Eps. 3 Mengusir Theo

1013 Kata
Casia menatap sosok pria berkostum anime Naruto yang berdiri di samping seorang gadis yang mengenakan kostum Hinata. Gadis di sampingnya itu juga melempar senyum padanya, bahkan melambaikan tangan padanya. "Kakak cantik, masuk dan cobalah dulu." Dengan merajuk, memperlihatkan manisnya, menekuk tangan seperti pose kucing pembawa keberuntungan, melambai lagi. Casia yang saat itu sedih sampai lupa dengan rasa sedihnya hingga membalas senyum gadis berkostum Hinata. Mungkin tak masalah jika aku mencobanya. Mungkin dengan makan yang manis akan menghapus kesedihanku. Orang bilang makan yang manis-manis membuat seseorang bahagia. "Baik, aku akan mencobanya." Nadine kemudian melangkah masuk mencari kursi kosong, sembari mengusap sisa air mata di sudut kelopak matanya. "Hei, Nevan! Kamu mau ke mana?" Pria berkostum Naruto tiba-tiba masuk mengekor di belakang Casia. "Melihat wanita cantik matanya berubah hijau begitu," gerutu gadis berkostum Hinata. Nevan hanya menoleh ke belakang sembari mengerlingkan sebelah mata pada teman, sekaligus pemodal dalam usahanya ini. Dia kemudian berdiri di samping Casia yang sudah duduk, namun bingung mau pesan apa. Dia hanya melihat etalase roti dengan tangan mengambang. "Nona, apa ada kue yang ingin dipesan?" "Aku tidak tahu, sebenarnya aku bukan penggemar roti. Jadi aku bingung mau pesan yang mana." Selama ini Casia jarang sekali makan roti. Dia lebih suka makan nasi meski dalam porsi kecil daripada roti. "Semua kue di sini dijamin rasanya berbeda dari kue biasanya. Semua kue di sini adalah buatan tanganku sendiri, Nona." Nevan mempromosikan dengan percaya diri setiap kue buatan tangannya sendiri. "Jika begitu rekomendasikan saja satu kue yang paling enak di sini." Dia sepertinya bersedih, entah karena apa. Air mata itu menghapus wajah cantiknya. Sayang sekali. Nevan berbalik kemudian menuju ke salah satu etalase, lalu kembali ke sisi Casia dengan membawa kue dengan isi cokelat yang meleleh di lidah. "Ini dia Nona, kue andalan toko ini, Choco roll cake." "Terima kasih." Nadine menerima kue itu dan mulai menyantapnya. Rasanya memang manis, lembut dan hancur di lidah begitu bercampur dengan saliva. Rasanya sungguh tak terduga. Dia sampai mengulas senyum karena baru merasakan roti seenak ini. Nevan kemudian pergi setelah melihat pelanggannya yang bersedih kini menjadi ceria setelah memakan kue buatannya. Suatu kebahagiaan sendiri bisa mengubah mood seseorang dengan kue ciptaannya. *** "Terima kasih." Nadine keluar dari toko kue. Dia mendapatkan gift kecil dari Nevan berupa donat keju. "Datang kembali lain waktu dan kami akan memberikan diskon untuk Anda, Nona." Casia mengangguk meresponsnya lalu menuju ke mobil. Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Mood-nya membaik setelah keluar dari toko roti. Sampai dia lupa kembali pulang ke mansion yang ada di wilayah Pondok Indah. Casia menarik napas panjang kala menyadari dia telah salah arah. Harusnya dia tak kembali pulang ke rumah. Harusnya dia pergi jauh entah ke mana untuk melegakan hatinya yang masih gundah gulana. Antara ragu dan cemas, dia turun juga dari mobilnya. "Jika begitu aku akan masuk untuk mengambil bajuku saja. Aku akan cepat dan segera kembali. Semoga saja Theo Tak ada di rumah. Casia menekan kode sandi rumah. Ditariknya handle pintu sampai pintu terbuka lebar. Dengan langkah cepat plus hentakan heels, dia menuju ke kamarnya. Casia mendorong pintu kamarnya keras. Kosong. Tak ada siapapun di sana. Ditatapnya