Eps. 6 Lumpuh

1032 Kata
Ambulans yang membawa Casia tiba di rumah sakit terdekat. Dia dilarikan ke ruang UGD. Dokter dan tim medis lainnya segera bertindak cepat menanganinya. "Di mana kamar tempat pasien kecelakaan barusan terjadi?" Valia datang ke rumah sakit setelah mendengar berita kecelakaan tersebut. Dia tidak datang sendiri melainkan bersama suaminya "Maaf, Nyonya, jika tidak menyebutkan nama pasien, maka kami tidak bisa memberitahu," jawab petugas informasi. "Pasien yang mengalami kecelakaan setelah menghindari tabrakan bus." "Pasien itu, pasien kemungkinan besar sekarang masih ada di ruang IGD, Nyonya, karena pasien baru tiba dua puluh menit yang lalu." Tanpa bertanya lagi, Valia segera menuju ke ruang IGD berada. "Terima kasih." Pria di sampingnya mengucap rasa terima kasih, karena istrinya lupa mengatakan itu. Petugas informasi hanya mengangguk saja meresponsnya. Valia dan ayahnya Casia tiba di ruang IGD. Namun ketika tiba di sana ruangan terkunci rapat. "Bagaimana ini?" Valia nampak basah menatap kosong pintu bercat putih yang tertutup di hadapannya. "Kita tunggu dulu saja." Pria yang masih tegap di usianya yang sudah tak lagi muda itu tampak lebih tenang daripada Valia. Valia duduk di samping pria berkumis yang sudah duduk lebih dulu. "Kenapa ini terjadi pada putri kita? Apa salah Casia?! Gara-gara pecundang Theo itu, putri kita menderita." Valia masih terpukul dengan berita perceraian Casia, kini harus bersih lagi dengan kecelakaan yang menimpa Casia. "Semoga saja Casia kondisinya tidak terlalu buruk." Nata-ayah Casia memejamkan mata lalu meraup muka dengan kasar dan tertunduk. Entah pria itu sedang melantunkan doa atau mengucap rasa sedih, yang jelas sorot matanya nampak sedih. Terdengar suara pintu dibuka. "Dokter!" Segera, Valia beranjak jadi duduknya setelah melihat dokter keluar dari ruangan IGD, berhambur menuju dokter berdiri. "Kami keluarga dari pasien, bagaimana kondisi putri kami?" Nata bertanya dengan cepat karena memang mengkhawatirkan kondisi Casia. Ia sangat berharap sekali kondisi Casia tidak terlalu buruk setelah melihat tayangan berita yang membuat darahnya berdesir melihat mobil Casia yang rusak parah. Dokter belum menjawab setelah menatap empat pasang mata yang ada di hadapannya secara bergantian yang menatapnya dengan penuh harap. Sungguh, berat bagi seorang dokter mengatakan kenyataan yang pahit. "Nyonya dan Tuan ... kami segenap tim medis berjuang keras dan melakukan yang terbaik. Namun semua hasilnya kita hanya bisa memasrahkannya saja." Seketika tubuh Valia bergetar mendengar pernyataan dari dokter. "Apa yang terjadi pada putri kami? Apakah kondisinya parah sekali?" Terdengar embusan napas berat dari dokter. "Luka dan organ vital pasien kami bisa menanganinya, tapi kecelakaan ini membuat kaki dan tangan pasien lumpuh. Saraf di otaknya banyak yang rusak akibat benturan keras. Bisa selamat dari kecelakaan berat ini sudah merupakan satu mukjizat." Dokter memaparkan panjang lebar. "Apa?!" Valia sampai ternganga mendengarnya lalu menutup bibirnya dengan tangan. "Harap bersabar, Nyonya dan Tuan. Mungkin dengan terapi sarafnya yang rusak bisa diperbaiki." Hanya itu yang bisa dokter sampaikan meskipun minim peluangnya untuk sembuh. Masalah saraf sungguh rumit seperti susunannya. Nata hanya meneguk salivanya dengan berat. Bahkan saat dokter dan petugas medis sudah pergi dari sisinya. Valia mengambil langkah panjang masuk ke ruangan tempat Casia dirawat. Rasanya seluruh otot di tubuhnya seakan tak kuat menyangga tubuhnya. "Valia!" Nata dengan sigap menangkap Valia yang terhuyung dan hampir jatuh. Dia lalu mendudukkan istrinya itu di kursi yang ada di samping Casia. Nata beralih menatap Casia yang masih terpejam, tak sadarkan diri. Banyak selang terpasang di tubuh putrinya Itu. Di wajah Casia ada luka gores yang cukup dalam. Kepalanya diperban. "Bagian tangan dan kakimu nampak utuh begini tapi kenapa dokter bilang kamu lumpuh? Aku tidak percaya itu sebelum kamu sadar. Mungkin saja analisa dokter salah. Dokter juga manusia yang tak luput dari salah, bukan?" Valia mencoba untuk berdiri di samping Nata. Dia memegang jemari Casia. "Casia ... seandainya saat itu aku memberikan bahuku padamu dan membiarkanmu menumpahkan semua masalahmu, maka kejadian ini tak perlu terjadi," sesal Valia dengan air mata yang mulai menitik. *** Beberapa jam setelahnya, Casia dipindahkan ke ruangan lain. "Di mana aku?" Casia membuka kelopak matanya setelah pengaruh obat bius habis. Manik matanya menyapu dinding bercat putih di ruangan. Semerbak aroma obat tercium oleh indra penciumannya. Saat manik matanya menyapu tubuhnya sendiri, barulah Casia mengetahui jika ia berada di rumah sakit. "Ayah! Ibu!" Valia dan Nata yang saat itu tertunduk dan tidak mengetahui jika putri mereka telah sadarkan diri, segera mengangkat kepala mereka menatap ke arah Casia. "Kamu sudah sadar, Nak." Mereka berdua menghampiri Casia. Senyum terbit di bibir Nata dan Valia meski hati mereka terasa perih meratapi kondisi putrinya yang kini menjadi cacat dalam waktu secepat kilat. Sebisa mungkin Valia menahan air mata yang terasa menggenang di pelupuk matanya. "Ibu senang kamu sudah sadar." "Ayah juga senang kamu sudah membuka mata kembali." Casia tidak tersenyum tidak pula menitipkan air mata. Dia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi sebelum dia sampai ke rumah sakit ini. "Jadi, aku selamat dari kecelakaan itu?" syukur Casia. Senyum terbit di bibirnya mendapati dirinya selamat dari kecelakaan maut. Tapi entah kenapa dia merasa ada yang aneh dengan tubuhnya saat ini. Jika dia bisa menggerakkan bagian leher dan anggota kepala. Namun dia merasa bagian tangan dan kakinyanya terasa berat sekali, tidak seperti biasanya. Untuk mengetesnya dia mencoba untuk duduk. "Ayah, kenapa susah sekali untuk duduk?" Casia merasa berat mengangkat punggungnya tegak. "Kamu masih terluka dan dalam perawatan. Sebaiknya jangan memaksakan diri terlebih dulu." Casia merasa ada yang aneh dengan sorot mata ayahnya saat menatap dirinya. "Benar kata Ayahmu, lebih baik Jangan bergerak dulu sampai kondisimu benar-benar pulih." Valia ikut menimpali. Sungguh, Casia semakin merasa aneh melihat ibunya yang sedikit gemetar. Apakah kaki dan tanganku cedera? Casia tak mau menyerah. Dia kemudian mencoba untuk duduk kembali dengan mengupayakan segenap tenaganya. Akhirnya dia bisa duduk, dan sungguh itu membuat Nata juga Valia merasa lelah melihatnya. Jadi, dugaan dokter rupanya salah. Casia pun merasa lega rupanya dia bisa duduk. Lalu ia merasa pipi kanannya terasa perih. Ia ingin memeriksa apakah ada luka di sana? Lantas, dia menggerakkan satu tangan kanannya. "Aneh sekali, tanganku terasa berat tak bisa diayun." Dengan panik Casia beralih mengayun tangan satunya, namun tetap saja tak terangkat sedikit pun. Casia semakin panik kala dia mencoba menggerakkan kedua kakinya. Berat sekali. Sama sekali tak bergerak, sama seperti kedua tangannya. "Ada apa dengan tangan dan kakiku?!" Casia nampak syok dan terus mencoba menggerakkan anggota tubuhnya. Valia menitikkan air mata yang sudah tak bisa dibendungnya lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN