Sekuat apapun aku berteriak laki-laki menakutkan itu terlihat acuh dan mengabaikan permohonanku, dia tidak peduli saat aku menyatukan kedua tangan sambil memohon agar dia melepaskanku.
Laki-laki ini manusia berbentuk iblis, senyumannya menakutkan bahkan aura yang terpancar dari sorot matanya membuat bulu kudukku berdiri.
"Tuan, saya mohon."
Laki-laki itu menyeringai sekali lagi tapi kali ini dia semakin mendekat hingga aku benar-benar terpojok di ujung ranjang. Untuk bisa lari darinya aku bergegas turun dari ranjang, saat posisinya agak jauh aku langsung berlari tapi lariku kalah cepat, tangannya berhasil mencengkram pinggangku dengab kasar.
Aku meronta.
Aku berteriak lebih keras.
Sayangnya usahaku tidak membuahkan hasil, laki-laki itu melemparku lagi ke atas ranjang. Matanya semakin menakutkan, dia mengarahkan tangannya ke bagian belakang dan aku melihat dia memegang sebuah benda yang selama ini aku hanya lihat di film aksi.
"Tembak saja saya Tuan, mungkin mati lebih terhormat dibandingkan hidup sebagai p*****r," balasku dengan suara serak.
Aku terkulai kehabisan tenaga untuk bisa lepas dari jebakan kejam ini. Andai aku tidak terbuai bujuk rayu b******n bernama Marioa, mungkin aku tidak akan berakhir semenyedihkan ini.
"Mati? Tentu saja kamu akan mati tapi nanti setelah kita bersenang-senang," laki-laki itu masih mengarahkan pistol itu ke kepalaku dan perlahan dia mulai mendekat.
Menarik tubuhku.
Berusaha menciumku walau aku berhasil mengelak dengan membuang wajah ke arah lain tapj laki-laki itu semakin menekan pucuk pistol ke kepalaku hingga akhirnya bibirnya mulai melumat bibirku dengan kasar.
Sangat kasar.
Kasar.
Perih.
Sakit.
Hingga aku merasakan cairan asin keluar dari ujung bibirku.
"Bunuh saja saya, Tuan." Aku menatapnya dengan tatapan sendu dan pasrah.
Bukannya berhenti laki-laki itu mulai melucuti gaunku dengan kasar, saat aku berusaha menahan pucuk pistol semakin menekan keras keningku. Perlahan-lahan aku benar-benar tidak mengenakan satu helai benang pun di tubuh.
Airmata mulai jatuh.
Aku hancur.
Aku dipermalukan.
Aku dijebak.
Aku p*****r!
Laki-laki itu mulai menjamahku dengan kasar. Hanya napsu dan rasa sakit yang aku rasakan. Aku bagai boneka yang hanya bisa meringis saat merasakan tubuhnya mulai memasuki dan mengambil harta paling berharga yang aku miliki di dunia ini.
Hidupku benar-benar hancur.
****
Dua pengawal itu mendorongku keluar dari cafe Lucky Girl dengan tubuh dan hati benar-benar hancur. Aku berjalan dengan kaki bergetar sambil memegang tas dengan pikiran kosong.
"Besok jam 8 kamu harus datang lagi, Tuan El menyukaimu Caroline. Awas kalau kamu tidak datang, saya akan kirim dua anak buah saya untuk membunuhmu," suara Madam Seroja benar-benar aku abaikan.
Aku berjalan semakin jauh meninggalkan cafe Lucky Girl, aku tidak tau tujuanku akan ke mana lagi setelah laki-laki j*****m itu benar-benar memperkosaku dengan biadap dan tanpa perasaan.
Aku berhenti di tepi jalan untuk berusaha mengingat wajahnya tapi semakin aku mencoba mengingat bentuk dan rupa wajahnya ingatan itu semakin menghilang. Aku hanya ingat tanda bekas ikatan di kaki dan tangannya.
Ya, hanya itu. Aku butuh keadilan! Laki-laki b******n itu harus membayar perbuatannya padaku! Aku berlari mencari kantor polisi terdekat untuk mencari keadilan, setelah mencari cukup jauh akhirnya aku berhenti tepat di depan kantor polisi.
Dengan langkah gontai aku berdiri di depan polisi yang sedang bertugas.
"Ada apa, mbak?" Tanya polisi itu sambil melihatku dari atas sampai ke bawah.
"Saya mau melaporkan kasus p*********n, pak. Saya diperkosa! Saya butuh keadilan!" Ujarku dengan suara tangis tertahan.
Polisi itu cukup kaget.
"Oke, bisa jelaskan di mana dan kapan kejadiannya?"
