“Ma-maksudnya nyaman, iya … motornya nyaman." Dengan wajah yang kian memerah, Maura segera meralat ucapannya.
Bisa-bisa pria bayaran ini menggodanya, dasar buaya, begitu umpat Maura dari dalam lubuk hati yang paling dalam.
“Ah begitu,” sahut pria itu sembari mengangguk beberapa kali.
“Hem, pulanglah, terima kasih tumpangannya dan … ini, jaketnya.”
“Tidak usah, anggap kenang-kenangan, kita belum tentu bertemu lagi di masa depan, ‘kan?”
Mendengar ucapan pria itu, Maura hendak menolak. Namun, belum sempat jaket itu benar-benar terlepas dari tubuhnya Abimanyu sudah berlalu pergi. Terpaksa, Maura menerima kenang-kenangan yang sebenarnya tidak dia inginkan itu.
Perlahan, dia berbalik dan hendak masuk ke dalam kamar kost-nya. Baru juga hendak membuka pintu, tangannya dicekal secara diba-tiba hingga Maura terperanjat dibuatnya.
“Mas Arkana?”
“Iya, kenapa? Kaget?” Pria itu balik bertanya.
Menyadari kehadiran mantan suaminya, Maura melihat ke kanan dan ke kiri, dari hati kecilnya dia berharap Abimanyu belum berlalu pergi.
“Cari siapa? Pacar miskinmu itu?” Arkana melontarkan hinaan berkedok pertanyaan itu tanpa pikir panjang.
“Ck, mau apa sebenarnya kamu ke sini? Bukankah kita sudah selesai?”
“Selesai dari mana? Hingga hakim ketuk palu, secara negara kamu masih istriku dan kamu bisa-bisanya menjalin hubungan dengan pria lain tanpa izinku,” ucap Arkana tanpa malu.
Seketika itu juga, Maura berdecih saking geli mendengarnya. “Lucu.”
“Apanya yang lucu?” tanya pria mengerutkan dahi.
“Kamu melarangku menjalin hubungan dengan pria lain setelah menjatuhkan talak padaku, sementara kamu? Bahkan saat pernikahan kita masih sah secara Agama dan Negara dengan tidak tahu malunya berselingkuh sampai wanita itu berbadan dua!! Dan itu … apa kamu lakukan atas izinku? Tidak, Mas Arka, tidak!!” Maura tersulut emosi.
“Lain cerita, Maura!! Aku berselingkuh bukan tanpa alasan,” timpal Arkana membela diri.
Tentu saja hati Maura mendadak panas lagi. “Oh iya? Alasan apa yang membenarkan perselingkuhan itu? Hem?”
“Keturunan,” jawab Arkana singkat dan berhasil membuat tubuh Maura lemas.
Meski sudah dia duga alasan utama karena anak, tapi begitu mendengar langsung dari bibir Arkana, rasanya tetap sakit juga.
“Aku menginginkan keturunan, tapi kamu tidak bisa … karena itu, aku menikahi Soraya dengan harapan keluarga kita akan lengkap, Maura.”
“Kita? Masih bisa kamu menyebut kita dalam rencana jahatmu itu, Arkana?!” Nada suaranya kini meninggi bahkan tidak segan menyebut nama suaminya tanpa embel-embel Mas seperti biasa.
Sakit yang Maura rasa begitu luar biasa, sakit sekali sebenarnya. Kini, Arkana kembali mengusik ketenangannya, padahal yang Maura inginkan hanya kebebasan, itu saja.
“Berapa kali aku katakan, jangan pernah libatkan aku dalam dongengmu lagi … silakan jalani hidupmu tanpa menggangguku apa susahnya?”
Tak segera menjawab, Arkana tampak menarik napas dalam-dalam sebelum kemudian mengembuskannya perlahan. “Padahal, kita tetap bisa bahagia tanpa berpisah, Ra.”
“Omong kosong, sampai akhir kamu memang tetap egois ternyata,” ucap Maura tak lupa membuang napas kasarnya.
“Aku tidak sedang bicara omong kosong, Maura, kamu tahu saat ini aku naik jabatan bukan? Dengan gajiku yang sekarang kecil bagiku untuk menafkahi kalian.”
Pengakuan Arkana seketika membuat Maura berdecih, baru juga berhasil naik satu tingkat di atasnya sudah begitu jumawa sampai berkali-kali mengajaknya hidup bertiga dan menjalani pernikahan poligami yang tentu saja akan menyiksa Maura.
“Tidak, terima kasih atas penawarannya … fokus saja pada istri dan calon anakmu.”
“Aku sudah lakukan itu, tapi bagaimana denganmu, Maura? Jujur saja aku tidak tega,” tutur Arkana melemah hanya demi agar terlihat iba.
“Sudahlah, tidak perlu dikasihani, aku bisa menjalani hidupku tanpa bantuan siapapun!! Sana pergi.” Sembari menggerakkan tangannya, Maura bermaksud mengusir Arkana dan ternyata pria itu tersinggung dibuatnya.
“Dasar keras kepala, Melihat sikapmu yang sekarang aku sama sekali tidak menyesal dan sadar bahwa keputusanku untuk menikahi Soraya tidak salah.”
“Baguslah, memalukan sekali kalau sampai menyesal,” sahut Maura dengan begitu entengnya.
“Tenang saja, aku pastikan tidak akan ada penyesalan. Walau latar belakangnya tidak begitu baik dan kamu sebut sebagai perempuan mura-han, tapi setidaknya dia bisa memahamiku dan yang terpenting, dia wanita yang sempurna,” ucap Arkana penuh penekanan dan tidak munafik, ucapan itu sukses membuat tubuh Maura melemas. “Tidak butuh waktu bertahun-tahun untukku bisa membuatnya hamil, sementara kamu? Tidak terhitung berapa ratus hari yang kita lewati dan hasilnya tetap nihil!!”
“Jangankan bisa hamil, usaha untuk menjadi istri yang baik saja tidak ada … kamu terlalu fokus dengan karirmu yang tidak seberapa itu, dan sekarang kamu sok-sok’an ingin lepas dariku? Gajimu bahkan tidak cukup untuk membayar sewa tempat tinggal, apalagi lainnya?”
“Jaga mulutmu!!”
“Kenapa? Tidak terima? Bukankah ini fakta, Maura?” Arkana mengikis jarak, maju selangkah ke depan hingga mereka semakin dekat. “Kita lihat saja nanti, di antara kita siapa yang akan menyesal? Aku sudah berbaik hati dengan tetap mempertahankanmu meski tidak bisa memberiku keturunan, tapi kamunya tidak tahu diri.”
“Padahal, dengan statusmu sebagai janda dan tidak memiliki siapa-siapa ini sudah cukup membuat sengsara, ditambah lagi dengan kekuranganmu yang tidak ubahnya seperti wanita tanpa rahim ini.”
PLAK
Tak lagi kuasa membalas dengan mulutnya, Maura mendaratkan tamparan keras sebagai balasan atas ucapan Arkana dengan harapan sadar bahwa mulutnya sudah melampaui batas.
Alih-alih sadar, Arkana justru bermaksud membalas dan bersiap untuk melakukan hal yang sama. Sialnya, baru saja melayang di udara seseorang justru menghentikan niatnya.
“Jika ingin main tangan, aku lawanmu baji-ngan!!”
.
.
- To Be Continued –