Bagas membuka websitenya dan membalas orderan yang masuk. Rasanya dia ingin memiliki kios offline juga untuk menjual tanaman bonsainya. Dengan penghasilan yang terkumpul dari jualan bonsai ini, Bagas memperkirakan sudah bisa menyewa satu tempat yang strategis, dekat jalan raya. Kalau untuk membangun sendiri mungkin belum bisa karena ia juga ingin mengumpulkan tabungannya untuk membeli rumah yang lebih besar untuk Derra. Derra terbiasa tinggal di rumah yang luas karena dia membutuhkan beberapa ruang untuk menyimpan barang-barang pribadinya. Jumlah pakaian, sepatu, tas dan benda-benda lain rasanya semakin banyak saja. Derra tidak membelinya sendiri, tapi mendapatkannya dari sponsor atau endorse. Ini saja sebagian sudah disumbangkan ke orang-orang yang tak mampu atau melelangnya dan hasil lelangnya disalurkan untuk membantu korban bencana alam atau orang-orang sakit yang kurang mampu dan membutuhkan biaya pengobatan yang cukup besar.
Bagas tahu benar, Derra mampu sekali untuk membeli rumah atau sekedar membangun kios bonsai untuknya, namun dia tak mau mengandalkan penghasilan Derra. Apalagi Derra harus membayar denda atas pemutusan kontrak iklan shampoo olehnya. Bagas bertekad ingin membantu Derra membayar denda itu.
Deru suara mobil Derra terdengar hingga ke dalam. Bagas tersenyum cerah. Dia melangkah menuju ruang depan.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.” Bagas langsung menyambut Derra dengan pelukan. Derra agak tersentak.
“Ada apa mas? Datang-datang langsung meluk.”
Bagas melepaskan pelukannya, “apa benar kamu memutus kontrak iklan shampoo itu?”
Derra mengangguk, “iya mas.”
“Kenapa kamu nggak bilang sama mas?” Bagas tersenyum dan matanya berbinar menatap istrinya.
“Soalnya kalau Derra bilang ke mas Bagas, nanti mas ikut repot mikirin bayar dendanya. Biar Derra aja yang bayar.” Derra membalas senyum suaminya dengan senyum tipis.
“Mas kan udah janji pingin bantu bayar dendanya. Apa benar dendanya sampai milyaran?” Bagas memicingkan matanya.
Derra mengangguk, “nilai kontraknya kan juga segitu. Wajar karena Derra dikontrak eksklusif untuk menjadi brand ambassador produk tersebut selama dua tahun dan sesuai perjanjian, Derra dikenakan penalty jika melanggar. Penalty ini ya denda itu mas, harus mengembalikan semuanya. Derra tinggal ngembaliin dana yang udah ditransfer. Ya memang ada tambahan sih, tapi nggak banyak. Mas tenang aja.”
Bagas meraih tangan Derra, “ehm apa benar berita yang ada di i********: itu? Kamu mutusin kontrak karena ingin berhijab?”
Derra mengangguk sekali lagi, “iya mas.”
Bagas tersenyum lebar, “alhamdulillah. Mas seneng banget Der. Akhirnya Derra menjemput hidayah untuk berhijab.”
“Derra ingin memperbaiki diri mas. Biar nanti bisa bareng-bareng mas Bagas di surga.” Derra mengerlingkan senyumnya.
Bagas mengusap rambut Derra, “aamiin. Kita sama-sama memperbaiki diri Der.”
“Oya besok Derra nggak ada jadwal. Mas Bagas mau nggak nemeni Derra beli jilbab dan baju muslimah?”
Bagas tersenyum, “insya Allah sayang, nanti mas temeni.”
******
Derra menyiapkan hidangan untuk makan malam. Tiba-tiba smartphonenya berbunyi.
“Mas, bisa minta tolong lihatin hpku nggak? Tadi bunyi.” Ucap Derra dari ruang makan.
Bagas yang ada di ruang tengah mengambil smartphone Derra yang tergeletak di atas meja. Digesernya layar smartphone itu. Ada satu pesan WA dari ibu mertua.
Derra, kalian makan malam di sini ya. Udah dua mingguan kalian belum datang ke sini. Ayah ibu juga pingin ngobrol-ngobrol. Udah lama nggak ngobrol-ngobrol.
“Der, ibu WA minta kita makan malam di sana. Katanya ayah ibu pengin ngobrol ama kita, udah lama nggak ngobrol-ngobrol.”
Derra berjalan mendekat ke arah suaminya, “ya udah kita ke sana sekarang mas. Mumpung belum malam banget.”
Bagas mengangguk, “yuk.”
******
Suasana makan malam di rumah orangtua Derra selalu berkesan formal dan canggung bagi Bagas. Meski dia sudah menjadi bagian dari keluarga Derra tetap saja, kecanggungan itu masih terasa begitu kental. Selama makan malam jarang ada yang bicara. Semua serius hingga makan malam selesai.
Setelah selesai makan malam, mereka berbincang di ruang tengah.
“Ngomong-ngomong kalian pindah ke rumah baru kapan ya? Sudah ada gambaran mau beli rumah di mana? Atau mau menempati di salah satu rumah di perumahan elit yang sedang dibangun kakakmu? Ukurannya besar, halamannya juga lumayan luas.” Wida membuka percakapan.
Derra dan Bagas saling beradu pandang seakan memberi kode untuk menjawab pertanyaan. Tentu, Derra tak mungkin menjawab bahwa mereka baru akan pindah setelah tabungan Bagas cukup. Dia tak mau orangtuanya semakin meremehkan kemampuan suaminya.
“Ehm.. Derra dan mas Bagas masih nyari-nyari bu. Belum ada yang cocok.” Ucap Derra dengan menyunggingkan seulas senyum.
“Kalian tinggal nempati rumah yang udah ada aja nggak mau. Penginnya beli sendiri.” Angkasa ikut berkomentar.
Wida menghela napas, “kalian punya dana yang cukup kan? Coba kalau Derra nggak mutus kontrak iklan shampoo, uangnya bisa untuk beli rumah. Ayah ibu tahu berita ini dari i********:. Kok ya kamu nyembunyiin berita ini dari ayah ibu Der.”
Derra kembali berpandangan dengan Bagas. Derra bingung memilih kata-katanya.
“Harusnya Derra selesein dulu kontraknya, jangan main mutus segala. Sayang kan nilai sebesar itu akhirnya balik lagi ke sana. Ini bukan kontrak sembarangan Der. Produk shampoo itu juga terkenal banget dan nggak sembarangan milih brand ambassador. Kalau sikap kamu kayak gini, produk lain nanti jadi mikir-mikir mau pakai Derra buat jadi brand ambassador karena Derra nggak bisa konsekuen, sikap Derra nggak bisa dipegang. Ini namanya Derra ngancurin karir sendiri. Publik figur itu dinilai attitudenya. Tindak-tanduknya selalu jadi perhatian publik.” Tukas Wida lagi dengan nada kekecewaan yang teramat besar. Dia sangat menyayangkan keputusan Derra.
“Derra mutusin kontrak itu karena ingin berhijab. Kontraknya sendiri ampe dua tahun. Masa iya Derra mesti menunda-nunda niat baik ampe dua tahun.” Jawab Derra.
“Berhijabnya kan bisa nanti, yang penting selesein dulu kontraknya. Ini tuh kesempatan besar buat terus mengenbangkan karir kamu, tapi kamu sia-siakan begitu saja.” Wida masih saja kesal.
“Derra bener-bener memutus kontrak ini karena memang Derra menginginkannya atau karena Bagas yang nyuruh?” Gantian Angkasa yang bertanya. Saat ini suasana seolah berubah seperti polisi sedang mengintrogasi pelaku krimminal.
“Derra memang ingin memutuskannya.” Balas Derra sambil melirik Bagas.
“Ayah, ibu...Bagas memang kurang setuju Derra menerima tawaran itu karena saya ingin Derra memakai hijab. Tapi saya juga nggak bisa memaksa Derra. Kami memang sempat beda pendapat soal ini. Sampai akhirnya saya menyerahkan segala keputusan pada Derra. Saya juga kaget waktu baca artikel tentang pemutusan kontrak itu. Derra nggak ngasih tahu sebelumnya. Saya bersyukur karena Derra memiliki niat yang baik ingin berhijab. Sebagai suami, saya selalu mendukung Derra dalam kebaikan.” Ujar Bagas setenang mungkin meski jauh dalam hati, dia merasa nervous apalagi melihat tatapan ayah dan ibu mertuanya yang begitu dingin.
“Berarti kamu emang jadi pengaruh yang kuat buat Derra ampe dia mutusin kontrak. Atau kamu terlalu menuntut Derra? Harusnya sebagai suami kamu dukung karir Derra dong Gas. Dari pekerjaannya ini dia bisa mendapat penghasilan yang besar, toh untuk masa depan kalian juga. Kecuali kalau penghasilan kamu sudah lebih besar dari Derra atau minimal sama, silakan kamu mengatur. Harusnya kamu lebih tahu diri, bukannya malah menekan istri.” Nada bicara Wida begitu ketus dan lagi-lagi melukai perasaan Bagas. Hingga detik ini, mertuanya masih saja meremehkannya. Seakan apapun yang ia lakukan untuk meningkatkan income tak ada artinya di mata mertuanya.
“Mas Bagas sama sekali nggak menekan Derra kok Bu. Keputusan ini bener-bener dari hati sendiri. Emang sebelumnya mas Bagas kasih banyak nasehat. Dan memang nasehat dia benar.” Derra berusaha membela Bagas.
“Bagas, ayah tahu kamu berusaha untuk membimbing Derra. Tapi harusnya kamu lebih bisa memahami. Jangan asal kasih nasehat. Jangan gegabah. Pikirkan juga resiko ke depannya. Ini bisa berimbas ke karir Derra. Gara-gara pemutusan kontrak ini, banyak yang menganggap Derra tak profesional dan plin plan. Mana ada produk yang mau pakai artis yang nggak bisa dipegang ucapan dan tindakannya. Jangan menuruti ego pribadi.” Cecar Angkasa sembari menatap Bagas begitu tajam dengan ekspresi yang tak bersahabat.
Bagas merasa tak enak hati membalas kata-kata mertuanya, tapi dia harus menjelaskan lebih rinci. Dia ingin mertuanya mamahami dan mengerti posisinya sebagai suami Derra yang sudah sewajarnya membimbing dan mengarahkan Derra.
“Bagas nggak sedang menuruti ego pribadi ayah. Kalau Bagas memang egois, tentu Bagas nggak akan menasehati Derra untuk segera berhijab dan menolak tawaran itu. Ini semua demi kebaikan Derra sendiri. Namanya menutup aurat itu wajib bagi muslimah. Segala yang ditinggalkan karena Allah, insya Allah akan diganti dengan kebaikan lebih banyak. Masa iya harus menunggu dua tahun, bagaimana jika umurnya nggak sampai dua tahun? Tentu Bagas nggak mengharapkan sesuatu yang buruk, tapi namanya kematian kita nggak akan pernah tahu kapan. Apa yang akan dipertanggungjawabkan nanti saat kewajiban menutup aurat belum dilaksanakan dan Allah sudah keburu memanggil? Saya pun akan dimintai pertanggungjawaban karena lalai membimbing istri. Bagas dan Derra sama-sama ingin memperbaiki diri.” Bagas berusaha memnjelaskan setenang mungkin. Dia takut kata-katanya akan menyinggung. Mungkin ayah mertuanya lupa bahwa sekarang ini tanggungjawab atas Derra sudah berpindah padanya.
“Ya ayah ngerti kamu punya kewajiban membimbing Derra, tapi kamu harus memaklumi pekerjaannya. Pemutusan kontrak ini jadi bawa-bawa ayah juga. Ayah kenal dengan direktur utama perusahaan itu dan hubungan pertemanan kami jadi merenggang. Derra itu publik figur dan juga anak dari Angkasa Wijaya. Semua hal yang dikerjakannya nggak cuma berdampak pada diri Derra sendiri tapi juga keluarganya. Kamu harus paham soal ini Bagas. Citra baik keluarga ini jangan sampai tercoreng. Apa yang dilakukan Derra akan membawa nama kami sekalipun dia sudah berada dalam tanggungjawab kamu. Nggak bisa dilepas. Itu yang ayah maksud untuk nggak egois. Jangan hanya mementingkan kepentingan kalian sendiri tapi juga mendengarkan kami.”
Mendengar perkataan ayah mertuanya barusan, Bagas terdiam. Dia merasa tak enak hati jika terus membalas. Dia tak ingin dicap melawan. Meski ia bisa saja membalas untuk menguatkan argumennya, dia tak melakukannya. Inti dari permasalahan ini adalah Bagas melakukan kewajibannya membimbing Derra dan menasehatinya berhijab semata untuk mencari ridho Allah, sedang orangtua Derra masih mengutamakan kepentinan duniawi, pandangan orang dan karir Derra.
“Ayah, ibu, soal karir itu kan rezeki. Kalau masih jadi rezeki untuk Derra pasti ada aja yang dateng. Dulu mungkin Derra mikir, Derra nggak mau kehilangan karir makanya Derra belum terbuka hatinya untuk berhijab. Tapi sekarang mikirnya, Derra nggak mau kehilangan identitas diri sebagai muslimah hanya karena karir.” Ucap Derra pelan.
Angkasa dan Wida berpandangan. Mereka sadar, cara berpikir Derra sekarang banyak dipengaruhi pemikiran Bagas. Tentu mereka senang jika Derra berubah menjadi lebih baik, namun mereka berharap Derra juga memikirkan keluarga dan pekerjaannya juga.
Setelah sekitar satu jam berbincang, Bagas dan Derra pamitan pulang. Sepanjang jalan, Derra tercenung. Bagas memerhatikannya. Dia bisa memahami diamnya Derra. Mungkin dia memikirkan perkataan ayah dan ibunya.
“Der, kamu masih kepikiran omongan ayah dan ibu?”
Derra melirik sejenak suaminya dan menggeleng pelan, “iya mas. Tapi nggak apa-apa sih. perbedaan pemikiran itu biasa kan?”
“Setiap kita mau melangkah ke arah yang lebih baik, pasti ada aja ujiannya.”
Derra mengangguk, “ya mas.”
Bagas melepas sebelah tangannya pada kemudi dan menggenggam tangan Derra sejenak, “mas akan selalu dukung Derra. Kalau memang Derra sudah mantap berhijab, mas harap Derra bisa istiqomah.”
“Makasih mas. Derra amsih belajar dan akan terus belajar.”
******
Hari Minggu ini Derra mengosongkan jadwal. Dia ingin ke butik membeli beberapa pakaian muslim dan kerudung. Derra mematut dirinya di cermin dan mengamati apa yang ia kenakan. Gamis polos berpadu dengan kerudung motif yang warnanya senada.
“Masya Allah Derra cantik banget.” Bagas tersenyum memandang Derra yang begitu anggun dengan pakaian muslimah. Tak hanya itu dia perhatikan Derra tak mengenakan make up apapun. Bagas melirik bedak dan lipbalm warna nude di meja riasnya.
Derra tersenyum mendengar pujian dari suaminya. Bukan sesekali ini Bagas memujinya. Bagas tipikal suami yang nggak sungkan untuk memuji istrinya, entah penampilannya atau kemampuan memasaknya.
“Mas perhatiin kamu nggak make up ya Der?”
“Derra cuma pakai pelembab dan sun screen, paling bedak ama lipbalm nude aja. Sebenarnya Derra emang lebih seneng natural begini atau minimalis aja. Make up itu tuntutan pekerjaan.” Jelas Derra sambil memerhatikan Bagas yang terus menatapnya seolah begitu terpana dengan penampilannya.
“Bagus malah Der. Wanita itu sebenarnya kan nggak boleh tabarruj, atau berhias di depan laki-laki non mahram, atau lengkapnya tabarruj itu menampakkan perhiasan dan anggota tubuh untuk menarik perhatian laki-laki non mahram. Sebenarnya definisi tabarruj itu banyak Der. Contohnya pakai jilbab yang tipis dan transparan itu juga termasuk tabarruj, lalu menjadikan jilbab sebagai hiasan. Jilbab itu kan fungsinya menutup aurat, tidak boleh menampakan perhiasan di depan laki-laki non mahram, kalau jilbabnya sendiri dijadikan perhiasan, artinya jilbab yang gaul, modis, banyak ornamen yang mencolok, nggak sesuai syariat justru malah nggak ada fungsi untuk menutup perhiasan kan? Dan menjadi perhiasan itu sendiri.”
Saat sedang menjelaskan seperti ini, Derra selalu menyimak dengan serius.
“Ada hadits tentang wanita yang mengenakan pakaian tapi kayak nggak pakai baju karena pakaian itu transparan. Rasulullah Shallallauhu’alaihi wa sallam bersabda, akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang berpakaian (tapi) t*******g, di atas kepala mereka (ada perhiasan) seperti punuk unta, laknatlah mereka karena memang mereka terlaknat (dijauhkan dari rahmat Allah Subahanahu wa Ta’ala).”
“Dalam hadits lain ada tambahan, mereka tidak akan masuk surga dan tidak dapat mencium bau (wanginya), padahal sungguh wanginya dapat dicium dari jarak sekian dan sekian.”
Derra mengangguk, “mencium baunya aja nggak bisa ya mas.”
“Iya Der. Aturan berpakaian ini nggak bisa dianggap sepele. Oya pakai wangi-wangian saat keluar rumah dan ditujukan membangkitkan s*****t laki-laki atau menarik perhatian laki-laki itu juga nggak boleh. Termasuk tabarruj Der. Kecuali kalau Derra makainya buat menarik perhatian mas itu baru boleh.”
Derra tertawa kecil, “Derra nggak pakai parfum juga mas Bagas tetap tertarik.”
“Itu sih pasti Der. Kalau nggak tertarik malah bahaya.” Bagas tersenyum lebar.
“Terus parfum yang boleh dipakai perempuan itu yang kayak gimana?” Derra menaikkan alisnya.
“Mas pernah denger dari kajian, dalam hadits riwayat Baihaqi dalam Syu’abul Iman, wewangian seorang laki-laki adalah yang tidak jelas warnanya tapi tampak bau harumnya. Sedangkan wewangian perempuan adalah yang warnanya jelas namun baunya tidak begitu tampak. Kalau mas pikir sih, lebih amannya biasakan pakai pakaian yang udah dicuci dan baru, maksud baru ini pakaian yang sebelumnya udah dicuci, disetrika, disimpen di lemari bukan pakaian yang udah dipakai sebelumnya, misal dipakai kemarin terus digantung.”
“Deera ngerti sekarang. Makasih penjelasannya mas. Punya suami ngerti agama kayak mas Bagas, Derra jadi belajar banyak.”
“Oya satu lagi Der. Pakaian yang dilarang itu selain tipis juga pakaian yang ketat dan membentuk lekuk tubuh. Ini termasuk tabarruj juga. Tapi kalau Derra tetap pingin pakai pakaian kayak gini....” Bagas berbisik di telinga Derra, “pakainya di kamar aja, pas bareng mas Bagas.”
Derra tertawa sekali lagi, “mas Bagas sempet-sempetnya mesum.”
Bagas terkekeh, “ya nggak apa-apa, sama istri sendiri. Kalau sama istri orang lain baru nggak boleh.”
“Awas aja kalau berani m***m ama istri orang, Derra bakal nendang mas sampai ke pluto, nggak balik lagi.”
Bagas tertawa.
“Oya Der tadi mas baca WA dari Mimi, katanya ada iklan dan film yang membatalkan kontraknya dengan Derra karena Derra berhijab ya? Kok Derra nggak bilang ke mas?”
Derra menghela napas, “iya mas. Derra nggak bilang biar mas Bagas nggak kepikiran aja sih. Peran di film itu kan Derra bakal jadi cewek yang gaya pakaiannya punk, rambut awut-awutan dan diwarnai. Ya Derra bersyukur malah dibatalkan kontraknya, nggak cocok untuk Derra yang sekarang berhijab.”
“Alhamdulillah.. Itu artinya Derra udah siap menghadapi segala konsekuensi. Oya besok Laras kan mau ke sini. Kata Andra sih dia nginep di hotel. Dia dateng bareng muridnya yang lomba dan satu rekan guru lainnya. Habis lomba, dia nggak langsung pulang tapi janjian ketemuan ama Andra. Jadi mungkin nanti kita jemput dia dan nganter ke kafe Andra. Dia nggak mau kalau cuma dijemput Andra, bukan mahram.”
Derra mengangguk, “okay mas, Derra usahain buat ikut jemput. Jadi Andra serius ya ama Laras?”
“Sepertinya begitu. Kita doakan saja yang terbaik untuk mereka.”
Derra tersenyum, “oya mas nanti di butik, kita belikan baju buat bapak ibu ama Asti juga ya. Nanti kita kirim lewat ekspedisi. Derra pingin kasih hadiah buat mereka.”
Bagas mengangguk, “iya Der, mereka pasti seneng. Ya udah sekarang kita berangkat yuk. Udah siang.”
Derra mengangguk. Mereka berjalan beriringan menuju mobil. Senyum tak jua terhenti tersungging dari bibir Bagas. Hijrah istrinya ini adalah salah satu hal yang sangat membahagiakan dan sangat ia syukuri. Ia berharap Derra akan dimudahkan untuk istiqomah dengan hijrahnya.
****