banyak cabang.
Gara ikut senang mendengar kabar bahagia barusan. Setelah sebelumnya gadis itu pesimis dan tak yakin akan mendapatkan pekerjaan yang layak, akhirnya nasib baik berpihak padanya.
"Selamat Neva. Kamu diterima di posisi apa? Semoga kamu betah nanti dan pekerjaanmu lancar."
"Aku melamar posisi sekretaris. Aku juga nggak nyangka bisa diterima di antara sekian banyak pelamar. Waktu wawancara, aku juga sebenarnya kurang yakin karena beberapa pertanyaan aku jawab dengan jawaban yang menurutku kurang memuaskan. Tapi alhamdulillah aku yang diterima."
"Itu artinya kamu memang benar-benar layak, Neva. Kamu hebat sudah mengalahkan banyak pesaing."
Neva tersenyum tipis. "Makasih, ya. Kamu selama ini selalu mendukungku dan meyakinkanku kalau aku mampu. Aku yang sebelumnya hopeless, alhamdulillah sekarang bisa optimis pagi dan percaya dengan kemampuan sendiri."
Gara membalas senyum itu. "Aku nggak pernah meragukanmu, Neva. Kamu punya kemampuan, cerdas, dan punya kemauan yang kuat. Asal kamu mau berusaha, Allah akan memberi jalan."
Dering ponsel sedikit mengagetkan keduanya. Gara mengambil ponsel yang tergeletak di meja. Nama "Fatma" menghiasi layar. Gara agak ragu mengangkatnya, tapi ia putuskan untuk menerima panggilan telepon dari Fatma karena mengira ada sesuatu yang penting.
"Halo, Assalamu'alaikum. "
Neva duduk di sofa sembari menunggu Gara selesai berbincang di telepon. Laki-laki itu masuk ke dalam. Neva yang duduk di ruang depan pun bertanya-tanya, siapa gerangan yang menelepon Gara, sampai-sampai pemuda itu masuk ke dalam. Apa Gara menyimpan rahasia darinya?
Di dalam Gara bertanya langsung pada Fatma kenapa gadis itu meneleponnya. Entah kenapa ia merasa tak enak hati jika Neva mendengar perbincangannya dan Fatma. Ada rasa takut Neva akan cemburu kendati antar mereka tak ada hubungan apa pun.
"Aku cuma ingin telepon saja, Mas. Aku ingin tahu kabar Mas Gara." Suara Fatma terdengar lembut dari ujung telepon.
"Oh, aku pikir ada sesuatu yang penting."
"Emang kalau telepon harus ada yang penting, ya? Aku cuma ingin tahu kabar Mas Gara. Gimana keadaan Mas di sana?"
"Alhamdulillah aku baik, kamu apa kabar?"
"Alhamdulillah baik juga, Mas."
Gara merasa tak enak hati jika meninggalkan Neva seorang diri.
"Maaf, Fatma, aku lagi ada tamu. Kapan-kapan bisa disambung lagi."
"Oh, okay, maaf ya Mas kalau aku ganggu. Assalamu'alaikum. "
Telepon mati sebelum Gara sempat membalas salam Fatma. Gara segera keluar untuk menemui Neva kembali.
"Telepon dari siapa?" tanya Neva dengan wajah datarnya.
Mendadak Gara merasa seperti tengah diintegorasi. Tatapan Neva begitu menusuk. Gara tak bisa berbohong, sulit untuknya menyembunyikan sesuatu dari Neva meski kemungkinan Neva akan cemburu jika mengetahui siapa yang meneleponnya.
"Fatma," jawab Gara singkat.
Air muka Neva berubah lebih datar dari sebelumnya. Alisnya mengernyit. Ia tak habis pikir kenapa Gara memilih untuk menjawab telepon di dalam. Apa laki-laki itu menyembunyikan sesuatu?
"Oh, Si Mantan. Ngapain dia telepon malam-malam? Sampai-sampai kamu masuk ke dalam buat berbincang dengannya. Takut aku ganggu, ya?" Nada bicara Neva terdengar ketus. Ia tak bisa menutupi kecemburuannya.
"Bukan itu, Neva. Aku cuma takut kamu, takut kamu ...."
"Takut aku apa? Takut aku mendengar perbincangan kalian? Atau kamu sebenarnya udah balikan sama Fatma cuma nggak mau aku tahu?"
Gara menganga sekian detik, tak menyangka jika Neva akan memiliki pemikiran seperti ini.
"Aku nggak balikan sama dia. Tadi dia telepon cuma nanya kabar aja. Aku buru-buru menyudahi telepon karena aku mau nemeni kamu."
.
Neva mengembuskan napas kesal. "Okay, kamu nggak balikan sama dia. Cuma yang nggak habis pikir kenapa kamu mengangkat telepon di dalam. Kenapa harus menghindariku? Berarti kamu nggak ingin aku denger percakapan kalian."
"Bukan itu, Neva. Ini yang aku takutkan, kamu marah nggak jelas karena Fatma menelepon. Padahal dia cuma nanya kabar."
"Kalau memang dia cuma nanya kabar kenapa kamu harus ngumpet-ngumpet nerima teleponnya? Berarti memang ada sesuatu."
Gara mengusap belakang kepalanya dan bingung sendiri harus bicara apa lagi. Ia sendiri pun menyesali, kenapa ia refleks bicara di dalam. Semua jadi serba salah.
"Kalau nggak ada hubungan apa-apa, mestinya kamu santai aja jawab telepon Fatma. Ini pakai acara sembunyi di dalam. Jelas kamu masih ada rasa sama dia."
"Aku nggak ada perasaan apa-apa sama Fatma. Masa aku harus jelasin berkali-kali. Aku tadi bicara di dalam takut kamu marah dan mengira ada sesuatu antara aku dan Fatma."
"Kamu 'kan bisa pakai loudspeaker biar aku denger percakapan kalian. Biar kebukti kalau si Fatma cuma nanya kabar. Lha ini sembunyi-sembunyi di dalam, mana aku tahu kalian ngobrolin apa. Bisa aja di dalam kalian ngomong cinta-cintaan." Neva nyerocos seperti kereta api. Ia kesal dan tak bisa menerima alasan Gara begitu saja.
"Astagfirullah, Neva. Okay, aku minta maaf. Kalau nanti Fatma telepon lagi, aku bakal aktifin loudspeaker-nya biar kamu denger langsung."
"Udah, ah, aku mau pulang. Besok mesti bangun pagi berangkat kerja." Neva beranjak dan keluar ruangan.
Gara berusaha mengejarnya hingga ke depan pintu kontrakan Neva. Langkah Gara terhenti ketika Neva menutup pintunya keras-keras.
Gara mengembuskan napas. Kini ia harus mencari cara untuk meluluhkan hati Neva dan mengganti amarah Neva dengan senyuman.
Satu hal yang dipelajari Gara dari seorang Neva adalah, gadis itu begitu moody dan sering menyimpulkan sesuatu tanpa menerima penjelasan dari orang lain. Gadis itu pencemburu, tapi juga terlalu gengsi untuk mengungkapkan perasaannya. Ia heran sendiri, dia dan Neva belum ada status apa pun, tapi ia merasa terikat pada gadis itu. Gara pastikan esok ia harus mendapat maaf dari Neva apa pun caranya.