Bab 2. Hari Pertama Kerja

2037 Kata
Azura sangat bersemangat berangkat kerja, dia mengendarai mobil yang dibelikan oleh ayahnya. Azura masih belum hafal jalan, dia hanya berbekal maps dan berharap tidak akan telat sampai perusahaan. Saat ini, dia harus melakukan segalanya dengan sangat baik, dia tidak akan membiarkan satu kesalahan terjadi di hari pertamanya bekerja. “Macet sekali, padahal tinggal sedikit lagi,” gumam Azura kesal. Tepat pukul tujuh akhirnya Azura tiba di kantor, dia segera keluar dari mobilnya dan langsung menuju ke resepsionis untuk bertanya. Dia mendapatkan posisi sebagai wakil ketua divisi pengembangan dan dia diharuskan melapor jika sudah mulai bekerja karena ada beberapa dokumen yang harus dia isi terkait rekening penerimaan gaji dan beberapa hal penting lainnya. “Nyonya Azura, silakan tunggu sebentar, asisten tuan Abraham akan segera menemui Anda.” Azura hanya mengangguk dan duduk di tempat yang di sebutkan. Azura merasa bingung, dia dipanggil nyonya dan kenapa dia harus bertemu tuan Abraham? Bukankah dia harusnya bertemu HRD? Azura sudah tepat waktu datang ke perusahaan, apakah masih ada hal yang Azura lewatkan? “Nyonya,” ucapan Regi selaku asisten Melvin mengagetkan Azura. “Ah, maaf, saya kurang fokus.” “Mari saya antar!” ucap Regi dengan sopan. Azura merasa tidak asing dengan lelaki itu, tetapi dia berusaha untuk berpikir positif karena dia tidak ingin mendapatkan masalah di hari pertamanya bekerja. “Maaf kenapa saya harus bertemu dengan pemilik perusahaan? Bukankah cukup dengan HRD?” tanya Azura memberanikan diri. “Saya tidak tau, Nyonya. Tuan Abraham hanya berpesan seperti itu,” jawab Regi. “Kenapa memanggil saya, Nyonya? Apakah saya setua itu?” tanya Azura dan membuat Regi bungkam. Semakin dekat dengan ruangan atasan kini perasaan Azura semakin merasa tidak tenang, Regi membuka pintu dan mempersilakan Azura untuk masuk. Azura merasa takut, dia menatap Regi dengan pandangan memohon, setidaknya lelaki itu harus masuk menemaninya. “Maaf Nyonya, saya hanya bisa mengantar sampai sini.” Azura merasa kesal dengan ucapan Regi. Kenapa seolah-olah dia ingin dimasukkan ke kandang buaya? Memangnya apa salahnya? "Nyonya, akan bermasalah jika sampai pergi dari sini." Regi memperingati saat melihat gestur tubuh Azura yang seperti menolak masuk ke dalam ruangan. Azura menghela napas kasar. Tak ada pilihan selain masuk karena tak ingin ada masalah. "Selamat pagi, Pak." Saat ini, Azura melihat seorang pria duduk di kursi kebesarannya dengan posisi membelakangi. "Singkirkan pikiran burukmu itu!" Melvin memutar kursi, membuat Azura tahu bahwa yang ada di hadapannya saat ini adalah pria yang ditemuinya kemarin sewaktu di taman. Pria yang mengaku-ngaku sebagai suaminya. "Kamu ...." "Apa pria ini akan membalasku karena kemarin aku sudah mengusirnya? Ya Tuhan, kenapa atasanku dia?" batin Azura merasa malu saat teringat kejadian kemarin. Kejadian di mana wanita itu membentak Melvin dengan kasar untuk pergi dari rumahnya. “Sudah saya katakan, singkirkan pikiran burukmu!" “Apakah kamu dukun? Kenapa kamu bisa membaca pikiranku?” tanya Azura dengan bodoh. “Tanpa menjadi dukun, saya sudah bisa membaca isi pikiran sempitmu itu.” Melvin terlihat sangat arogan saat ini. Azura pun tidak berkata apa-apa lagi karena pria yang ada di depannya itu adalah atasannya. Dia bahkan tidak berani lebih dekat dengan Melvin. Melihat sikap Azura yang seperti itu, membuat Melvin semakin rindu akan sosok istrinya. Namun, Melvin harus bisa menahan dirinya. Dia harus membuat Azura jera dan kembali patuh padanya. “Kau bisa berjalan atau saya yang ke sana?” tanya Melvin. Azura berjalan selangkah demi selangkah, tindakan Azura membuat Melvin sangat kesal. Lelaki itu pun akhirnya bergegas menghampiri Azura dan memojokkannya ke dinding. Azura terlihat ketakutan dengan sikap Melvin dan itu adalah tujuan utama Melvin menjebak Azura kembali ke perusahaan agar pria itu kembali dapat memiliki hati istrinya. “Aku sudah menunggu lima tahun untuk kembali memilikimu istriku,” bisik Melvin sambil memojokkan Azura ke dinding. Seringai menyeramkan tersungging di bibirnya. Azura tak bisa berkutik, wajah Melvin sangat dekat dengannya. Membuat tubuhnya hanya mematung seperti terasa kaku karena ketakutan. "Apa maumu? Kenapa kamu selalu mengatakan aku adalah istrimu? Sudah aku bilang aku bukan istrimu!" Masih dengan suara yang ramah, Azura meralat perkataan Melvin sambil menjaga jarak dari tubuh pria itu. "Sekarang kamu bisa bilang seperti itu, nanti aku pasti akan membuktikan padamu!" Melvin melepas penjagaan tangannya dari tubuh Azura hingga wanita itu kini dapat bernapas dengan lega. "Pergilah, lanjutkan pekerjaanmu!" Azura mengangguk kaku. Masih tak menyangka jika atasannya adalah Melvin. Dia pun keluar dari ruangan dengan tatapan kosong. “Nyonya, apa yang terjadi?” tanya Regi merasa bingung karena dia tidak tahu apa yang dilakukan Melvin pada Azura. “Aku baik-baik saja. Apakah kau punya air?” Azura berusaha berdiri tegak, tetapi kedua kakinya masih terasa lemah. Sementara itu, Melvin masih terus memantau Azura dari layar. Dia pun tersenyum puas saat melihat wanita yang kemarin bersikap angkuh padanya berubah jadi penurut. “Apakah Nyonya sakit?” tanya Regi. Azura tak menjawab. Masih meneguk air minum yang perlahan mampu membuat ketenangannya kembali. “Regi, di mana ruangan HRD?” “Sebentar lagi dia akan datang, Nyonya. Tunggu saja di sini!” jawab Regi, bersamaan dengan itu, seorang pria paruh baya datang mendekat. "Selamat pagi, Nyonya." Pria yang merupakan HRD itu pun menyapa dengan ramah. "Iya, selamat pagi juga, Pak. Jadi, apa ada administrasi yang harus saya lengkapi?" "Tidak perlu, Nyonya. Mari saya antar ke ruangan Anda,” jawab HRD, mempersilakan Azura berjalan lebih dulu. “Maaf, Pak, tapi saya rasa tidak perlu terlalu formal seperti ini, apalagi sampai memanggil saya nyonya.” Azura hanya merasa tidak pantas karena mau bagaimanapun dia baru bekerja di perusahaan itu. HRD tersebut hanya mengangguk, semua orang tahu jika Azura adalah istri Melvin, tidak ada yang berani memperlakukan Azura dengan buruk. Wanita itu akan menjadi orang yang akan Melvin perhatikan dan siapa pun yang merundung istrinya akan mendapatkan balasan yang setimpal. “Perhatian, dia adalah wakil divisi pengembangan yang baru namanya Azura.” HRD memperkenalkan Azura pada karyawan lain divisi pengembangan. “Salam kenal semuanya, saya Azura mohon bimbingannya.” Azura tersenyum dia harap bisa bekerja sama dengan baik bersama rekannya. “Selamat datang Azura, saya Rita ketua divisi pengembangan. Aku harap kita bisa bekerja sama,” ujar Rita menyalami tangan Azura. Azura tersenyum bahagia. Walaupun atasannya tadi bersikap menyebalkan, setidaknya dia mendapatkan rekan kerja yang menyenangkan, Azura akan betah jika mendapatkan lingkungan kerja yang mendukungnya. *** “Ayo kita makan siang!" ajak Rita. Azura mengangguk, dia membereskan barangnya. Azura baru saja keluar dari pintu, tetapi telepon berdering dan membuat Azura kembali masuk. Azura takut ada hal penting yang harus dia lakukan, bagaimanapun Azura harus professional bekerja karena tidak ingin menjadi beban perusahaan. “Mbak Rita, maaf Azura nanti saja. Masih ada pekerjaan yang harus aku kerjakan,” ujar Azura. “Baiklah, jika butuh bantuan hubungi aku!" Rita tersenyum dan meninggalkan Azura. Azura merasa dongkol dalam hatinya, lagi-lagi Melvin memintanya datang menghadap. Azura merasa tidak nyaman karena dia tidak ingin jika karyawan lain mengatakan hal buruk di belakangnya, bagaimana jika mereka menuduh Azura merayu atasan? Selama hidup dia tidak ingin mendengar gosip murahan seperti itu. “Tuan sudah menunggu.” Azura masuk ke dalam ruangan dengan kesal, dia tidak percaya jika perusahaan besar memiliki atasan yang tidak memiliki kesibukan lain selain menggodanya. Azura bahkan muak dengan semua omong kosong yang dikatakan oleh lelaki sombong itu. “Duduklah istriku! Aku tahu kamu belum makan siang." “Cepat katakan! Apa maksudmu?” tanya Azura kesal. Wanita itu bahkan tak mempedulikan beberapa hidangan makan siang yang sudah tersaji di atas meja. Menu makanan yang sebenarnya terlihat sangat menggiurkan. Melvin mendekati Azura, dia tidak menyangka jika Azura berani melawannya, dia pikir setelah peristiwa pagi tadi Azura akan lebih tenang dan mengikuti segala hal yang dia inginkan, ternyata Melvin salah. Azura memang perlu mendapatkan hukuman tambahan agar kembali menjadi wanita patuh yang dia sayangi. “Kenapa kamu memperlakukan suamimu dengan buruk?” tanya Melvin yang kini membelai pipi Azura. “Singkirkan tanganmu, jangan pernah berharap aku akan mempercayai omong kosong yang keluar dari mulut kotormu itu!” sentak Azura mendorong tangan Melvin yang ingin menyentuhnya. Melvin terkekeh dan menatap Azura dengan pandangan meremehkan. “Istriku cantik sekali saat sedang marah," bisik Melvin mesra di telinga Azura. Membuat wanita itu sampai merinding merasakan embusan napas lelaki itu, Azura sangat kesal karena Melvin selalu mengganggunya dan selalu mengatakan hal aneh seperti itu. Azura ingin menendang Melvin, tetapi dia ingat bahwa saat ini Melvin adalah atasannya. “Kau memang menye–” Azura menghentikan ucapannya ketika pintu terbuka secara tiba-tiba, dia melihat anak itu datang dan tersenyum sembari berlari ke arah mereka. “Ibu, Alvin kangen sama Ibu.” Alvin memeluk Azura dengan erat. Azura menatap Melvin dengan tajam, anak itu menginterupsi perdebatannya dengan Melvin. Dia tidak bisa mengatakan apa pun karena semua ucapan yang dia katakan tidak pantas didengar oleh anak kecil. Azura lebih baik menahan diri agar tidak terpancing dengan sikap Melvin yang semakin menyebalkan. Baru dua hari berada di tanah kelahirannya, tetapi dia merasa hidupnya tidak akan tenang sejak kemunculan Melvin beserta anaknya. “Makanlah, ini waktunya makan siang!” Melvin memberikan sendok agar Azura mengikuti perintahnya. “Aku tidak lapar,” jawab Azura menolak. “Dia anak kita, buah cinta kita, Sayang. Apakah kau tega membuat hatinya sakit?” bisik Melvin di telinga Azura. Azura terdiam, Melvin tersenyum penuh kemenangan pada akhirnya dia berhasil membungkam Azura yang terus