Kaisar meraih selembar selimut untuk menutupi tubuh Kristal, lalu mengutip piyama yang tadi dibuang gadis itu.
"Sekarang pakai bajumu," ucap Kaisar, amat lirih tapi masih bisa Kristal dengar.
Dengan tangan gemetaran, Kristal berusaha mengancingkan kembali piyamanya. Saking paniknya sampai dia tak sadar jika dia memasang kancing pada lubang yang salah.
Pintu diketuk.
"Cepat masuk, pintunya tidak dikunci!" Teriak Kristal.
Sherly ketakutan begitu melihat darah mengalir dari tangan majikannya. Wanita itu berdiri mematung di tempatnya.
"Panggil dokter! Kenapa kau diam saja, aku tidak tahu nomornya!" Seru Kristal. Kepanikan tergambar nyata di wajahnya.
"Ba ... Baik Nona." Sherly mengambil gagang telepon dan menghubungi Chaca.
"Maafkan aku, ini semua salahku. Kau terluka karena aku," ucap Kristal terisak. Sementara pria itu berjongkok, mensejajarkan diri dengan wanita pujaan hatinya.
"Tidak, jangan katakan itu!" Kaisar menggeleng pelan. Kristal membantunya bangun dari lantai dan membaringkannya di kasur.
"Kau berat sekali, ya ampun," rutuk Kristal. "Bi, tolong bantu aku angkat tuanmu!"
"Tidak!" Tegas Kaisar.
"Tunggu apa lagi, kenapa diam!" Hardik Kristal pada Sherly.
"Maaf Nona, bukan saya tak mau membantu, tapi tuan tidak suka jika ada orang yang menyentuhnya."
"Cih! Peraturan macam apa itu," dumel Kristal. Setelah susah payah akhirnya dia berhasil membaringkan Kaisar di kasur.
Pintu kembali terbuka. Seorang gadis cantik bersnelli datang tergesa. "Apa yang terjadi?"
"Tangannya terkena pecahan kaca," lapor Kristal.
"Bagaimana bisa!" Tanpa sadar, dokter cantik bernama Chaca itu menaikkan volume suaranya, melihat darah yang mengalir membuatnya panik.
"Jangan membentaknya," tukas Kaisar, tak terima ada orang yang menaikkan suaranya pada wanita yang amat dicintainya itu.
"Ck. Sini aku obati." Chaca duduk dan segera menarik tangan Kaisar.
"Tidak usah, aku baik-baik saja!" Tolak Kaisar.
"Lukamu cukup dalam dan butuh beberapa jahitan."
"Aku bilang tidak mau ya tidak mau!" Tegas Kaisar.
"Benar-benar keras kepala. Kau bukan manusia super, jika lukamu sampai infeksi, kau juga bisa mati," omel Chaca.
"Aku tidak selemah itu." menjawab dengan santai dengan tatapan tertuju lurus ke arah jendela kamarnya.
"Astaga! Ada ya, manusia macam kamu?"
"Pulang saja dari pada kau terus mengomel! Telingaku sakit mendengarnya."
"Kaisar!" Bentak Chaca.
Kristal terpaku, ia tak mengerti dengan pertikaian dua orang di hadapannya, tapi satu hal, dia akhirnya tahu nama pria yang telah menidurinya semalam.
"Kau harus diobati," bujuk Kristal.
"Tidak mau!"
Chaca hampir meledak, ingin rasanya dia mengantukkan kepala Kaisar di dinding, berharap pemikiran temannya berubah menjadi sedikit normal.
"Baiklah, tidak masalah jika kau tidak mau diobati, tapi ingat, nanti jika infeksi aku tidak mau tanggung jawab. Asal kau tahu saja, kalau kau sampai infeksi, kau akan mudah sakit, tubuhmu akan bereaksi. Kau akan kehilangan bentuk tubuhmu yang indah, kulitmu akan berubah menjadi berkerut, sakit-sakitan lalu mati muda. Mau, kamu?"
Kaisar masih terdiam. Wajahnya pucat pasi seakan tak teraliri darah sama sekali. Titik-titik peluh juga mulai bermunculan di sekujur tubuhnya.
"Ayo, kau harus diobati, aku mohon," rayu Kristal lagi."
Sepersekian detik, Chaca bisa bernapas lega setelah pria super keras kepala itu menurut. Langsung saja Chaca membuka peralatan medisnya. Luka yang cukup dalam di tangan Kaisar membuat pria itu harus menerima beberapa jahitan.
Sesekali tubuh Kaisar berjingkat seiring dengan jarum dan benang jahit yang keluar masuk ke dalam kulitnya. Memang tidak ada rintihan kesakitan, bahkan air mukanya cenderung datar, akan tetapi Kristal tahu jika Kaisar tengah kesakitan.
Kristal masih setia menemani pria itu di dekatnya, tanpa sadar mendekap bahu Kaisar seolah sedang menyalurkan kekuatannya.
"Untuk sementara jangan biarkan lukanya terkena air, rajin bersihkan dan ganti perbannya," ucap Chaca sambil membereskan peralatannya.
Seperti biasa, Kaisar hanya diam tanpa menanggapi.
"Aku heran kenapa aku mesti berteman dengan spesies langka sepertimu," gumam Chaca, tapi lagi-lagi pria itu tak merespon.
"Ya sudah. Aku harus kembali ke rumah sakit karena ada banyak pekerjaan. Nona, tolong pastikan pria kepala batu ini meminum obatnya, dan ya, tolong bantu dia mengganti perban dan mengurusnya dengan baik ya," ucap Chaca pada Kristal.
"Kenapa harus aku? Kenapa tidak Anda saja?" Tanya Kristal, heran.
"Karena Tuan Muda kita ini tidak mengizinkan sembarangan orang menyentuhnya," beritahu Chaca.
Kedua alis Kristal saling bertautan. Ini kali kedua dia mendengar kalimat yang sama dan awalnya dia mengira Sherly hanya berlebihan, tapi ketika Chaca sendiri yang mengucapkannya lalu Kristal pun mulai mengerti.
"Ingat Nona, mulai sekarang Andalah wali pasien, jaga dia baik-baik atau Anda bisa masuk bui jika sampai terjadi sesuatu padanya. Anda tak mau karir Anda di dunia hiburan menjadi hancur kan?" Chaca mengedipkan sebelah matanya, membiarkan Kristal melongo tak percaya.
Hampir saja Kaisar tertawa mendengar ancaman Chaca, tapi ia menahannya. Dalam hati Kaisar bersyukur karena secara tidak langsung Chaca telah membantunya menahan Kristal untuk tetap berada di rumah itu.
"Aku pergi dulu, pria kepala batu," pamit Chaca. Wanita cantik itu menggelengkan kepalanya lalu tersenyum jenaka membayangkan reaksi Kristal tadi.
"Cantik, cantik luar dalam. Pantas saja Kaisar tergila-gila padanya," gumam Chaca, menutup pintu.
Hening.
Kini hanya ada kebekuan yang melanda dua insan itu. Terlepas dari apa yang telah dilakukan Kaisar padanya, tetap saja Kristal merasa bersalah atas luka pria itu. Jika saja dia tak bertindak gegabah, kejadian seperti itu tak mungkin terjadi.
.
.
"Yura," lirih Kristal hampir tak terdengar.
Yura yang tengah menangis pun langsung memeluk tubuh Kristal. Keduanya saling menumpahkan tangis.
"Ya Tuhan, Kristal!"
Hanya ada tangisan di antara mereka hingga beberapa menit lamanya. Terlalu banyak cerita yang ingin Kristal sampaikan, akan tetapi dia tak tahu harus memulainya dari mana.
Seolah mengerti, kedekatan yang terjalin di antara mereka membuat Yura juga dapat merasakan kesedihan teman sekaligus orang yang telah dia anggap sebagai keluarganya itu.
"Yu, aku ..." Ucapan Kristal tertahan, seolah ada batu yang mengganjal di tenggorokannya.
"Aku sudah mengetahuinya. Laki-laki itu hanyalah iblis berwujud manusia saja Kris."
Tangis mereka kembali pecah. Setelah drama pecahan kaca tadi, Kaisar menyuruh Sherly mengantarkan Kristal untuk bertemu dengan Yura.
Disinilah mereka sekarang. Duduk di tepi kolam dengan kedua kaki masuk ke dalam kubangan air raksasa itu.
"Aku menyesal karena menolak pengawalan ketat malam itu," lirih Kristal. "Sekarang apa yang harus aku lakukan Yu? Aku sudah kotor sekarang, aku sangat menjijikan. Apa yang harus aku katakan pada Kak Keenan nanti?" Kristal menutupi wajahnya.
"Kau tenanglah, kita akan pikirkan jalan keluarnya bersama. Ini semua bukan kesalahanmu, manusia keji itu saja yang tidak tahu malu," maki Yura.
"Lalu bagaimana bisa kau sampai di sini?" gantian Kristal yang bertanya.
"Tentu saja perbuatan anak buah manusia tengik itu, lihat saja nanti, kalau aku sampai bertemu dengannya lagi, akan aku cakar wajahnya."
"Sekarang apa yang harus aku lakukan?" Tanya Kristal, sarat akan keputusasaan. "Kenapa kita nggak kabur saja dari sini?"
"Seandainya bisa Kris, aku saja ragu kalau kita bisa keluar dari rumah terkutuk ini."
"Kenapa?"
"Apa orang itu belum memberitahukan padamu?" tatapan dua gadis itu saling bertubrukan.
"Soal apa?" Kristal menelisik wajah Yura.
"Surat perjanjian gila yang dia tulis untukmu," cetus Yura.
"Surat perjanjian?" Kristal membeliak tak percaya.
Yura mengangguk.
"Surat perjanjian apa? Kenapa aku tidak tahu? Apa isinya?"
"Sudah aku robek" jawab Yura, begitu kesal.
"Memangnya perjanjian apa?"
"Mohon maaf Nona, Tuan Kaisar meminta Anda untuk datang ke kamarnya."
Belum sempat Yura menjawab, ucapan Romy sudah lebih dulu menginterupsi mereka.
"Kenapa harus aku?"
"Entah apa yang telah tuan lakukan, tapi tangannya kembali mengeluarkan darah," beritahu Romy.
"Ya Tuhan." Buru-buru Kristal bangun dari sana.
"Hei, manusia Tidak punya etika! Kita perlu bicara sebentar!" Cegah Yura ketika melihat Romy hendak berlari membuntuti Kristal.
Pria itu pun terpaksa menghentikan langkahnya, memutar bola matanya malas.
"Cepat katakan apa yang ingin Anda bicarakan! Saya tidak punya banyak waktu."
Yura semakin mantap mendekati pria berkemeja putih itu.
Plak!
Romy mendesis sambil memegangi pipinya, dari sudut bibirnya mengeluarkan cairan merah.
"Kau!" Tangannya menunjuk Yura penuh amarah.
Lalu Yura mulai menyerang Romy dengan membabi buta. Mulai dari mencakar, meludahi wajahnya dan menjambak rambut pria itu hingga menyebabkan beberapa helai rambutnya rontok.
Romy bukan tak bisa melawan, tapi dia terlalu syok. Dia tak menyangka jika Yura bisa mendapatkan kekuatan super seperti ini.
"b******n! Kurang ajar! k*****t! Manusia rendahan!" Makian dan kata-kata kasar terus lolos dari bibir tipis Yura.
"Jangan berani-berani menyakitiku atau kau akan tahu akibatnya, Nona," ancam Romy. Laki-laki itu berhasil mengunci pergerakan Yura dengan memiting kedua tangan gadis itu ke belakang.
"Oh, ya. Kau pikir aku takut? Palingan aku akan mati jika memang kau serius dengan ucapanmu, dan kuberi tahu satu hal, jikapun aku mati aku tak akan menyesal karena aku sudah membalaskan dendamku padamu."
"Masih berani kau bicara padaku." Romy menarik tangan Yura, hingga gadis itu memekik kesakitan.
Yura tak kehilangan akal, dia mengigit lengan Romy dengan sangat keras dan memanfaatkan waktu untuk meloloskan diri ketika Romy lengah.
"Wanita sialan! Kau benar-benar mau mengujiku ya!" Gigi Romy bergemerutuk.
"Kejar aku kalau bisa, gorila busuk," umpat Yura.
"Kau pikir aku tidak bisa mengejarmu!"
Dengan langkah panjang Romy mengejar Yura, tapi anehnya gadis itu malah berbalik dan mendekatinya.
"Kenapa?" Romy berkacak pinggang sambil melotot ke arah gadis itu.
"Sepertinya aku berubah pikiran," cetus Yura.
"Bagus, minta maaf padaku, mungkin aku akan meringankan hukumanmu."
"Minta maaf?" Yura membelalakkan matanya. "Tidak salah?" senyumnya terlihat begitu mengejek.
"Semua keputusan ada di tanganmu, kau tinggal pilih, mau selamat atau cari perkara?" Romy mencoba memberikan pilihan.
"Ah, kau benar. Nama Romy bahkan terlalu bagus untuk gorila busuk sepertimu!"
"Apa!" Romy mendelik. Bola matanya sudah seperti mau loncat dari wadahnya.
"Iya." Yura terus maju, hingga akhirnya.
Bug!
Kedua lutut Romy jatuh ke lantai. Mulutnya terbuka, menahan kesakitan luar biasa yang dia rasakan di sela-sela pahanya.
"Itu belum apa-apa, jangan macam-macam sama Yura Aikawa atau kau akan menerima yang lebih buruk dari ini." Yura menyeringai licik, dia lalu berjalan meninggalkan Romy yang masih meringis kesakitan seraya memegangi asetnya.
"b******k!" Teriak Romy sambil memegangi senjatanya yang terasa panas.
"Kalau sampai aku kehilangan keperkasaanku, awas kau wanita sialan!" Maki Romy lagi, ia menangis karena memang rasanya sangat sakit.
Yura menendang senjata pusakanya dengan sangat keras, beruntung senjata tempurnya itu tak sampai hancur.
.
.
Kristal menoleh ke sekeliling, warna daun pintu dan cat yang sama di setiap ruangan bangunan berlantai tiga itu membuatnya tersesat.
"Ada apa Nona?" Tanya salah seorang pelayan yang kebetulan melintas.
"Oh, tolong antarkan aku ke kamar tuanmu!"
"Baik Nona."
Pelayan itu membawa Kristal ke lantai dua, tepat di depan pintu bercat abu-abu. Setelah mengetuk pintunya, Kristal pun memberanikan diri untuk masuk.
"Kudengar tanganmu berdarah lagi?"
Kaisar tetaplah Kaisar. Lelaki itu membungkam mulutnya rapat-rapat, mengabaikan Kristal.
Lalu, tanpa sepatah kata, Kristal mendaratkan bokongnya tepat di samping pria itu. Menarik tangan Kaisar dan mulai memeriksanya.
Helaan napas Kristal terasa berat. Dia begitu cekatan mengoleskan obat dan mengganti perban Kaisar.
"Bagaimana bisa berdarah lagi?"
Kaisar bergeming. Sama sekali tak ada kalimat yang lolos dari bibirnya, sementara matanya terus mengawasi Kristal. Cara Kristal menaruh anak rambut di belakang telinganya saja membuat Kaisar terpukau.
Melihat kecantikan gadis itu dari jarak yang sangat dekat membuat degup jantung Kaisar tak beraturan. Berdoa saja Kristal tak mendengarnya mengingat suasana dalam kamar itu sangat hening.
"Kau punya mulut kan? Apa kau selalu seperti ini? Aku juga butuh penjelasan, dan bukankah kau juga bisa bicara tadi. Apa perlu aku menggores tanganku juga agar kau mau bicara lagi denganku," ancam Kristal.
Gadis itu terdiam, matanya menatap lurus manik mata sehitam tinta milik pria di hadapannya. Jari telunjuk Kaisar telah terparkir cantik di depan bibirnya yang merah jambu.
"Tadinya aku mau makan, dan aku tidak tahu kalau dengan gerakan sedikit saja akan membuat lukaku kembali mengeluarkan darah." Kaisar menurunkan jarinya.
Kristal melirik nakas, tempat di mana sepiring makanan tersaji di sana. "Biar aku suapi."
"Tidak usah," tolak Kaisar.
"Kau harus makan agar cepat sembuh, aku tahu kau tidak mau disentuh atau dilayani orang lain. Biarkan aku melakukan tanggung jawabku sebagai wali pasienmu."
Kaisar tak lagi menolak ketika Kristal menyuapinya. Keduanya saling bungkam hingga Kristal selesai dengan pekerjaannya.
"Kau harus cepat sembuh, agar aku bisa secepatnya pergi dari sini."
Deg!
Ucapan Kristal bak belati yang sedang merajam jantung Kaisar. "Kau tidak boleh pergi," ucapnya dingin.
"Kenapa?"
Kaisar menggeser tubuhnya, membuka laci nakas dan memberikan map pada Kristal dengan tangan kiri.
"Apa ini?" Menerima map itu, Kristal membuka dan mulai membacanya.
Mata indah dihiasi bulu mata lentik itu terus melotot melihat barisan kata yang tersusun rapi di atas kertas bermaterai.
"Jangan gila! Aku bukan b***k nafsumu!" Hardik Kristal usai membaca tulisan-tulisan itu.
"Kau tidak punya pilihan lain selain menerima tawaranku," ucap Kaisar dengan angkuhnya.
Sebutir kristal bening jatuh begitu saja tanpa dapat Kristal tahan. Tatapannya yang semula menghangat, berubah menjadi tatapan penuh kebencian pada Kaisar.
Pria itu membuang muka. Selalu seperti itu. Kaisar tak akan sanggup melihat wanitanya menangis, apalagi menatapnya penuh kebencian, seolah jijik.
'Jangan tatap aku seperti itu Kris karena aku tidak sanggup,' jerit Kaisar dalam hati.
Kaisar meremas seprai yang melapisi kasurnya, memejamkan mata sejenak untuk menguatkan hati agar pendiriannya tak goyah. Jangan sampai hanya karena air mata wanita itu, membuat Kaisar melunak dan memberikan sedikit kelonggaran. Tidak. Apa pun yang terjadi, Kristal harus tetap tinggal bersamanya.