Asri keluar dengan membawa nampan berisi secangkir teh manis panas.
"Ibu ini ngomong apa, sih. Jangan diambil hati, ya, Mas. Ibuku memang suka begitu. Anak bungsunya belom ada tanda-tanda mau menikah soalnya. Jadi ya gitu, agak was-was." Asri duduk di sebelah sang ibu.
"Nih, Sri. Kamu itu semakin tua. Jangan lama-lama pacarannya. Teman kamu sekolah saja sudah ada yang punya anak dua, masa kamu nikah saja belum. Bapak sama Ibu sudah ingin punya cucu dari kamu. Mumpung Ibu sama bapakmu masih sehat, masih mampu gendong sama bantuin momong."
Pipi Asri bersemu merah karena malu. Untung saja, Yudha tidak paham semua yang ibu Asri katakan, karena ibu Asri bicara dengan bahasa Jawa ngoko.
"Begitu saja, Mas. Silakan diminum tehnya. Saya ke dalam dulu." Ibu Asri lantas berdiri dan masuk kembali ke ruang tengah.
Di ruang tengah, ayah Asri geleng kepala begitu adu pandang dengan sang istri. Tadi dia ingin bergabung dengan istrinya itu menemani Yudha duduk. Namun, begitu mendengar apa yang istrinya katakan, diurungkannya niat tersebut. Malu. Ada pria baru berkunjung ke rumah, sudah diajak bicara soal pernikahan. Seperti putrinya tidak laku saja.
"Kamu, ada orang bertamu malah langsung ditodong. Kan kasihan anak kita. Kesannya seperti tidak laku. Memangnya Asri itu perawan tua?! Tiga puluh tahun saja belum ada, kamu sudah seperti itu sama anakmu."
"Kalau tidak begitu, takutnya seperti yang kemarin, Pak. Pas ke sini ngomongnya katanya serius. Kenyataannya mana. Malah sekarang ganti orang lagi. Malu aku, Pak."
"Malu sama siapa? Tetangga? Memangnya kita makan itu numpang ke mereka?!"
Sebagai seorang ibu, ibu Asri memang sangat kecewa. Dia tidak mau kembali menjadi omongan tetangga. Cukup dulu saja ketika Asih menikah mendadak. Ya, karena ketika dihitung-hitung tidak bertemu hari baik, akhirnya mereka memilih untuk menjadikan satu-satunya hari baik, di mana hanya berjarak satu bulan lebih dari waktu perhitungan kala itu. Akhirnya, timbulah gosip, bahwa Asih buru-buru menikah karena dalam keadaan sudah berbadan dua alias hamil di luar nikah. Kenyataannya, hampir setahun setelah menikah, Asih baru memiliki anak.
Di desa Karang Salam, yang merupakan salah satu desa di Kabupaten Banyumas, memang masih kental dengan tradisinya. Salah satunya hitung-hitungan weton atau hari lahir. Jika dihitung ketemunya hasilnya tidak baik, mau tidak mau hubungan harus diakhiri. Karena efeknya, bisa berupa hal yang buruk. Salah satunya adalah meninggalnya orang tua si pengantin.
Selain perhitungan hari baik untuk menikah, untuk membangun rumah juga demikian. Tidak bisa asal memilih hari. Benar atau tidaknya, tidak ada yang tahu. Bagaimanapun juga hal tersebut sudah menjadi tradisi dan kepercayaan turun-temurun yang tidak bisa dihilangkan begitu saja.
"Maafin ibuku ya, Mas," ucap Asri, masih merasa tak enak hati.
Yudha tersenyum. "Jujur, aku nggak paham semua yang ibumu katakan. Aku memang ada darah Purwokerto, tapi nggak begitu paham sama bahasa Jawa."
Asri nyengir memperlihatkan giginya. Ia sangat bersyukur untuk itu. Setidaknya, rasa malunya sedikit berkurang.
"Intinya, sebenarnya ibuku sudah ingin aku menikah. Tapi ya gimana, jodoh kan rahasia Tuhan. Kalo belum waktunya, kita terlalu memaksakan, malah nggak baik kan nantinya. Aku juga nggak mau sembarangan milih calon suami."
"Ya, aku sangat setuju. Menikah memang harus diputuskan dengan matang. Harus memikirkan segala aspek. Termasuk bagaimana kehidupan setelah menikah. Selain itu, kita juga butuh kedewasaan. Kedewasaan cara berpikir lho, ya ... bukan dari segi umur. Karena umur tua, belum tentu tua juga pikirannya. Begitupun sebaliknya, usia muda bukan berarti masih kekanak-kanakan."
"Wah, Mas Yudha kayaknya udah pengalaman, nih," ujar Asri.
"Aku itu pengamat, Sri. Suka mengamati keadaan sekitar. Termasuk mengamati kehidupan orang. Untuk dijadikan pelajaran, ya ... bukan untuk jadi bahan ghibah."
Asri tertawa. Sebagai pria, Yudha memang sangat enak diajak ngobrol. Setelah sebelumnya membuktikan lewat chat, kali ini Asri membuktikannya melalui empat mata. Dan keduanya sama.
Setelah menghabiskan tehnya, Yudha mengajak Asri untuk keluar sebentar.
"Jalan yuk, Sri. Ke curug atau ke mana. Kamu nggak mau ngapa-ngapain, kan?"
Asri menggeleng. "Aku minta izin dulu sama orang tuaku."
Yudha pun mempersilakan. Adik dari Asih itu masuk ke ruang tengah.
"Pak, Bu, aku main ke curug tiga dulu, dulu, ya."
"Sama orang itu, siapa namanya?" tanya ayah Asri.
"Iya, Pak. Namanya Mas Yudha."
"Ya sana. Mendung pulang, takut banjir. Tadi Bapak mau ikut menemui, tapi malu. Ibumu itu, punya mulut nggak bisa direm."
"Bapak ini, namanya orang tua, kan juga ingin yang terbaik buat anaknya. Mentang-mentang perempuan, bodoh, nggak sekolah, ya nggak dibutuhkan." Ibu Asri merasa tersinggung dengan sikap suaminya. Wanita itu merasa apa yang dilakukannya salah karena dia tidak berpendidikan."
"Kamu ini, malah jadi merambat ke mana-mana."
Asri meringis. Begitulah kedua orang tuanya. Sering berdebat, tetapi ya tetap akur. Rumah tangganya bisa bertahan sampai sekarang. Ia juga ingin kelak memiliki rumah tangga yang demikian. Bisa langgeng sampai maut memisahkan.
"Aku berangkat ya, Pak, Bu."
"Ya sana, hati-hati. Kalau orang itu mengajak nikah, jangan ditolak. Tapi juga jangan aneh-aneh. Ibu tidak mau jadi omongan orang," pesan ibu Asri.
"Iya, Bu ... iya." Asri masuk ke kamar untuk mengambil jaket. Setelah itu ia kembali ke ruang tamu. Kemudian pergi menuju curug bersama Yudha.
Desa Karang Salam memang saat ini menjadi desa wisata. Selain wisata alam berupa curug, bagi yang suka camping, juga bisa menikmatinya. Jika dulu warganya mayoritas sebagai petani, saat ini banyak yang beralih menjadi pedagang. Membuka usaha tempat makan, terutama yang memiliki sawah di dekat tempat wisata.
Dulu, Karang Salam terkenal dengan jalan rusaknya. Namun, saat ini sudah tidak lagi. Karena jika ada yang rusak, maka akan segera diperbaiki.
Dari rumah Asri, menuju ke curug, jalannya cukup menanjak. Kanan-kiri penuh dengan sawah. Ada yang sedang dibajak, ada yang mulai menghijau, ada juga yang sedang mulai panen. Di desa ini, memang tidak ada musim padi. Tidak ada musim tanam, tidak ada musim panen. Sesuka hati saja, kapan ingin menggarap sawah masing-masing.
"Di sini, sawah udah mahal, ya, Sri?" tanya Yudha, membuka pembicaraan.
"Lumayan, Mas. Apalagi yang dekat jalan begini. Pajaknya juga gede."
"Pasti sih itu. Udah menghasilkan soalnya. Siapa tahu ada yang mau jual agak murah, Sri. Aku pengen buka usaha juga di sini."
"Nanti aku coba tanya-tanya ke Bapak. Aku mana tahu masalah begitu, Mas."
"Oke."
Mereka terus meneruskan perjalanan sampai ke tempat tujuan, curug tiga.