mengelak bahwa dia bukan istri dan ibu dari anaknya. Sampai kapan pun, Melvin tidak akan membiarkan Azura lepas begitu saja, dia akan menahan Azura dengan berbagai cara yang bisa dia lakukan. “Ibu, Alvin lapar.” Melvin menatap Azura tajam, dia memaksa Azura untuk mengikuti keinginan Alvin berkedok suatu perintah. Azura bekerja di perusahaan miliknya. Jadi, dia harus mengikuti segala hal yang Melvin perintahkan kalau dia tidak ingin membayar denda yang besar nantinya. Azura terlanjur menandatangani kontrak kerja dan jika dia keluar sebelum waktu yang ditentukan maka Azura harus membayar denda yang lumayan besar. “Apakah kau akan tetap diam? Apakah kau tidak melihat anakmu kelaparan?” Azura ingin membantah ucapan Melvin, tetapi melihat sikapnya yang berubah kejam membuat Azura mengurungkan niatnya. “Ingin makan apa?” tanya Azura yang sebenarnya merasa dongkol. “Ibu, Alvin ingin itu,” ucap Alvin menunjuk sushi. Azura melakukan semuanya dengan setengah hati. Kalau bukan karena ancaman dari Melvin, dia pasti tidak akan sudi melakukan hal itu. Azura bekerja di perusahaan sebagai wakil ketua divisi pengembangan, bukan malah memperhatikan tumbuh kembang anak lelaki itu. “Sepertinya saya salah masuk divisi,” ujar Azura. “Lebih baik kau tidak usah bekerja dan menjaga anak kita di rumah.” Azura menatap tajam lelaki itu. Azura tidak akan percaya dengan segala hal yang dikatakan oleh Melvin, dia takut jika lelaki itu hanya menjebaknya dengan pernikahan palsu dan Alvin hanyalah alat untuk mengikat Azura sebagai istrinya, banyak hal yang membuat Azura tidak percaya karena kedatangan mereka sangatlah tiba-tiba. “Aku menagih janji, café langit jam 7 malam. Aku jemput di kantor.” Azura melihat pesan yang masuk di layar ponselnya, Fernandes menagih traktiran makan karena Azura sudah berjanji jika dia mendapatkan pekerjaan bagus, maka dia akan mentraktir Fernandes makan. “Ada apa?” tanya Melvin. Azura mengabaikan Melvin dia membalas pesan Fernandes dan langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku, dia tidak ingin Melvin kembali marah padanya karena dia tidak melakukan pekerjaannya dengan baik. “Ayah, Ibu akan pulang bersama kita?” tanya Alvin. “Tidak, Maaf Alvin. Tante bukan Ibumu,” ujar Azura dengan sopan yang sejak tadi hanya terus diam tak membantah apa yang dikatakan Melvin soal statusnya. “Ibu menolak Alvin? Ibu tidak sayang Alvin?” tanya Alvin sedih. Melvin menggelengkan kepala, melihat sikap Azura yang begitu menyebalkan. Wanita itu bahkan sampai tega mengatakan hal yang membuat putranya bersedih. Hal yang benar-benar membuat sangat marah. “Pergi dari sini!” Melvin menarik Alvin untuk berpindah menjauh dari Azura. Bukan hanya merasa kesal, tetapi ada rasa sedih di hati Melvin. Terlebih selama lima tahun ini, mereka menunggu kehadiran Azura. Namun, setelah dia datang yang didapatkan putranya hanyalah penolakan. Melvin tahu jika Azura melupakan semua tentangnya, tetapi tidakkah ada sedikit kebaikan di hatinya? Alvin bahkan tidak mengerti apa yang terjadi dengan Azura. Anak laki-laki yang usianya baru lima tahun itu hanya tahu jika ibunya yang pergi kini sudah kembali. “Kau pasti akan menyesal dengan semua yang kau lakukan ini! Aku tidak akan melepaskanmu!" Melvin mendekatkan mulutnya agar bisa berbisik tepat di daun telinga Azura tanpa didengar putranya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN