Sakha berjalan keluar dari ruang meeting dengan langkah panjang dan gelisah. Para staf menyapanya, namun ia nyaris tak mendengar satu pun suara. Bukan karena materi meeting tadi sulit, itu bagian paling mudah untuknya. Tapi gambaran wajah dokter yang ia lihat di jalan tadi terus menggedor pikirannya, menuntut jawaban. Begitu tiba di ruang kerjanya, Sakha menutup pintu dengan keras lalu membanting tubuhnya ke kursi kulit hitam di belakang meja. Nada frustrasi keluar dalam helaan napas panjang. Tangannya mengusap wajahnya yang tegang. “Siapa sebenarnya dokter itu…?” gumamnya pelan namun penuh tekanan. Ia memejamkan mata sejenak, mencoba mengingat ulang dengan detail, sorot mata dokter itu, gerak tubuh, dan cara ia memperhatikan perempuan yang bersamanya saat itu. Ada sesuatu yang janggal.

