Noah, lelaki yang begitu disegani oleh pengikutnya itu mengalami luka yang cukup parah di bagian leher. Kehilangan banyak darah membuatnya mulai kehilangan kesadaran. Setelah insiden kekacauan yang menyita tenaga dan emosi, akhirnya Davina berhasil membawa Noah ke ruang pemeriksaan.
“Seharusnya biarkan saja dia tidak sadarkan diri,” ucap Diani, salah seorang perawat yang ada di ruangan pemeriksaan bersama Davina dan tiga perawat lainnya.
“Nyusahin, rese, khas banget geng berandalan!” lanjutnya, sambil tetap membantu Davina membersihkan luka di leher Noah.
Davina tidak mengatakan apapun, dan lebih memfokuskan diri pada luka lelaki itu. Dalam kondisi yang sudah setengah sadar, Noah masih sempat menoleh ke arah Davina.
“Ketuanya mati, anak buahnya pasti bubar. Lebih baik begitu,” Diani kembali menunjukkan kekesalannya akibat keributan yang dilakukan Noah dan geng motornya. Bukan hanya menimbulkan kegaduhan, tapi mereka juga merusak beberapa fasilitas rumah sakit dan mengganggu kenyamanan pasien lain.
“Kewajiban kita hanya menolong, terlepas dari siapapun mereka. Menolong nyawa seseorang bukankah kewajiban dan tugas kita?” Davina menoleh dengan tatapan tajam.
“Iya sih,,,” balas Diani.
“Maaf Dok, saya berlebih. Habisnya kesel banget.”
Davina mengerti bagaimana perasaan Diani saat ini, bahkan ia pun merasakan hal serupa saat hendak menolong Noah.
Lebih baik membiarkan Noah begitu saja, daripada menolong perusuh seperti itu, tapi sebagai seorang dokter yang tentunya sudah disumpah untuk senantiasa menolong siapapun dalam kondisi darurat, Davina mengenyampingkan egonya dan memilih untuk menolong Noah.
Saat membersihkan luka dan melakukan tindakan medis lainnya, Noah sempat sadar dan menoleh ke arah Davina. Lelaki itu tersenyum samar sambil menahan rasa sakit.
Tatapan keduanya sempat bertemu, namun hanya sesaat, sebelum akhirnya Davina kembali memutus pandang.
“Davina.” ucapnya pelan.
“Cantik.” lanjutnya dengan senyum, namun Davina tidak menghiraukannya, walaupun sedikit terganggu dengan cara lelaki itu memperhatikan wajahnya yang masih tertutup masker. Darimana dia tahu bahwa dirinya memiliki paras cantik?
Sementara masker menutupi sebagian wajahnya.
“Sudah selesai,” Davina menghela lemah, usai menjahit luka robek di leher Noah.
“Kami sudah selesai, tunggu sebentar perawat akan membawakan obat. Lalu, selesaikan administrasi dan sudah boleh pulang.” Davina melepaskan sarung tangan karet di kedua tangannya.
“Saya akan memberikan resep, nanti kamu berikan padanya.”
“Baik, Dok.” Jawab Diani.
“Tugas saya selesai, tolong jangan membuat keributan apapun lagi. Ini bukan pasar, tapi ini rumah sakit, banyak orang yang sangat terganggu dengan kehadiran kalian.” ucapnya, sambil menoleh ke arah Noah, dimana lelaki itu hanya menyeringai saja.
“Baiklah. Tapi ingat, kita akan kembali bertemu.”
“Aku rasa tidak,” balasnya dengan nada ketus.
“Benarkah?!” Noah kembali tersenyum menggoda.
“Jika kita kembali bertemu, apakah kamu akan memberikan nomor ponselmu padaku?”
Davina mendengus.
“Di mimpimu!”
Davina malas meladeni lelaki seperti Noah yang sangat menyukai keributan. Walau wajahnya terlihat menarik tapi tidak dengan kehidupan yang dijalaninya.
Davina sangat menyukai ketenangan, berbanding terbalik dengan Noah yang menyukai keributan.
Usai membersihkan tangan dan mengganti pakaiannya, Davina menuliskan resep yang nantinya akan diberikan pada Noah. Ia bersiap hendak pulang, tugasnya hari ini selesai dengan diakhiri pertemuan tidak menyenangkan bersama Noah dan geng motornya.
“Ini resepnya,” Davina memberikan secarik kertas pada Diani.
“Pasien sudah pergi,” jawab Diani dengan wajah kesal.
“Boro-boro mau bayar biaya administrasi, bilang terimakasih juga nggak. Malah kembali menimbulkan kekacauan, lihat itu.” Diani menunjuk ke arah depan, dimana ranjang sebelah sudah tidak ada di tempat semula.
“Harusnya kita nggak menolong berandalan itu, Dok. Nggak hanya bikin kacau tapi juga merusak fasilitas rumah sakit.”
Davina menghela lemah, manusia seperti apa Noah itu?
Kenapa dia tidak memiliki etika sedikitpun, bahkan setelah nyawanya di tolong.
“Ya sudah, biarkan saja.” Davina meremas kertas yang ada di tangannya dan membuangnya ke dalam tong sampah.
“Kita sudah melakukan tugas dengan baik, berterimakasih atau tidak, itu urusan dia. Dan untuk beberapa peralatan rumah sakit yang rusak, juga untuk biaya pengobatan, biar aku yang membayarnya. Mungkin dia terlalu miskin, sampai tidak mampu membayar dan menghargai kita.”
“Baik, Dok.” jawab Diani.
Davina menatap ke arah pintu masuk dimana beberapa saat lalu Noah dan geng muncul disana. Ia hanya menghela lemah, setelah sekian lama hidup dalam ketenangan tiba-tiba saja hari ini ia bertemu dengan seseorang yang sudah membuat hatinya bergejolak marah dan ingin mengumpat kasar.
Beberapa saat kemudian, Davina mendapatkan panggilan dari seseorang yang membuat suasana hatinya kembali membaik..
“Iya,” jawabnya dengan senyum.
“Baru saja selesai, sudah sampai?” tanya Davina, dengan langkah cepat menuju area depan rumah sakit dimana seseorang sudah menunggunya.
“Bawakan bubur kesukaanku?” tanyanya lagi, dan senyumnya semakin mengembang sempurna setelah mendengar jawaban “iya” dari seberang sana.
Davina mungkin berharap untuk tidak dipertemukan kembali dengan sosok lelaki perusuh seperti Noah, namun semesta memiliki cara lain hingga keduanya kembali bertemu dan akhirnya Noah benar-benar mengacaukan hidupnya yang sudah tertata dengan baik.