Aku mulai menceritakan jebakan Mario serta p*********n yang aku alami. Polisi itu seperti sedang mencatat laporanku dibukunya.
"Oke, jadi mbak diperkosa di cafe Lucky Girl oleh laki-laki yang wajahnya tidak mbak kenal tapi mbak ingat di tangan dan kakinya ada bekas ikatan lama?" Tanya polisi itu.
Aku mengangguk dengan cepat.
"Baiklah, sebaiknya mbak tunggu di sini sebentar. Saya akan laporkan kejadiannya ke atasan saya," polisi itu pun masuk ke dalam ruangan.
Aku sedikit menghela napas dan bersyukur bertemh polisi baik hati itu. Aku mengeram beberapa kali dan manusia biadap seperti Mario serta laki-laki itu harus membayar penghinaan ini.
"Mbak," panggil polisi tadi.
"Ya, gimana pak?" Tanyaku penasaran.
"Atasan saya menunggu mbak di parkiran, silakan ceritakan masalah mbak dan saya yakin atasan saya akan menolong mbak. Atasan saya akan membawa mbak untuk dilakukan visum apakah ada tanda p*********n atau tidak."
Aku mengerutkan kening.
"Kenapa tidak di sini?" Tanyaku.
"Atasan saya sudah mau pulang atau mbak mau menunggu sampai besok?"
Tidak, menunda hanya akan memperkeruh masalah.
"Baiklah," aku mengikuti polisi itu menuju parkiran.
Bulu kudukku berdiri saat melibat suasana parkiran yang sepi dan gelap. Hanya saja aku tetap bertahan mengikuti langkah polisi tadi.
"Mbak tunggu di sini, sebentar lagi atasannya datang menjemput mbak." Polisi itu pun pergi meninggalkan aku.
Aku menunggu sambil melihat ke kiri dan ke kanan.
Lima menit menunggu tiba-tiba lampu jalan hidup. Suasana sedikit terang membuatku bisa bernapas dengan baik.
"Di mana atasannya? Kenapa belum datang juga?" Gumamku sambil melihat ke kiri dan ke kanan untuk melihat tanda-tanda atasan polisi tadi.
Aku melihat sebuah mobil datang dari arah kanan. Sinar lampu mobil menyilaukan mataku, aku mengernyit sambil menutup mata agar silau tadi tidak membuat mataku perih.
Mobil itu berhenti.
Aku mendekat ke mobil itu dan mengetuk pelan jendela agar bisa bicara dengan atasan polisi tadi.
Jendela sedikit terbuka.
Tiba-tiba lampu jalan kembali mati, begitupun lampu mobil yang juga ikut mati.
"Pak, tolong saya."
"Masuk," ujarnya dengan suara berat.
Mungkin dia akan membawaku ke rumah sakit untuk dilakukan visum, aku bergegas masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi samping di dekatnya.
"Terima kas ..." Belum selesai aku mengucapkan terima kasih. Aku melihat senyum menakutkan itu lagi, aku mencoba untuk keluar dari mobil tapi tangannya lebih cepat menahanku.
Aku kembali merasakan ujung pucuk pistol tapi kali ini di pinggangku.
"Mau menuntutku, sayang? Tidak semudah itu!" Makinya dengan kasar.
Setelah itu dia mulai mengemudikan mobilnya dengan sangat kencang, aku menggigil menahan rasa takutku.
Semua orang menjebakku bahkan polisi yang aku anggap bisa membantuku ternyata sama bajingannya dengan dia.
Ya Tuhan!
Mobil berhenti di depan cafe Lucky Girl, aku melihat madam Seroja dan dua anak buahnya sudah menunggu kedatangan kami.
Laki-laki itu turun dari mobil, memaksaku ikut bersamanya.
"Lepaskan!" Teriakku.
"Ada apa Tuan?" Tanya madam Seroja.
"Pelacurmu membuat saya hampir kena masalah, mulai hari ini awasi dia dan ingat dia hanya milik saya ... Jangan biarkan laki-laki lain menyentuhnya," ujarnya sambil melemparkan kertas berupa cek ke arah madam Seroja.
Melihat cek itu mata madam Seroja mulai berbinar.
Dia memberi kode agar dua pengawalnya membawaku masuk ke dalam cafe.
"Jangan biarkan dia buat masalah untuk tamu VVIP kita," ujar madam Seroja.
Aku meronta.
Laki-laki itu mendekatiku.
"Sampai berjumpa lagi besok, sayang," ujarnya sambil menyeringai sinis.
Aku meludah saking jijik dengan perbuatannya.
Laki-laki itu pun pergi meninggalkan cafe Lucky Girl.
Hari ini awal mula hancurnya hidupku.
****