"Kemana saja kamu baru pulang jam segini? Mami sudah menghubungi Gibran dan dia bilang kalau kalian telah meninggalkan kantor sejak pukul tujuh. Ini sudah jam berapa Kai?" sembur Rima begitu wanita itu melihat kedatangan putranya.
"Jadi Mami menunggu Kai? tanyanya.
"Dasar anak nakal! Kau tidak pernah berubah, sejak dulu selalu saja membuat Mami kesal."
Kai meringis setelah Rima menghadiahkan sebuah pukulan dari gulungan majalah yang tengah dibaca olehnya.
"Kenapa sekarang Mami jadi hobi memukulku?" pekik Kai.
"Karena kau memang harus diberi pelajaran!"
"Sejak aku kecil, Mami tidak pernah memukulku tapi kenapa sekarang sebentar-sebentar Mami main pukul," sungut Kai.
"Itu karena kau sudah menjadi dewasa sekarang, Mami tidak bisa memakai cara seperti ketika kau masih kecil. Kau pasti tidak akan mau mendengarkanku."
Rima berjalan pelan melewati Kai.
"Mami mau kemana? Sudah marahnya?" ledek Kai.
"Berhubung kamu sudah pulang, Mami akan menyusul Papimu dan tidur di kamar dengan nyenyak," balas Rima.
Tanpa menoleh, wanita itu terus berjalan meniti anak tangga yang membelit bangunan tersebut.
"Mi."
Tubuh Rima membeku di tempat, dia bisa melihat lengan anaknya yang saat ini sedang membelit perutnya. Kai sedang memeluknya dari belakang dengan sangat manja.
"Maafkan Kai sudah membuat Mami cemas," cicit pria itu.
"Apa kau melakukan kesalahan?" tanya Rima diselipi tatapan mata penuh selidik.
Wanita itu melonggarkan pelukan Kai, berusaha membalikkan badannya agar dia bisa melihat wajah putranya dengan baik.
"Mami selalu saja berpikiran buruk padaku!" sentak Kai.
"Karena kau bertingkah aneh," sergah Rima. "Apa yang terjadi?"
Mendapati perubahan wajah Ibunya yang terlihat dingin membuat Kai terkikik, pria itu kembali mendekap Ibunya.
"Kai bahagia Mi. Kai sangat bahagia," aku Kai.
Rima hanya mampu menggelengkan kepalanya saja melihat kelakuan anaknya.
"Jadi kau bahagia karena selalu berhasil membuat Mami marah?" tanya Rima. Suaranya terdengar melunak.
"Bukan." Kai yang masih berada dalam dekapan Rima itu pun menggeleng. "Kai sangat bahagia hari ini karena telah menghabiskan makan malam romantis bersama calon menantu Mami," sambung Kai.
"Astaga!" Rima mendorong tubuh Kai. "Jadi ini alasan kenapa kau sampai pulang larut malam? Kenapa kau membawa anak orang sampai larut begini, Kai, apa tanggapan orang tuanya nanti?"
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan Mi," ujar Kai.
"Siapa gadis itu? Dimana rumahnya? Orang tuanya, apa kau sudah mengenal mereka sebelumnya? Seperti apa keluarga mereka?" berondong Rima.
Kai tersenyum simpul, dia tidak menyangka reaksi Rima akan seperti itu.
"Jawab Mami! Kenapa malah senyum-senyum begitu." Rima mencubit lengan Kai.
"Sakit Mami, ah ...," rengeknya manja.
"Cepat beritahu Mami!" desak Rima tak sabar.
Rima masih menunggu jawaban dari Kai ketika anak itu malah lari terlebih dulu naik tangga dan meninggalkannya.
"Rahasia, bukankah Kai sudah berjanji akan membawanya kerumah dan memperkenalkannya pada Mami dan juga Papi. Tunggu saatnya tiba Mi," ucapnya di anak tangga terakhir sebelum akhirnya dia kembali membalikkan badannya dan berlari menuju kamarnya.
Kai tertawa menang sambil terus berlari menuju kamarnya, dia sama sekali tak menghiraukan teriakan Rima yang terus memanggilnya berulang-ulang.
Selesai membersihkan diri, Kai segera berbaring di atas peraduannya. Dia terus terjaga, matanya menerawang jauh kembali mengingat setiap kejadian yang telah dialaminya bersama Nadira.
Selama hidupnya Kai belum pernah merasakan hal tersebut, dimana dia merasa jantungnya bertalu lebih cepat ketika dirinya bersama seorang wanita. Seakan ada musik yang mengalun dengan indah hingga menembus relung hatinya. Belum pernah ada yang mampu membuatnya tenggelam hingga ke dasar hanya karena melihat tatapan matanya saja, hal yang hanya ia dapatkan ketika dia menatap bola mata cokelat bak kacang almond milik seorang gadis yaitu Nadira.
Seolah Kai tak merasa lelah sedikitpun akibat dari aktifitasnya seharian ini, pria itu masih terus bergelut dengan bayangan Nadira.
.
.
.
Pagi datang menjemput dengan sinar mentari yang masih terasa hangat menggantikan cahaya rembulan nan sendu. Kicauan burung yang berasal dari taman belakang makin menyemarakkan suasana pagi itu.
Nadira menuruni anak tangga dengan terus mengulas senyum di bibir tipisnya. Tak seperti pagi biasanya, kali ini penampilan gadis itu terlihat santai dengan kaos oversize yang menutupi celana jeans hitam sebatas lutut.
"Pagi Mah, Pah ...," sapanya begitu sampai di meja makan.
"Pagi juga Sayang."
"Semalam pulang naik apa, Nak?"
Mutia yang sedang mengoles roti tawar dengan selai kacang itu pun bertanya pada putrinya, mengingat semalam ia ketiduran hingga ia tak mengetahui kepulangan Nadira.
"Di antar sama teman, Mah."
"Katanya Moza lagi ada Medical ... apa yang kamu bilang kemarin itu?"
"Medical Leadership," koreksi Nadira.
"Nah, iya itu."
"Bukan di antar Moza," jawab Nadira singkat.
"Bobby?" tanya Mutia lagi.
"Bukan juga." Nadira menggeleng.
"Teman satu profesi di rumah sakit?" Arif yang sejak tadi diam, merasa penasaran juga.
Sekali lagi Nadira menggeleng. "Bukan, ada salah satu mantan pasienku yang kebetulan lewat saat aku sedang memesan taksi online, karena ditawari ya aku nggak enak mau menolak."
Kedua orang tua itu mengangguk secara bersamaan. Nadira tahu jika dua orang di depannya itu sudah diam, menandakan jika Papah dan Mamahnya sudah mengerti.
"Kamu masuk siang?" tegur Arif.
"Ini kan hari minggu Pah."
"Orang-orang seperti kamu biasanya nggak kenal hari. Hari minggu pun juga kamu biasanya tetap berangkat ke rumah sakit." pria paruh baya itu menerima setangkup roti yang telah dioles selai kacang dari Mutia.
"Ya memang, tapi kebetulan hari ini giliran aku cuti Pah." Nadira menyahut.
"Syukurlah, kamu jadi punya waktu untuk istirahat," sela Mutia.
Istirahat yang dimaksud Mutia di sini adalah istirahat dalam arti sesungguhnya tentunya, mengingat selama ini Nadira sangat jarang memiliki waktu untuk rehat sejenak. Mutia berdoa semoga saja hari ini putrinya tidak mendapat panggilan untuk melakukan operasi darurat dari rumah sakit seperti sebelum-sebelumnya.
"Mamah sama Papah sendiri mau kemana? Tumben sudah rapi sepagi ini?"
Nadira baru tersadar kalau hari ini kedua orang tuanya memakai pakaian semi formal, sepertinya mereka hendak menghadiri suatu acara.
"Papah sama Mamah mau menghadiri bakti sosial di panti asuhan, setelah itu kami akan mampir ke pemakaman mamahmu," terang Mutia.
"Kamu mau ikut?" ajak Arif.
Nadira menggeleng pelan. "Aku baru saja ke pemakaman Mamah Afika Jum'at lalu, rencananya aku mau menghabiskan cutiku dengan tidur siang saja di rumah tapi belum tahu juga kalau misalnya mendadak ingin pergi keluar, Pah."
"Sayang, biarkan dia istirahat di rumah," kata Mutia sambil mengusap bahu suaminya.
"Ya sudah kalau begitu."
Begitu percakapan mereka berakhir, ketiganya pun melanjutkan sarapan pagi. Arif juga Mutia tampak lahap menikmati sarapan pagi mereka dengan roti selai kacang dan secangkir teh herbal, sementara Nadira lebih tertarik dengan semangkuk kecil sereal dengan potongan buah segar dan juga s**u cokelat.
Selepas menghabiskan sarapan paginya, Arif dan Mutia memutuskan untuk segera berangkat menuju panti asuhan.
Dan disinilah Nadira sekarang. Setelah mengantar kedua orang tuanya sampai di teras rumah, gadis itu memilih untuk pergi ke taman. Berlama-lama berada di taman mungkin tidak akan membuatnya bosan, begitu pikirnya.
Nadira melangkah pelan mengitari taman berukuran cukup luas tersebut. Ada banyak tanaman bunga dalam pot yang tersusun rapi di sana. Mungkin suasana di taman itu akan lebih indah lagi seandainya semua tanaman bunga yang berada di sana telah berbunga, namun sayangnya hanya beberapa pohon saja yang baru menampakkan kuncupnya.
Cukup lama Nadira berada di ayunan sambil membaca buku. Membiarkan semilir angin menerpa kulitnya, juga menikmati damainya hidup tanpa dibebani rutinitas kesehariannya.
Merasa matanya telah lelah, Nadira menyingkirkan novel dalam genggamannya dan menaruhnya dalam pangkuannya. Udara mulai panas karena matahari telah naik sepenggalah. Saking asyiknya membaca, Nadira sampai tak menyadari jika hari sudah siang. Dia harus secepatnya masuk ke dalam rumah jika tidak ingin kulitnya terbakar.
"Bi Surti, minta tolong buatkan jus stroberi ya," pintanya pada pelayan yang saat itu kebetulan berpapasan dengannya.
"Baik, Non. Mau saya antar ke atas?" tawar wanita tua itu.
"Tidak usah, saya ikut Bibi ke dapur saja biar sekalian. Saya mau latihan bikin jus sendiri biar nggak harus merepotkan Bi Surti terus."
"Tidak perlu sungkan, Non. Tugas saya di sini kan memang untuk melayani segala keperluan keluarga ini, termasuk Nona."
"Tapi kan saya ingin belajar Bi, biar saya bisa melakukan hal kecil tanpa meminta bantuan Bibi. Sebenarnya saya malu Bi, disaat gadis lain seusia saya sudah sudah mahir memasak dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya, saya malah belum bisa apa-apa," keluh Nadira.
"Tidak ada yang salah, Non. Mereka bisa melakukan itu semua karena mungkin mereka memiliki banyak waktu luang, tidak seperti Non Dira yang untuk tidur saja mesti mencuri waktu saking sibuknya. Nona juga kan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah sakit ketimbang di rumah. Dan lagi, tidak masalah kalau Non Dira nggak bisa masak, kalau semua orang bisa masak nanti bagaimana nasib orang seperti saya, Non," kata Surti berusaha menghibur nonanya.
Sementara Nadira manggut-manggut mendengar penuturan Bi Surti.
.
.
.
Nadira melirik jam dinding berwarna pink yang bertengger pada tembok kamarnya. Bukannya tidur siang, yang ada Nadira malah bosan berada di kamar terus-menerus karena dia sama sekali tak bisa memejamkan matanya.
Seandainya saja ada Moza dan juga Bobby masih mending, mungkin mereka bertiga bisa pergi ke taman hiburan atau ke bioskop. Sayangnya Moza saat ini sedang berhalangan, Bobby pun sama, pria itu kebetulan praktek pagi dan sorenya harus segera meluncur ke luar kota untuk menyusul orang tuanya yang sedang menghadiri resepsi pernikahan keluarga dekatnya.
"Non Dira mau kemana?" tegur Bi Surti yang melihat Nadira telah berpakaian rapi dengan membawa tas.
"Mau keluar Bi, sudah izin sama Mamah tadi lewat telepon."
"Ya sudah, hati-hati Non."
"Terima kasih Bi."
Nadira telah memesan taksi online yang kebetulan telah menunggu di luar. Mobilnya masih bermalam di bengkel dan kemungkinan baru akan selesai diperbaiki besok. Pihak bengkel langganannya juga sudah menghubunginya untuk memberitahukan hal tersebut.
Setelah menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit, tibalah Nadira di sebuah toko buku. Dia memang berencana menambah koleksi bacaannya.
Gadis itu pun masuk dan mulai menyusuri tiap rak dengan ratusan buku yang tersusun rapi di sana. Sebenarnya dia masih belum tahu mau membeli buku apa, dia masih mencari-cari. Sekiranya ada buku dengan cover yang menarik langsung dia ambil tapi kembali dia letakkan di tempat semula setelah membaca sekilas dan dirasa kurang menarik isinya, begitu seterusnya sampai tiba-tiba.
Brug.
Tubuhnya tersungkur ke belakang hingga punggungnya membentur rak dan menjatuhkan beberapa buku yang ada disana.
Nadira pun segera bangkit sambil memunguti buku-buku yang terjatuh dan menaruhnya ke tempat semula.
'Siapa sih yang jalan nggak hati-hati,' omelnya dalam hati sambil membersihkan bajunya yang kotor.
Dan saat dirinya membalikkan badan, alangkah terkejutnya Nadira. Tubuhnya membeku seketika. Bayangan dua orang yang sedang melakukan percintaan panas kembali melintas di benaknya.
"Dira ...," cicit Alby.
"Sayang, bantuin ambil buku aku yang jatuh," ucap Alice manja.
Tangan gadis itu terus mengapit lengan Alby posesif, seakan hendak menjaga Alby agar pria itu tak lari darinya.
Nadira tertegun saat matanya menangkap cover beberapa buku yang sedang coba Alby kumpulkan, lalu beralih menatap ke arah perut Alice.
Dengan pakaian yang pendek dan sedikit ketat itu membuat perut Alice terlihat menonjol. Ya, perut Alice buncit layaknya wanita hamil, dan jika Nadira tidak salah menebak, dia bisa memperkirakan kalau usia kandungan Alice telah berjalan sekitar lima bulan.
Astaga, Nadira kembali menjerit dalam hati. Jika usia kandungan Alice sudah berjalan lima bulan, itu berarti Alby telah lama mengkhianatinya.
"Maaf, saya harus segera pergi," ucap Nadira setelah berhasil menguasai keterkejutannya.
"Tunggu!"
Baru beberapa langkah Nadira beranjak dari sana, dengan sangat terpaksa dia menghentikan langkahnya. Membiarkan dua orang itu mendekati dirinya.
"Sayang, kebetulan kita bertemu Nadira di sini jadi sekalian saja. Berikan undangan pernikahan kita," ujar Alice.
Alby terdiam. Pria itu terus menatap Nadira dan entah apa yang membuatnya sampai tak mendengar perkataan Alice.
"Sayang," panggil Alice lagi. Kali ini dengan nada manja tingkat nirwana yang membuat Nadira ingin muntah.
Melihat Alby masih tak bergeming membuat Nadira geram.
"Kemarikan undangannya! Biar saya baca." Nadira mengulurkan tangannya.
"Jangan hanya dibaca, aku harap kau juga datang menghadiri pesta pernikahan kami. Pestanya akan digelar dengan mewah jadi kamu jangan khawatir," seloroh Alice.
Nadira meraih kertas tebal berwarna silver dengan bersulam tinta emas yang tertera nama kedua mempelai beserta keluarga besarnya.
"Kau kan orang kaya, aku tunggu kado darimu."
"Alice!" hardik Alby. Pria itu tak suka Alice berkata demikian pada Nadira.
"Tidak apa-apa, katakan saja kau ingin aku beri apa?" Nadira berusaha sekuat tenaga agar terlihat biasa saja di depan mereka, meskipun sejujurnya hatinya sungguh hancur.
"Kau bisa memberiku ...,"
"Sudahlah, sebaiknya kita pergi dari sini," potong Alby. "Bukannya kamu bilang masih harus pergi belanja."
Alby menyeret tubuh Alice. Berada di sana semakin membuat rasa bersalahnya pada Nadira makin menjadi-jadi saja. Ditambah perlakuan tidak mengenakkan dari Alice pada mantan tunangannya itu, bisa gila Alby.
Nadira duduk menghadap jendela kaca sambil menyesap Latte yang dipesannya tadi. Sepeninggal dua orang pengkhianat itu, Nadira memutuskan untuk mengembalikan moodnya yang terlanjur buruk dengan memasuki sebuah caffe yang kebetulan berada di sebelah toko buku. Setelah menangis cukup lama di toilet, tentunya.
'Kenapa kisah cintaku berakhir tragis seperti ini, Ya Tuhan. Satu-satunya orang yang membuatku jatuh cinta, aku bahkan telah memberikan seluruh hati dan juga hidupku untuknya tapi lihatlah apa yang dia lakukan padaku? Aku yakin sudah tidak ada stok laki-laki baik yang tersisa di dunia ini. Semua pria pasti sama brengseknya seperti Alby. Maafkan Dira Mah, Pah, mungkin Dira akan hidup melajang.'
Nadira meremas cangkir dalam genggamannya hingga membuat isinya berguncang. Kembali, air matanya luruh tanpa sanggup dia kendalikan. Untunglah dia mengambil posisi duduk di dekat jendela hingga dia bisa menyembunyikan tangisnya dengan terus menghadap ke arah luar.
Tak mampu menahan kesedihannya, Nadira meletakkan cangkirnya lalu menelungkupkan wajahnya di atas meja, berharap dengan begitu tidak ada orang yang bisa mendengar tangisannya.
Cukup lama dia membenamkan wajahnya di sana sampai tiba-tiba seseorang menepuk bahunya dengan lembut, membuatnya terusik hingga Nadira harus menghentikan tangisnya.
Gadis itu menatap lekat wajah orang yang saat ini sedang berdiri dihadapannya sambil mengulurkan sapu tangan.
"Kau ...."
Bersambung ....