Terpaksa, Nyra melangkahkan kaki keluar dari ruangan Ferrin, meski setiap langkah terasa berat. Hatinya menolak pergi, seolah ada bagian dirinya yang tertinggal di sana bersama pria yang bahkan tak berani menatapnya tadi. Ia menoleh sekali lagi sebelum benar-benar mencapai ambang pintu. “Ferrin, aku berangkat dulu,” ucap Nyra dengan suara lirih, penuh harap ia akan mendapat sedikit saja kehangatan seperti dulu. Ferrin mengangkat wajahnya. Mungkin karena keberadaan Jimy di belakang Nyra, atau mungkin karena hatinya sendiri terlalu lelah menahan segalanya, ia akhirnya menjawab meski pendek, terdengar jauh, dan hampa. “Ya, Nyra.” Hanya itu. Tanpa senyum, tanpa usaha berdiri, tanpa langkah untuk mengantar. Seolah jarak yang mereka ciptakan sudah menjadi dinding tak terlihat. Nyra merasaka