kamar dengan bed cover yang berantakan tak beraturan, sprei yang turun ke bawah hingga menutupi kolong dan beberapa barang di atas meja yang berpindah tempat. Masih teringat dengan jelas kejadian tadi pagi di kamar ini, juga suara menjijikkan w************n yang menggapai nikmat bersama suaminya. Akh! Tubuh Casia roboh seketika mengingat kejadian kembali berputar di otaknya dengan jelas dan sangat menyayat hati. Dengan susah payah Casia berhasil berdiri lagi, namun dia berhenti sejenak dan menyadarkan punggungnya ke dinding untuk meraup udara sebanyak mungkin. Dadanya masih sesak penuh dengan memori buruk barusan. "Casia ... kamu harus bangkit. Kamu tidak boleh lemah." Casia menyemangati dirinya sendiri. Dia segera sadar apa tujuannya kembali ke mari. Cepat ia berjalan ke salah satu lemari setelah mengambil sebuah koper besar. Beberapa baju diambil dari lemari lalu dimasukkan dalam koper. Di luar kamar langkahnya terhenti karena kedatangan Theo. Pria yang nampak tenang tiba-tiba merubah mimiknya seketika setelah melihat Casia. "Sayang, akhirnya kamu pulang. Aku mencarimu ke mana saja. Tapi tidak menemukanmu." Theo menekuk wajahnya dan membuatnya menjadi suram, sesuram hati Casia. Casia membeku di tempat. Amarah menguasai tubuhnya dan tinggal menunggu meledak saja. Sungguh, dia tak ingin bertemu dengan pria b******k itu saat ini. "Theo, jangan mendekat lagi." Casia menampik kasar tangan Theo yang meraih tangannya. Jujur, saat ini dia jijik disentuh oleh Theo yang sudah bercampur dengan wanita lain. "Casia, maafkan aku. Kumohon. Aku tahu aku salah. Tapi sungguh aku sangat mencintaimu." Theo kembali mengiba di depan Casia. "Apakah itu yang kamu sebut cinta? Bagaimana bisa kamu bilang begitu sementara kamu membagi cintamu dengan wanita lain?! Aku sungguh tidak mengerti denganmu. Apa isi otakmu hingga membuatmu menikamku dari belakang seperti ini. Hm?!" Theo masih menahan kepergian Casia. Seberat apapun dia harus mendapatkan maaf dari wanita itu. Tak peduli harus mengubah ataupun berlutut sampai lututnya hitam atau berdarah sekalipun. "Katakan sejujurnya padaku, apa sebabnya kau berselingkuh dariku jika ingin mendapatkan maaf dariku." Theo seperti mendapatkan angin dari surga dengan perkataan Casia. Rupanya mudah sekali membujuk wanita itu dari emosinya yang meluap. "Casia, kamu sebenarnya cantik dan punya segalanya. Di mataku kamu sempurna. Hanya satu yang tidak begitu kusuka darimu. Kaca matamu itu sangat mengganggu." "Kacamata?!" Casia memang mengenakan kacamata. Sedikit lebah dari kacamata yang biasa orang pakai. Itu karena memang dia rajin membaca, dulu. Tapi selain itu memang dia lebih banyak menghabiskan waktunya berkutat dengan laptop juga segudang laporan yang harus dia periksa. Wajar, jika dia memakai kacamata sekarang. Casia mengulum senyum dengan alasan konyol yang dilontarkan oleh Theo. Rasanya tak masuk akal hanya karena sebuah kacamata pria itu jadi berselingkuh. "Kurasa bukan karena kacamata ini kamu berselingkuh. Tapi memang pada dasarnya kamu adalah pria hina. Pria tidak tahu diri yang menukar cinta suci dengan sebuah kepuasan semu bersama wanita lain!" "Casia, kamu bilang kan memaafkanku jika aku mengungkapnya. Bukan begini yang kuinginkan." "Lepaskan aku!" Casia kembali menampik tangan Theo yang kembali meraih jemarinya. "Casia jangan pergi!" Casia menghentikan langkah. "Jika aku tidak boleh pergi maka sebaiknya kamu angkat kaki dari sini. Ini adalah rumahku!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN