Eps. 1 Menemui Tunangan

1098 Kata
Sanvi sedang berada di barak kesatuan, suasananya cukup tenang meski di luar terdengar samar suara instruksi dan langkah kaki para prajurit yang sedang menjalani pelatihan rutin. Di dalam kamarnya yang sederhana namun rapi, Sanvi tengah duduk bersila di atas ranjang, menyelesaikan laporan hasil tugas mingguannya. Tangannya lincah mengetik di laptop, sesekali alisnya berkerut saat memeriksa ulang data yang tercantum. Semua dilakukan dengan cermat dan penuh disiplin, seperti biasa. Setelah selesai dan memastikan semua file tersimpan, ia menarik napas panjang lalu menutup laptop itu. Tangannya kemudian meraih ponsel yang tergeletak di atas meja kecil di samping ranjang. Ditekannya tombol layar dan pandangannya langsung tertuju pada ikon pesan. Tidak ada notifikasi baru. Tidak ada pesan dari Hedy. Ia menatap layar ponsel itu lama, berharap ada satu notifikasi yang muncul, sekadar sapaan singkat atau kabar kecil. Tapi tetap hening. Bibirnya mengatup, matanya memerah tipis, bukan karena marah, tapi karena kecewa. Namun ia tidak tergerak untuk lebih dulu menghubungi tunangannya. Ada gengsi yang menahannya, juga rasa lelah karena selalu menjadi pihak yang mencari. Tiba-tiba sebuah ide terlintas. Mendadak dan cukup impulsif, tapi sangat menggoda. “Apa salahnya aku datang langsung?” gumamnya. Mata Sanvi berbinar. Kalau memang Hedy terlalu sibuk untuk sekadar mengetik satu pesan, maka ia sendiri yang akan membuat kehadirannya tak bisa diabaikan. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tanpa berpikir panjang, Sanvi pun mulai bersiap—menyusun rencana untuk sebuah kunjungan mendadak yang mungkin bisa membuat tunangannya itu senang. Tanpa pikir panjang, Sanvi segera mengemasi barang-barang pentingnya dan bergegas keluar dari barak. Ia mengendarai mobilnya sendiri, menembus jalanan yang cukup lengang sore itu. Hampir dua jam perjalanan ia tempuh tanpa henti, hanya ditemani musik dari radio yang sesekali membuat pikirannya mengembara ke berbagai hal. Sesampainya di kompleks perumahan tempat Hedy tinggal, Sanvi menepikan mobilnya dan turun dengan langkah cepat namun hati-hati. Perasaannya campur aduk—antara rindu, penasaran, dan sedikit ketegangan yang tak bisa ia jelaskan. Ketika hendak mengayunkan pintu rumah Hedy, matanya tanpa sengaja menangkap sesuatu di teras. Sepasang sepatu heels wanita, model kekinian, berwarna nude yang jelas bukan miliknya. Langkahnya terhenti. Alisnya mengernyit. “Siapa pemilik sepatu ini?” Pertanyaan itu langsung menyelinap masuk ke pikirannya, menyusupkan rasa curiga yang tak bisa ia abaikan. Mungkin itu milik teman Hedy? Atau saudara perempuannya? Tapi setahunya, Hedy tak pernah menyebut akan ada tamu hari ini. Terlebih lagi, mereka memang sedang tidak terlalu sering berkomunikasi beberapa waktu terakhir. Dengan hati yang kini dipenuhi tanda tanya, Sanvi pun memutar kenop pintu—tidak dikunci. Dia masuk perlahan. Rumah itu tampak sepi. Tidak ada suara obrolan, tidak juga suara televisi. Ruang tamu tampak rapi dan kosong. Tidak ada siapa pun. Langkah Sanvi berlanjut ke dalam. Nafasnya mulai terasa berat, seperti menyiapkan diri menghadapi sesuatu yang tak diharapkan. Matanya mengamati tiap sudut ruangan, hingga akhirnya ia mulai melangkah menuju kamar Hedy—tempat yang mungkin menyimpan jawaban dari kegelisahan yang tiba-tiba mencengkeram hatinya. Langkah Sanvi terhenti di depan kamar Hedy ketika suara-suara aneh mulai terdengar dari dalam. Lenguhan tertahan, desahan lembut yang naik turun, dan derit ranjang yang terdengar berulang kali—semuanya menyeruak begitu nyata dan menghantam dadanya tanpa ampun. Tubuhnya mendadak meremang, jantungnya berdetak tak beraturan, dan telapak tangannya mulai dingin. Hatinya seperti diremas-remas, napasnya tersendat. Sanvi berdiri kaku, menatap pintu kamar itu dengan tatapan kosong. Ada suara dalam dirinya yang berteriak untuk pergi, untuk tidak melanjutkan, untuk tidak menyaksikan kenyataan yang mungkin terlalu pahit untuk dihadapi. Tapi kakinya tetap melangkah. Pelan, gemetar, dan berat. Suara dari dalam kamar semakin jelas. Tidak ada lagi keraguan. Apa yang sedang terjadi di balik pintu itu bukan sesuatu yang bisa dibenarkan. Dengan hati penuh harap bahwa pikirannya keliru, bahwa ini hanya kesalahpahaman belaka, Sanvi mengangkat tangan dan perlahan mendorong pintu kamar itu terbuka. Dan di sanalah kenyataan menamparnya keras. Tubuh Hedy yang setengah telanjang sedang membungkus seorang wanita—mereka terjerat dalam gairah yang menjijikkan di mata Sanvi. Tapi bukan itu yang paling menghancurkannya. Wanita itu...Mila. Saudara tirinya sendiri. Untuk sesaat dunia seakan berhenti berputar. Suara menjadi hening. Hanya detak jantungnya sendiri yang bergema keras di telinganya. Air matanya jatuh tanpa diminta. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Sanvi mundur satu langkah, lalu satu lagi, sebelum akhirnya tubuhnya melemas bersandar di dinding. Lima tahun kesetiaan dan cinta, dihancurkan dalam sekejap oleh dua orang terdekat yang paling ia percayai. Sanvi berdiri terpaku di ambang pintu, menyaksikan dua sosok yang begitu dekat dengannya kini menjadi dua pisau tajam yang menusuk dari dua arah sekaligus. Hedy dan Mila berhenti dari aktivitas menjijikkan mereka, lalu serempak menatapnya dengan ekspresi terkejut setengah kaget. “Sanvi?” suara Hedy terdengar datar, seperti tidak ada rasa bersalah sama sekali. Tubuh Sanvi gemetar, matanya memerah menahan air mata dan kemarahan yang membuncah. Suaranya bergetar saat berkata, “Hedy…aku nggak nyangka sama sekali. Kamu rupanya tega mempermainkan dan menusukku dari belakang…dan kamu bermain api dengan Mila?” Matanya beralih menatap saudara tirinya dengan luka yang menganga, “Di antara sekian banyak wanita...kenapa harus Mila? Kenapa harus dengan benalu yang ikut tumbuh di rumah yang sama denganku?” Alih-alih menunjukkan rasa penyesalan, Hedy justru menyeringai lebar. Senyum yang menjijikkan. “Sanvi, aku sudah berkali-kali mengajakmu menikah. Tapi kamu terus menunda. Alasan ini, alasan itu. Aku juga punya batas kesabaran. Jadi, jangan salahkan aku.” Mila, yang duduk santai dan tampak sama sekali tidak malu, ikut menyeringai dan menyahut, “Kamu bodoh, Sanvi. Harusnya Hedy kamu ikat sejak dulu dalam semua pernikahan. Sekarang dia sudah diambil—dan dinikmati oleh yang lain.” Hati Sanvi seperti diremukkan secara perlahan. Kata-kata mereka bukan hanya menyakitkan, tapi juga kejam dan menghina. Semua logika tercerai-berai. Ia tak bisa lagi memahami bagaimana dua orang yang ia percayai bisa sedemikan gila menyakiti dan bahkan merendahkannya tanpa ampun. Padahal niat awalnya datang ke sini adalah untuk membawa kabar baik—mengajak Hedy menikah dalam waktu dekat, setelah lima tahun menunggu. Tapi semua harapan itu kini berubah menjadi abu, tertiup angin pengkhianatan. Tanpa berkata apa pun lagi, Sanvi menatap mereka untuk terakhir kalinya. “Aku memutuskan pertunangan ini. Detik ini juga. Dan kamu Mila, ambil saja dia untukmu, aku nggak kan terima kembali sampah bekas orang lain, terlebih dari kamu!” Suaranya tajam, penuh luka. Ia membalikkan badan dan melangkah keluar dari kamar itu, dari rumah itu, dari semua kebohongan yang membungkus hidupnya selama ini. Kakinya berlari, tapi hatinya tertinggal di sana, sobek dan tak bersisa. Ia masuk ke mobilnya dengan tangan gemetar, air mata akhirnya jatuh begitu saja, membasahi wajahnya. Dunia runtuh dalam hitungan detik. Dengan luka yang dalam dan hati yang hancur, Sanvi melajukan mobilnya menjauh, pergi tanpa menoleh, meninggalkan cinta yang telah berubah menjadi racun mematikan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN