Eps. 3 Bukan Aku Pelakunya

1065 Kata
Lorong rumah sakit yang sebelumnya sunyi tiba-tiba dipenuhi suara ramai dan nada bicara tinggi. Seorang petugas medis lelaki yang baru saja membuka satu kancing baju Sanvi meremang menatap dokter jaga di hadapannya itu—Dokter Arshan. Dokter muda itu dikenal tegas dan cekatan, juga cukup disegani oleh rekan-rekannya. Begitu melihatnya petugas manis tadi berniat kabur saja. “Kamu jangan coba-coba kabur. Apa kamu lakukan pada pasien di sini itu melanggar kode etik,” ujarnya dengan nada tinggi. “Tidak, saya tidak melakukan apa-apa, Dok!” ucap si petugas medis pria dengan gugup, keringat dingin membasahi pelipisnya. Suaranya terdengar gugup, nadanya tinggi, mencoba membela diri. Namun Arshan mengabaikannya. Matanya tajam menatap pria itu sambil menunjuk ke arah Sanvi yang tertidur dengan kancing baju bagian atas sudah terbuka. “Kalau kau tak melakukan apa-apa, kenapa ini terbuka!” serunya tegas, matanya menyiratkan kemarahan. “Jangan main-main di rumah sakit ini.” Petugas itu mulai panik, tubuhnya gelisah, dan tatapannya liar seperti sedang mencari celah untuk lari. Saat itu pula suasana ruang tunggu yang awalnya hening berubah gaduh. Suara keras dari pertengkaran itu menggema, mengganggu kesunyian malam yang menyelimuti koridor rumah sakit. Lampu putih menyilaukan dari plafon, suara AC berdengung pelan, dan aroma khas disinfektan rumah sakit mengisi udara. Suasana yang mencekam dan penuh tekanan itu akhirnya membuat Sanvi yang tertidur perlahan mulai terbangun. Ia mengerjapkan mata, tubuhnya masih lemas, namun suara-suara itu menariknya kembali ke kesadaran. Saat duduk perlahan, Sanvi mengerang pelan. Kepalanya terasa ringan, namun ketika ia menunduk, matanya tertuju pada bagian atas tubuhnya—kancing bajunya terbuka. Seketika tubuhnya menegang. Wajahnya pucat, dan tangan refleks menutup da-da sambil memeluk tubuhnya sendiri. Tepat pada saat itu, si petugas medis yang melihat peluang dalam kekacauan itu dan langsung kabur, berlari melewati lorong tanpa sempat dihentikan. Dalam hitungan detik, ia lenyap dari pandangan, menghilang entah ke mana. Sanvi yang masih bingung hanya melihat satu sosok pria yang kini berada sangat dekat dengannya—Arshan. Posisi pria itu sedang berjongkok di hadapannya, satu tangannya terangkat ke arah da-da Sanvi, memegang sisa kancing yang belum terpasang. Niatnya jelas ia ingin membantu menutupinya. Namun bagi Sanvi yang baru saja terbangun dalam kondisi seperti itu, segalanya tampak salah. Mata Sanvi membelalak. Ia refleks menarik tubuh menjauh dan berkata, “Apa yang kamu lakukan? Jangan sentuh aku!” Arshan terkejut. “Tunggu—kau salah paham. Aku hanya mencoba—” “Menutupiku? Atau pura-pura ingin membantu padahal malah berniat macam-macam?” ucap Sanvi tajam, nada suaranya tinggi, emosinya belum stabil. Dokter muda itu menarik napas, lalu mundur perlahan sambil mengangkat kedua tangan sebagai isyarat bahwa ia tidak berniat menyentuh lebih jauh. “Tenang dulu, kamu tadi tertidur. Aku datang setelah kamu sudah tertidur. Kancing bajumu sudah terbuka sebelum aku sampai, pria tadi yang melakukannya,” jelas Arshan pelan. Sanvi menatapnya penuh curiga, napasnya masih tersengal karena emosi dan rasa takut yang menyerbu sekaligus. Di ruangan yang kembali sunyi, hanya tersisa mereka berdua, dibatasi jarak, kecurigaan, dan sebuah kesalahpahaman yang menciptakan ketegangan tak terucap. Sanvi masih menatap Arshan dengan sorot mata curiga. Meskipun tubuhnya belum sepenuhnya pulih, amarah dan rasa malu yang menyatu dalam pikirannya membuatnya sulit berpikir jernih. Ia baru saja bangun dari keadaan tak sadar, mendapati kancing bajunya terbuka, lalu melihat seorang pria yang tidak dikenalnya begitu dekat dan memegang sisa kancing itu. Meski penjelasan Arshan terdengar masuk akal, pikirannya yang dipenuhi trauma dan luka tak bisa langsung menerima logika. “Mana mungkin ada maling yang mau ngaku?” cetus Sanvi sinis, suaranya tajam menusuk. Arshan menghela napas panjang. Kepalanya menunduk sesaat, mencoba menahan kesal yang mulai merambat dalam dirinya. Ia sudah cukup sering menghadapi pasien dalam kondisi psikis tak stabil, tapi baru kali ini ia jadi tersangka dalam situasi yang bahkan tidak ia ciptakan. “Aku tahu situasinya terlihat buruk,” ucap Arshan pelan, berusaha tetap tenang, “Tapi aku bukan pelakunya. Aku dokter. Aku punya kode etik dan—” “Cukup,” potong Sanvi, nada suaranya bergetar. “Kamu ada di dekatku. Bajuku terbuka. Dan kamu yang pegang kancingnya. Aku nggak peduli kamu dokter atau siapa pun, aku butuh pertanggungjawaban!” Kalimat itu seperti hantaman telak bagi Arshan. Ia benar-benar tak menyangka akan dipaksa masuk dalam situasi seburuk ini. Tapi melihat kondisi mental Sanvi yang benar-benar terguncang—dari luka batin, hingga hampir jadi korban pelecehan—ia tahu menanggapi dengan defensif hanya akan memperkeruh suasana. Hening sesaat mengisi ruangan. Arshan menatap wajah Sanvi yang masih dipenuhi emosi dan kesedihan. Lalu sebuah ide, gila dan spontan, muncul dalam kepalanya. Ia pun berbicara, perlahan tapi tegas. “Baik,” katanya. “Kalau kamu tetap menuduhku sebagai orang yang melecehkanmu… maka sekarang aku akan benar-benar bertanggung jawab.” Sanvi menatapnya heran, bingung. “Maksud kamu?” “Menikah,” ucap Arshan tenang. Ruangan seketika membeku. Sanvi terpaku, matanya membelalak tak percaya. “Apa?” ucapnya nyaris tak bersuara. “Aku tahu ini tidak masuk akal, dan ya…ini gila,” lanjut Arshan. “Tapi kalau itu satu-satunya cara agar kamu merasa aman dan tidak terhina…maka biar aku bertanggung jawab. Bahkan kalau harus menikah denganmu.” Sanvi nyaris kehilangan kata-kata. Tawaran itu begitu absurd, asing, dan sama sekali tidak pernah terpikirkan. Ia datang ke rumah sakit hanya untuk mencari pertolongan, bukan lamaran dari seorang dokter yang bahkan belum ia kenal namanya sampai beberapa menit lalu. “Kamu…kamu pikir ini mainan?” Suaranya rendah, namun matanya masih menatap Arshan dengan campuran keterkejutan dan kebingungan. Arshan tak bergeming. “Tidak. Aku serius. Tapi kalau kamu nggak mau, aku nggak akan paksa. Aku hanya ingin kamu tahu, aku tidak akan lari dari tanggung jawab—meski dalam hal yang bahkan bukan aku yang ciptakan.” Suasana ruangan kembali sunyi. Tegang. Aneh. Di antara kebingungan dan kesalahpahaman yang masih menggantung, kini muncul sesuatu yang jauh lebih rumit, sebuah tawaran gila yang bisa mengubah hidup mereka berdua selamanya. Sanvi menatap Arshan seolah pria itu sudah kehilangan akal sehat. “Kamu tahu nggak, kamu ini orang gila,” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Ia menggeleng pelan, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Tawaran itu… terlalu aneh untuk dimengerti. Tapi ironisnya, tawaran “gila” itu justru datang dari seseorang yang tampak paling waras di ruangan itu. Arshan—dokter muda dengan tatapan tenang namun penuh keyakinan—telah mengucapkannya tanpa ragu. Bukan Sanvi yang mengubah arah hidup mereka. Tapi Arshan, si pria asing yang tiba-tiba menawarkan sebuah takdir baru dalam bentuk lamaran mendadak dan tak masuk akal.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN