Satu tahun kemudian...
Milda akhirnya menginjakkan kakinya lagi di tanah kelahirannya setelah kurang lebih enam atau tujuh tahun lamanya. Terakhir kali Milda ke Indonesia adalah untuk mengantarkan mendiang Eyang Uti ke tempat pengistirahatan terakhirnya. Setelah itu, Milda sibuk membantu di perusahaan keluarganya di Sydney hingga akhirnya tidak pernah sekalipun kembali lagi ke sana.
Tapi kini, Milda bukan hanya kembali untuk berlibur. Perempuan itu benar-benar kembali.
Milda masih ingat kekhawatiran sang Papa ketika Milda memutuskan untuk menerima tanggung jawab mengurus cabang perusahaan mereka yang akan didirikan di Indonesia. Mengingat Milda sudah memiliki kehidupannya yang jauh lebih bahagia di Sydney, sang Papa tentu tidak ingin menempatkan Milda pada hal yang mungkin tidak terlalu disukainya.
“Biar gimanapun, Milda pasti akan kembali ke sana suatu hari nanti dan mungkin memang sekarang saatnya. Udah cukup Milda lari dan kabur, Milda udah sepenuhnya sembuh dan baik-baik aja sekarang.”
Itu adalah kata-kata yang Milda katakan kepada Bram untuk meyakinkan lelaki paruh baya itu jika Milda memang benar-benar menginginkannya dan bukan karena terpaksa.
Lagipula, beberapa bulan lagi Milda akan berusia tiga puluh dua tahun. Terlalu kekanakan rasanya jika Milda masih menghindar dari masa lalunya yang ada di sana. Biar bagaimanapun, apa yang ada di masa lalu akan selalu menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Mungkin Milda bahkan tidak ada di tempatnya berada saat ini jika dirinya tidak mengalami hal-hal itu di masa lalu.
Milda menatap trolly berisi beberapa buah koper besarnya. Mungkin ini bawaan terbanyak yang pernah Milda bawa saat kembali ke Indonesia. Karena tentu saja Milda tidak hanya akan menetap satu atau dua minggu saja tapi mungkin beberapa tahun atau mungkin seterusnya?
Entahlah.
“Mau langsung panggil taksi?” Lelaki yang sedang mendorong trolly bawaan itu bertanya. “Atau mau makan dulu?”
Milda menoleh sejenak, terlihat berpikir. Perutnya memang cukup lapar sih, tapi Milda sudah ingin cepat-cepat sampai ke rumah dan tidur. “Nggak, deh. Langsung balik aja.”
Lelaki itu mengangguk. Mereka terus berjalan menyusuri bandara dari pintu kedatangan menuju keluar di mana banyak orang-orang terlihat menunggu untuk menjemput orang-orang terdekat mereka.
Dan mata Milda membelalak saat ia mendapati sosok-sosok yang sangat familiar baginya.
Terutama saat matanya menangkap sepasang bocah berusia tujuh tahun yang melompat sambil melambaikan tangannya antusias. “What the...” Milda langsung mempercepat langkahnya, meninggalkan lelaki di sebelahnya dan trolly berisi bawaan mereka begitu saja menghampiri kedua bocah itu. “Kala! Kalea!”
“ONTI MILDAAA!” Keduanya berteriak heboh dan langsung ikut berlari mendekati Milda lalu memeluk tantenya itu dengan riang gembira.
Milda benar-benar tidak berpikir akan menemukan dua keponakan kembarnya itu akan berada di sana sebagai orang yang menyambut kedatangannya pertama kali. Perempuan berambut panjang itu melirik sinis ke arah orang yang paling mungkin merencakan semua ini terjadi.
Ares, kakak sepupu Milda itu hanya tertawa ketika mendapatkan tatapan tajam dari adik sepupunya tersebut. Di sebelahnya ada Jani, istri Ares yang sepertinya ikut bersekongkol dengan suaminya itu.
“Kalian ya, kenapa nggak bilang kalau mau jemput, sih? Untung gue belum pesen taksi!” Milda menegakkan tubuhnya setelah memeluk kedua keponakan kembarnya. Kini waktunya mengomeli orang tua si kembar karena sudah mengejutkannya. “Terus ini, pakai bawa si kembar segala jauh-jauh mana ini udah malem. Kan kasihan.”
“Baru jam tujuh, masih sore. Lagian besok libur, si kembar udah kangen banget sama ontinya jadi mereka excited banget pas tahu kita mau jemput.”
Milda langsung mengelus kepala kedua keponakannya tersebut. Meski Milda jarang pulang ke Indonesia, Milda tidak pernah putus kontak dengan keluarga Ares terutama kedua keponakannya itu. Mereka secara rutin melakukan video call, sehingga Milda sama sekali bukan sosok yang asing untuk si kembar. Bahkan setahun yang lalu si kembar mengunjungi Milda ke Sydney.
Abifian, lelaki yang mendorong trolly sekaligus menjadi orang yang datang bersama Milda pun tiba menyusul mereka. “Halo,” sapanya ramah.
“Res, Jani, masih inget kan sama Abifian? Kalian pernah ketemu pas ke Sydney tahun lalu. Dia bakal bantu gue juga handle perusahaan Papa di sini.”
“Loh masih temen? Kirain udah jadian,” ledek Ares yang langsung dihadiahi oleh Milda sebuah tatapan galak.
Berbeda dengan Milda, Abifian justru dengan santainya menanggapi, “Tau nih, Mas, Mildanya masih belum mau jawab padahal udah sering ditanya.”
Mendengar itu Milda berganti melemparkan tatapan tajamnya ke arah lelaki bertubuh bulky tersebut. “Bi, please deh.”
Ares tertawa. Sedangkan Jani hanya geleng-geleng kepala. “Udah-udah, Milda sama Abifian pasti capek abis penerbangan. Mending kita makan malem dulu, yuk?”
Tadinya, Milda hanya ingin istirahat dan langsung tidur. Tapi bagaimana bisa dia menolak ajakan Jani setelah dia dan Ares serta anak-anak mereka bahkan meluangkan waktu dan tenaga mereka untuk repot-repot menjemput Milda.
Milda lalu melirik ke arah Abifian yang ternyata juga sedang menatap ke arahnya. “Is it okay, Bi? Tapi kalau kamu capek, kamu pulang duluan aja nggak apa-apa.”
Abifian tersenyum sebelum menggeleng. Sebuah lesung di pipi kirinya menghiasi wajah lelaki itu. Meski badan Abifian besar dan berotot, ketika tersenyum lelaki itu terlihat sangat manis karena lesung pipinya tersebut. “No, it’s okay, aku laper juga kok.”
Milda mengangguk. “Yaudah deh, yuk?”
“Kalian mau makan apa?” tanya Jani kepada Milda dan juga Abifian.
Milda tampak berpikir sebentar sebelum kemudian menunduk sedikit ke arah kedua ponakannya. “Kakak sama Kala mau makan apa?”
“Ayam!”
“Nggak mauuuu, mau pizza!”
“Ihhh ayammmm!”
Milda tertawa sedangkan ayah si kembar berdecak karena Milda berhasil membuat anak kembarnya itu ribut soal makanan. “Udah-udah, kita makan di restoran yang ada pizza sama ayamnya juga, gimana?” Milda segera melerai Kala dan Kalea sebelum keduanya benar-benar bertengkar.
“Okedeh Onti!” seru keduanya kompak. Kala dan Kalea lalu menggandeng tangan kiri dan kanan Milda membuatnya berada di tengah-tengah mereka.
Ares dan Jani berjalan di belakang mereka, bersama dengan Abifian yang membawa bawaannya dan juga Milda di trolly menuju ke mobil Ares terparkir tidak jauh dari tempat mereka saat ini.
“Di Jakarta nanti bakal tinggal di mana, Bi?” tanya Ares kepada Abifian.
“Udah rent apartemen deket kantor sih Mas. Satu apartemen sama Milda, tapi beda tower.”
“Oh, memang aslinya asal mana, Bi?”
“Mami Bandung, Papi orang Surabaya. Tapi dari lahir udah di Sydney, Mas, sama keluarga di Indonesia juga nggak terlalu akrab selain sama keluarga Mami di Bandung.”
Lalu percakapan mereka pun harus terputus karena mereka sudah sampai di tempat Ares memarkirkan mobilnya.