13. Perasaan Aro

1468 Kata
Syahilla dan Aro sampai di pantai yang kebetulan sepi pengunjung, mungkin karena hari kerja. Dino menuntun Syahilla untuk keluar mobil. “Baunya seperti angin laut,” ujar Syahilla. “Memang, ayo!” Aro menarik Syahilla agar mengikuti langkahnya. “Sedikit-sedikit kamu bisa melihat, kan?” tanya Aro melirik Syahilla. “Bisa. Banyak pohon kelapa juga,” jawab Syahilla. “Mau main air? Kurang lengkap kalau kita ke pantai tapi tidak merasakan airnya.” “Boleh. Aku lupa kapan terakhir kali ke pantai. Seingatku sih masih sangt kecil,” ujar Syahilla. “Kalau begitu aku akan sering membawamu kemari,” timpal Aro. “Iya nanti aku yang didemo pasien kamu,” jawab Syahilla tertawa. Aro ikut tertawa, dalam hatinya sangat berdebar-debar. Kalau hasil dari penantian panjangnya adalah Syahilla, Aro tidak akan menolak. Aro membawa Syahilla ke bibir pantai. Sejak tadi Syahilla mengusung senyum lembut, membuat Aro yang melihatnya makin terbawa perasaan. Senyum Syahilla sangat manis dan tampak lepas. “Tunggu sebentar!” pekik Aro saat Syahilla mau menginjakkan kakinya di air. “Ada apa, Dokter?” tanya Syahilla bingung. Tiba-tiba Aro berjongkok, pria itu melipat celana kain Syahilla bagian bawah, “Biar tidak sepenuhnya basah,” ujar Aro menaikkan sedikit celana Syahilla yang tampak kedodoran. Syahilla ingin menolak perlakuan Aro, tapi mau bagaimana lagi dia terlanjur suka. Jarang-jarang Syahilla diperlakukan seperti ini oleh pria. Aro lah yang pertama, dan Syahilla berharap hanya Aro. “Terimakasih, Dokter!” ucap Syahilla. “Okey, sini agak maju biar kerasa airnya.” Syahilla menuruti Aro, ia tertawa kegirangan saat merasakan terpaan air laut di kakinya. Syahilla menunduk, dia melihat air-air itu membasahi kakinya. “Lihatlah ke depan, Syahilla!” titah Aro. “Aku sedikit melihat pepohonan yang hijau di tengah pantai, Dok,” jawab Syahilla. “Dulu aku sering sakit mata karena kebanyakan main game online. Ayahku mengajakku ke pantai setiap minggu, menyuruhku untuk melihat pepohonan di sampingnya. Ayahku percaya kalau warna hijau bisa membuat mata jadi terang. Warna hijau juga memiliki arti keseimbangan, bisa membuat segar orang yang memandangnya,” jelas Aro. “Kalau begitu aku akan melihat yang hijau-hijau.” “Lihatlah juga luasnya lautan sana, Syahilla. Kalau kita berlayar dari sini ke sana, kita akan kembali lagi ke tempat semula. Tidak akan menemukan ujung.” “Ciptaan Sang Kuasa memang tidak ada duanya, Dokter,” jawab Syahilla melangkahkan kakinya lebih menjorok ke pantai. Aro mengikutinya dari belakang. Air laut sedang surut, ombaknya juga tenang dengan angin yang semilir menerpa tubuh keduanya. Syahilla menengadahkan kepalanya. Rasanya senang sekali, setelah sekian lama dia bisa menginjakkan kakinya ke pantai lagi. Aro mengambil hpnya dari saku celana. Dia mengarahkan kamera hp nya ke arah Syahilla. Dulu Aro bercita-cita menjadi photographer sebelum dia memutuskan untuk menjadi Dokter. Wajah Syahilla tampak lebih cantik saat tersorot siluet matahari. Aro terus tak henti mengagumi wajah wanita itu. “Dokter tidak malu ngajak aku ke sini?” tanya syahilla menolehkan kepalanya pada Aro. Aro tersenyum, kakinya dia pijakkan ke kaki Syahilla. “Kenapa harus malu?” “Aku kayak anak kecil pas di sini,” jawab Syahilla menundukkan kepalanya. “Mau kamu bertingkah seperti bayi pun, aku tidak akan malu, Syahilla,” ujar Aro memijak lebih kencang kaki Syahilla. “Awww dokter, jangan kencang-kencang!” pekik Syahilla tertawa. Aro ikut tertawa melihat tawa lepas Syahilla. Siapapun yang melihat mereka tanpa sengaja, sudah pasti akan berpikir kalau Aro dan Syahilla sepasang kekasih, bahkan ada yang mengira kalau mereka penganti baru. Aro sungguh memperlakukan Syahilla dengan baik. Pria itu yang jelas sudah dewasa bisa mengimbangi pemikiran Syahilla yang kadang agak labil. Menanyakan ini itu yang dijawab dengan sabar oleh Aro. “Mau naik perahu?” tanya Aro. “Takut, Dok,” jawab Syahilla malu-malu. “Kan ada aku,” ujar Aro. “Ajak aku ke sini lagi kalau mataku sudah sembuh ya, Dok! Biar bisa leluasa main,” ucap Syahilla menatap berbinar ke arah Aro. Tangan Aro ingin mengelus pipi Syahilla. Namun sebelum tangannya menempel, Aro marik kembali tangannya. Aro merutuki dirinya yang bertingkah tidak sopan. Untung dia sadar sebelum kebablasan. Syahilla yang melihat bayangan tangan Aro yang akan mengusap pipinya tapi tidak jadi, hanya mengusung senyumnya. “Aku siap menjadi matamu, Syahilla,” ucap Aro merendahkan tubuhnya. Mensejajarkan wajahnya dengan wajah Syahilla. “Kenapa dokter sangat baik?” tanya Syahilla. “Tidak, aku jahat Syahilla. Kalau aku baik aku tidak akan membiarkan perasaanku terkunci, terbelenggu dalam hati dan menahannya untuk mengungkapkan.” Syahilla tergelak mendengar serangkaian kata yang diucapkan Aro. “Dokter pinter juga dalam mencari diksi. Biar aku tebak artinya,” ujar Syahilla. Aro menggaruk tengkuknya. “Kamu tidak akan tau arti ucapanku, Syahilla!” balas Aro. “Aku tau. Dokter Aro mempunyai perasaan dengan seorang gadis. Tapi dokter sudah jahat karena dokter mengunci perasaan dokter, tidak membiarkan mengungkapkan pada gadis yang dokter sukai, padahal dokter sangat ingin mengungkapkan,” jelas Syahilla. “Selain pintar melukis, kamu juga pintar menerjemahkan kalimat orang lain,” puji Dokter Aro. “Ungkapkan saja, Dokter. Siapa tau gadis itu juga menyukai Dokter,” ucap Syahilla. Syahilla menahan dirinya untuk tidak menjerit, entah dirinya yang terlalu berharap atau hatinya yang terlalu berperasaan, Syahilla sungguh percaya diri kalau gadis yang disukai Aro adalah dirinya. Secara Aro sudah mengodenya sejak tadi, dan sekarang mengajaknya ke pantai. Kalau tidak menyukainya, mana mungkin Aro akan mengajaknya jalan-jalan. Beda suasana bahagia Syahilla, di seberang sana Reza tengah kehilangan gairah hidup. Pria itu sejak awal take kamera, selalu menampilkan ekpresi datarnya. Namun sialnya, ekpresi datarnya malah sangat cocok dengan prdoduk deodorant yang saat ini dia iklankan. Dalam hati Reza tak herhenti mengumpat. Dia merasa dipermainkan oleh Dika, ingatkan Reza untuk memecat managernya itu. Selesai take, Reza bergegas melapas baju yang dia kenakan, pria itu menyambar baju yang dipegang Dika dengan tatapan yang tidak bersahabat. “Ini hari terakhirmu kerja!” ucap Reza dengan tajam. Dika hanya tergelak, tidak menanggapi serius ucapan Reza. “Reza!” panggil seorang perempuan berlari menghampiri Reza. Ketukan hak tinggi mengalun tergesa-gesa. Reza menolehkan kapalanya dan mendapati Audi tengah menenteng tas kecil. “Hai!” sapa Reza dengan senyum mengembang. Audi berdiri mematung di depan Reza. Kalau biasanya dia akan memeluk laki-laki itu ketika bertemu, sekarang sudah berbeda. Audi merasa canggung kala mengingat adegan ciuman yang ditolak Reza. Mengerti kecanggungan yang dirasakan Audi, tangan Reza menarik pinggang gadis itu untuk mendekatinya. “Apa kabar, Audi?” tanya Reza menyandarkan kepalanya di bahu Audi. Melihat tingkah manja Reza membuat Audi tersenyum. “Kabar baik. Kamu sendiri?” “Tidak baik. Ini gara-gara Dika yang menyetujui iklan dengan mendadak,” jawab Dika. Tangan Audi merayap, mengelus rambut Reza dengan lembut. “Kita cari tempat yuk. Masak berdiri begini,” ajak Audi. Reza dengan malas-malasan melepas pelukan Audi. Audi menoel hidung Reza sekilas karena gemas dengan tingkah manja Reza. Tangannya menggenggam tangan Reza untuk mengajaknya ke tempat yang bisa untuk bersantai. “Aku bawa mobil, Audi. Pakai mobilku saja,” ucap Reza. “Kayaknya kamu tidak sanggup nyetir, biar aku yang nyetir,” ujar Audi. “Aku bawa sopir, Sayang. Kamu jangan kayak orang susah ah.” Audi tersenyum malu, Reza membukakan pintu untuk Audi masuk. Dia sendiri mengitari mobil untuk duduk di samping Audi. Audi meremas tangannya sendiri dengan gemas. Hubungannya dengan Reza sudah membaik, membuat Audi merasa hatinya ikut lega. Dia tidak akan bertindak gegabah lagi yang bisa merenggangkan hubungan mereka. Saking senangnya Audi lupa apa tujuannya menemui Reza. Audi ingin meminta kejelasan hubungan. Namun sepertinya ini juga bukan waktu yang tepat. Audi takut saat dia kembali menagih kepastian, Reza malah ngamuk seperti sebelumnya. Audi mengajak Reza ke café yang tak jauh dari studio. Gadis itu memesan tempat privat agar Reza bisa leluasa istirahat tanpa gangguang fansnya. Reza memaksa Audi untuk duduk di sofa panjang, Audi menurut. Selang beberapa lama Reza merebahkan kepalanya di paha Audi. “Usapin kepalaku!” titah Reza. Audi lagu-lagi menurut, dia mengusap kepala Reza dengan perasaan sayang. “Tidak mau cerita?” tanya Audi. Biasanya kalau Reza sedang tidak baik-baik saja, Reza akan menceritakan keluh kesahnya pada Audi. Reza menggelengkan kepalanya, pria itu merogoh saku celananya dan mengambil hp. Tangan Reza berselancar di dunia maya, tanpa sengaja pria itu membuka i********: dan melihat beranda paling atas, Dia lupa sejak kapan mengikuti akun bernama Dr.Aroo25. Sekilas postingan itu tampak biasa saja, tapi saat Reza melihat dengan jelas siapa yang dalam foto itu, hati Reza bak kebakaran. Foto Syahilla tampak belakang yang sedang ada di pantai, caption yang ditulis Aro pun juga membuat Reza muak. “Cih, matahariku. Jijik!” maki Reza membuang hpnya ke meja, Reza memeluk perut Audi dengan erat. Audi merasa aneh dengan Reza. Tangan perempuan itu menyambar hp Reza, tapi saat membukanya dia tidak menemukan apa-apa. “Kamu kenapa sih, Reza? Aneh,” ujar Audi. “Jangan berisik! Aku ngantuk Syahilla,” jawab Reza. Audi menegang, Reza salah sebut nama perempuan lain. Perasaan yang mulanya sudah melambung, kini hancur lagi.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN