Bab 01. Sebuah Pengkhianatan

1317 Kata
Kania Viandra, melangkah dengan anggun, dress panjang berpotongan elegan menampilkan bahu yang sedikit terbuka. Sementara rambut panjangnya terurai bergelombang, dihiasi riasan tipis ala Korea yang semakin menonjolkan kecantikannya. Hari ini, hati kecilnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Satu minggu seharusnya ia berada di luar kota karena urusan pekerjaan, namun karena bisa menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu, Kania pun bisa pulang lebih awal demi memberi kejutan di hari ulang tahun Arya Mahendra, pria yang telah bersamanya selama tiga tahun. Hari ini harus menjadi momen istimewa, itu yang ada di dalam benak Kania. Mengingat beberapa bulan lagi dirinya dan Arya akan menikah—sebuah babak baru dalam hidupnya. Ia sudah menyiapkan kejutan dan hadiah istimewa untuk Arya. Bayangan wajah pria itu saat menerima kejutan darinya, membuat senyumnya terus mengembang. Namun, saat tiba di kediaman Arya, Kania mendapati pria tersebut tidak ada di sana. Tidak ada kabar, tidak ada jejak. Ini bukan hari kerja, jadi mustahil calon suaminya itu sibuk di perusahaan. "Arya pasti ada di apartemennya," gumam Kania. Apartemen yang Kania maksud sudah seperti tempat perlindungan bagi Arya setiap kali ingin menghindari keramaian. Sebenarnya, Kania sempat bertanya dalam hati—kenapa Arya tidak memberitahunya? Apakah ia terlalu berharap untuk mengetahui setiap detail calon suaminya? Tetapi ia segera mengusir pikiran itu. Bukankah kejutan akan lebih berhasil jika Arya tidak tahu kedatangannya? Ya, Kania memang sengaja tidak memberi tahu Arya tentang kepulangannya yang lebih awal dan saat ini akan menuju ke apartemen. Dengan demikian, kejutan yang dia niatkan akan menjadi lebih sempurna. "Aku harap, Arya terkejut dan tersenyum bahagia saat melihat apa yang sudah aku siapkan untuknya." Kania tersenyum, meyakinkan dirinya sendiri. Entah bagaimana, perasaan campur aduk di dalam dadanya terasa menyenangkan. Ada rasa cemas, tetapi juga ada rasa bahagia. Kania tidak ingin merusaknya dengan spekulasi yang tidak perlu. *** Jantungnya berdebar-debar saat menggenggam kotak kue dan kado yang sudah ia siapkan. Rasanya sulit menahan diri untuk tidak berlari, Kania begitu bersemangat ingin segera bertemu dengan Arya, lelaki yang selalu memenuhi pikirannya. Langkahnya semakin cepat, sampai akhirnya ia tiba di depan pintu apartemen tunangannya itu. Untung saja ia masih mengingat jelas kode akses pintu untuk masuk, sehingga semakin mudah menjalankan rencananya. Menghela napas panjang, Kania mencoba meredakan perasaan yang begitu menggebu-gebu. "Sabar, Kania. Sebentar lagi kamu akan bertemu Arya. Dia pasti senang banget hari ini, karena aku pulang lebih cepat dari yang dia tahu," batinnya, sambil tersenyum kecil. Dengan penuh semangat, Kania menekan kode angka itu dan pintu apartemen terbuka. Ia masuk dengan harapan yang memuncak, membayangkan wajah Arya yang terkejut dan gembira melihatnya. Namun, apartemen itu terasa terlalu sunyi, tidak ada tanda-tanda kehadiran pria itu di sana. "Apa mungkin Arya ada di kamar?" gumam Kania pelan, lalu melangkah menuju tangga yang mengarah ke lantai atas. Namun, langkahnya terhenti di tengah jalan. Matanya membelalak tak percaya. Lantai menuju kamar penuh dengan pakaian berserakan. Beberapa pakaian ada yang tidak ia kenali, jelas bukan milik Arya. Kania membeku di tempat. Seperti angin kencang yang tiba-tiba menerjang dadanya, semua perasaan semangatnya berubah menjadi ketakutan. Kini, langkahnya terhenti di depan pintu kamar Arya yang sedikit terbuka. Awalnya ia hanya ingin memastikan apakah ia salah lihat, tetapi nyatanya ada pakaian wanita di antara pakaian Arya. Jantungnya berdebar cepat, seperti ada yang memukulnya dari dalam. Ada rasa asing yang menyebar di tubuhnya—curiga, takut, sekaligus marah. Namun, sebelum Kania sempat membuka pintu kamar, suara percakapan dari dalam ruangan terdengar jelas di telinganya. "Aghh, Baby, kamu benar-benar luar biasa. Aku sangat puas dengan permainanmu. Bagaimana aku tidak semakin mencintai kamu?" Itu suara Arya, tunangannya sendiri, berbicara dengan penuh gairah. Kania merasa seluruh tubuhnya dingin, seperti tersambar petir. "Kamu bisa saja, Sayang. Tapi, aku senang kalau kamu menikmatinya. Oh ya, apa kamu nggak takut kalau Kania tahu tentang kita?" sahut suara wanita, penuh keyakinan. Suara itu juga tidak asing di telinga Kania. "Sisy? Apa benar itu suara Sisy?" batinnya, mengenali suara itu adalah milik sahabatnya. Kepala Kania terasa berdenyut, napasnya tercekat. Rasa sakit menusuknya, tetapi ia tak mampu bergerak. Pikiran-pikirannya berserakan, berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. Apa itu benar-benar Sisy? Batinnya mencoba menyangkal, tetapi matanya berkata lain ketika ia mengintip sedikit ke dalam. Benar-benar Arya dan Sisy ada di atas ranjang, bersikap seperti pasangan sejati. Melihat pemandangan itu, Kania merasa seluruh hidupnya hancur berkeping-keping. Kenapa mereka melakukan ini padanya? Kania berdiri mematung, tubuhnya gemetar, seperti tak percaya pada sebuah pengkhianatan yang baru saja ia lihat. Sisy, dengan gerakan tubuhnya yang begitu menggoda, duduk di atas tubuh pria yang selama ini ia yakini akan menjadi suaminya, terlihat tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuh mereka. Meski wajah wanita itu tidak terlalu jelas di pandangan, hatinya tahu bahwa dia adalah sahabatnya sendiri. Sahabat yang selama ini ia anggap seperti saudara, kini menghancurkan dunia kecilnya tanpa ampun. Ia ingin menutup mata, menghilangkan semua yang dilihatnya, tetapi rasa sakit itu begitu nyata. Dadanya terasa sesak, napas berat menggantung tanpa arah. Andaikan saja Kania tidak pulang hari ini, ia tidak akan pernah tahu bahwa dua orang yang ia percayai telah mengkhianatinya, bahkan di depan matanya sendiri. "Sejak kapan mereka mulai melakukan ini? Kenapa mereka begitu jahat?" pikirnya dalam hati, penuh kepedihan. Apakah selama ini, semua senyum dan perhatian mereka hanyalah kedok? Kania benar-benar tidak mengerti. Bagaimana bisa, sahabat dan tunangannya sendiri berani melakukan hal keji seperti itu di belakangnya? Lalu, terdengar kata-kata Arya yang menusuk telinganya. Suara pria itu terdengar kasar, memamerkan penghinaan terhadap dirinya tanpa sedikit pun rasa malu. "Cih, wanita bodoh itu sok suci. Sudah tiga tahun kami bersama, tapi dia sama sekali tidak mau aku sentuh. Bahkan untuk berciuman saja, dia sok jual mahal! Apalagi sampai memberikan kenikmatan seperti yang kamu berikan ini, Baby. Kalau bukan karena terpaksa, aku juga tidak akan mungkin menjalin hubungan dengannya, apalagi sampai bertunangan." Mendengar hal itu, Kania merasa kepingan hatinya yang tersisa hancur seketika. Kata-kata yang Arya ucapkan seperti pecahan beling yang dihunuskan ke jantungnya. "Sok suci?" batin Kania, terasa pahit. "Jadi, semua waktu dan cinta yang aku berikan tidak berarti apa-apa?" Kini Kania tahu bahwa dia hanyalah jalan sementara bagi Arya, alat untuk tujuan yang entah apa. Dan sekarang, bahkan sahabatnya ikut berperan dalam menghancurkan dirinya. Mengapa mereka melakukan ini? Bukankah ia sudah cukup baik kepada mereka? Mengapa rasa hormat dan cinta itu tidak cukup untuk membuat mereka bertahan dalam hubungan ini? Di dalam sana, Arya dan Sisy terlihat puas dan lelah setelah permainan mereka selesai. Namun, Kania yang berdiri di ambang pintu, benar-benar merasa tenggelam dalam lautan rasa sakit. Apakah ia salah telah percaya? Salah telah mencintai? Atau apakah ini ujian yang harus ia lewati? Ia bahkan tidak tahu harus bagaimana. Namun, satu hal yang pasti—ia tidak akan pernah memandang mereka sama lagi. Dalam keputusasaannya, Kania tetap berada di sana dam mendengar setiap kata mereka, setiap kalimat penuh kebohongan yang meluncur dari bibir Arya. "Tunggu saja, Baby. Nanti setelah aku menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Kania, aku pasti akan meninggalkan wanita itu dan kita akan bersama selamanya." Ucapannya diikuti dengan senyuman penuh kepalsuan saat jemarinya dengan lembut mengusap pipi Sisy lalu mencium bibir wanita itu dengan penuh nafsu. Kania hanya bisa mematung di tempat persembunyiannya. Rahangnya menegang, tangannya terkepal erat, mencoba menahan amarah yang sudah mendidih di dadanya. Mereka benar-benar menjijikkan. Namun, ia bukan Kania yang dulu, yang hanya bisa diam dan menyerah pada keadaan. Untung saja, ia sempat merekam beberapa detik dari apa yang mereka lakukan. Bukti itu ada di genggamannya sekarang. Dengan tatapan penuh dendam, ia melangkah pergi dari tempat itu. "Kalian pikir, aku lemah? Lihat saja, aku akan membalas semuanya dan saat waktunya tiba, kalian akan tahu kalau aku bukan wanita yang bisa dipermainkan begitu saja," batin Kania bergemuruh, seakan bersumpah untuk tidak memberikan celah sedikit pun pada pengkhianatan mereka. Kania semakin mempercepat langkahnya, namun baru saja ia berhasil keluar dari apartemen Arya, tiba-tiba ada seorang pria yang menarik tangannya dan langsung mendorong tubuhnya ke dinding lalu mencium bibirnya tanpa permisi. Tentu saja hal itu untuk membuat Kania merasa sangat terkejut. Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN