Suara batuk terdengar dari dalam kamar yang terbuka, diselingi dengan napas yang tersengal. Seorang perempuan berumur lima puluh lima tahun, setengah berbaring di ranjang tampak kepayahan menjaga tubuhnya. Perempuan itu menatap kuatir pada kaca jendela yang buram karena hujan. Sedari tadi Kiara belum pulang, entah kemana perginya. Biasanya selesai berjaga toko akan cepat kembali. Ini tanpa kabar apa pun, padahal waktu pulang kerja sudah lewat.
“Jadi perempuan nggak guna. Menikah bertahun-tahun baru punya anak saat umur nggak muda lagi. Naura, kamu memang nggak layak disebut istri!”
Naura menghela napas panjang, teringat makian yang diberikan sang suami untuknya. Meski sudah berlalu bertahun-tahun tapi rasa sakitnya masih dirasakan. Sampai akhirnya ia kalah dengan Winda yang jauh lebih muda dan Iebih cantik. Dalam sekejap kedudukannya tergantikan dan kini ia dan Kiara dipaksa keluar dari rumah besar itu.
Merawat dan membesarkan Kiara seorang diri bukan hal yang mudah. Meskipun mendapat tunjangan setiap bulan hanya cukup untuk biaya sekolah Kiara. Naura bekerja keras dengan menjadi pelayan, tukang cuci di laundry dan banyak pekerjaan Iain kasar lainnya demi untuk Kiara. Sampai akhirnya tubuhnya kepayahan dan tidak sanggup lagi.
“Mamaa, aku pulang!”
Naura mengangkat kepala saat melihat anaknya masuk. “Kiaraa, kamu dari mana saja? Hujan deras begini?”
“Ntar dulu, Ma. Kiara ganti baju dulu.”
Kiara bergegas ke kamarnya sendiri, mengambil pakaian kering lalu ke mengelap luka di wajah dan kakinya. Sang mama tidak boleh melihatnya dalam keadaan Iuka-luka. Tidak boleh kelihatan menangis juga. Harus tegas, tersenyum, dan terlihat gembira agar mamanya bisa tenang. Memakai daster terusan sederhana dengan kain di tangan, Kiara mengernyit di depan kaca. Bekas tamparan membekas di pipi, bukan hanya terlihat memerah tapi juga sakit sampai ke rahang. Kalau bukan karena ingin mendapatkan uang, tidak akan sudi datang ke rumah itu lagi. Selesai membasuh wajah dan kaki, ia melihat lipatan uang yang diberikan laki-Iaki dijalan dan menghitungnya.
“Ya ampun, banyaknya. Kenapa dia ngasih uang banyak sekali?” ucap Kiara keheranan. Memasukkan uang ke dalam dompet dan menghampiri kamar sang mama. “Maa, aku tadi telat karena lembur.”
Naura menatap anak satu-satunya dengan senyum terkembang. Terbatuk beberapa kali, menerima air dari Kiara dan meneguknya. “Kenapa hujan-hujan lembur.”
“Sekalian nunggu hujan reda, Ma. Bentar lagi kita ke klinik, Ma.”
“Nggak usah, mama nggak mau ngerepotin kamu.”
“Kalau Mama terus-terusan sakit malah bikin aku kuatir.”
Naura menghela napas panjang. “Mama selalu ngerepotin kamu, Kiara.”
“Jangan bilang gitu, Ma. Kiara sama sekali nggak repot.”
“Memangnya kamu ada uang buat ke klinik?”
“Ada, tadi Kiara kan lembur.” Ia menunjuk dompet di tangan. “Selain itu ada beberapa pekerjaan tambahan juga.”
“Kuliahmu gimana?”
“Lagi cuti, Mama nggak usah pikirin itu.”
Naura mencengkeram lengan anaknya dan mengamati wajah Kiara yang lebam. “Kenapa wajahmu? Siapa yang mukul kamu?”
Kiara tersenyum, menutupi wajahnya dengan cepat. “Nggak ada yang mukul, Ma. Tadi hujan kepleset.”
“Beneran?”
“Iya, Ma. Lihat lututku juga memar.”
Dengan terpaksa Kiara menunjukkan lututnya sobek. Sebenarnya ia tidak ingin sang mama tahu penderitaannya tapi terpaksa harus diungkapkan agar tidak ada salah paham. Sedari dulu Kiara tahu kalau mamanya akan melarangnya pergi ke rumah besar itu. Dengan alasan tidak ingin direndahkan dan ditolak. Kiara mengerti sepenuhnya, tapi terpaksa ke sana di luar kemauannya.
“Kamu ini, hati-hati kalau jalan.”
Kiara tersenyum, meraih tangan tangan sang mama dan meletakkan di pipinya. “Santai, Ma. Aku baik-baik aja. Ayo, aku panggilkan gocar. Kita ke klinik.”
Setelah melewati pemeriksaan, Naura mendapatkan obat dan infus. Dokter menyarankan untuknya istriharat selama seminggu ke depan.
“Gimana Kiara, mama udah terima gaji untuk bulan depan tapi nggak kerja-kerja. Takut majikan mama marah nanti.”
“Ma, kenapa mikirin itu?”
“Harus dipikirin, kasihan orang baik kalau kita curangi. Mama ingin tetap bekerja di sana karena gajinya lumayan.”
Kiara berpikir sesaat tentang cara membantu sang mama. “Gini aja, Ma. Gimana kalau Kiara yang gantiin kerjaan Mama di sana?”
“Heh, memangnya kamu bisa kerja jadi pelayan?”
“Apanya yang nggak bisa? Asalkan dapat uang dan bisa bantuin Mama, aku bisa semuanya Ma. Angkat galon air, nyapu dari ujung jalan sampai ke rumah, ngepelin jalanan. Pokoknya semuanya aku bisa.”
Cara Kiara yang merayu dengan tawa membuat Naura luluh. Untuk sementara Kiara berhenti kerja di tempatnya semula, outlet martabak dan es teh di ruko dan menggantikan sang mama. Ia mengirim pesan pada pemilik usaha martabak dan mendapatkan makian keras.
“Gadis reseh! Bisa-bisanya lo berhenti tiba-tiba. Kalau gini gimana gue cari pekerja?”
Pemilik outlet seorang perempuan paruh baya bersuara keras, untungnya Kiara mendapat gaji mingguan jadi tidak perlu repot kalau ingin keluar. Bagaimana nanti, ia bisa memikirkan pelan-pelan, yang terpenting sekarang menyelamatkan pekerjaan sang mama. Sisa uang dari pengendara mobil diserahkan pada sang mama.
“Beli makan atau minuman apa pun selama aku kerja, Ma. Takutnya di rumah besar itu terlalu sibuk sampai pulang larut.”
Naura mengangguk. “Iya, mama ngerti. Hati-hati kerja di sana, meskipun majikannya baik tapi persaingan antar pelayan sangat sengit. Terutama yang muda-muda.”
“Ya, Mama. Tenang aja, aku nggak akan jadi bagian dari pelayan muda itu.”
Kiara merenung setelah bicara dengan sang mama, memikirkan nasibnya yang seolah jungkir balik tak karuan. Ia berumur sepuluh tahun saat ditendang keluar dari rumahnya sendiri. Dari seorang anak kecil yang segala kebutuhan tercukupi, kini menjadi Kiara yang harus pontang panting cari pekerjaan untuk biaya hidup dan kuliah. Kiara hanya meyakini satu hal, kalau apa pun yang dilakukannya akan membuahkan hasil yang baik selama tidak mengeluh.
***
Emilio memperhatikan anaknya yang sedang sarapan. Suasana hening, sama sekali tidak ada celoteh dan tawa layaknya rumah yang dihuni anak kecil. Emilio tidak tahu apa yang membuat anaknya menjadi begitu pendiam. Seolah-olah takut melakukan kesalahan atau berisik. Padahal ia sangat ingin mendengar anaknya menjerit atau berteriak. Bila perlu mengamuk, dengan begitu ia tahu kalau anaknya baik-baik saja. Sayangnya, Orley justru tidak ingin menunjukkan sikap begitu.
“Orley, Sayang. Mau nambah susunya?”
Orley mendongak, matanya yang bulat terbelalak lalu menggeleng.
“Mau nambah meses untuk rotinya?”
Lagi-Iagi Orley menggeleng. Emilio menghela napas panjang, mengambil tisu untuk membersihkan mulut dan bibir Orley.
“Anak papi makanya belepotan. Nggak apa-apa, biar papi yang bersihin.”
Emilio meraih tubuh kecil sang anak dan memangkunya. Mengusap pipi dengan lembut dan mengecupnya. Ia sangat suka memeluk dan menggendong anaknya. Sayangnya, Orley justru tidak tahan dipangku berlama-lama.
“Mau kemana?” tanya Emilio saat anaknya menggeliat ingin turun. “Papi pangku sebentar sebelum ke kantor.”
“Mau pipis,” jawab Orley dengan suara kecil.
“Oh, mau pipis. Ya sudah, kita panggilin Sus Kiki dulu. Kikiii!”
Seorang gadis dengan seragam merah muda dengan rambut kecoklatan tergerai di pundak, bergegas menghampiri.
“Iya, Pak.”
“Orley mau pipis.”
Kiki mengulum senyum, mengulurkan tangan pada Orley. “Ayo, Sayang. Kita pipis dulu.”
Orley ragu-ragu sesaat memandang suster penjaganya.
“Kenapa? Nggak jadi pipis?” tanya Emilio.
Kiki tetap tersenyum dengan mata diarahkan langsung pada Orley. Satu kancing seragam bagian atas terbuka, tapi sepertinya ia tidak memperhatikan itu.
“Sayang? Kenapa kamu?” tanya Emilio saat melihat anaknya mematung.
Orley perlahan turun dari pangkuan Emilio dan menghampiri Kiki.
“Anak Manis, kita ke kamar mandi sekarang.”
Suara Kiki terdengar sangat lembut dan menenangkan, Emilio merasa lega anaknya mendapatkan suster yang baik. Ia melambaikan tangan pada Orley yang menoleh sebelum bangkit dari kursi dan bersiap ke kantor. Kepala rumah tangga, seorang perempuan cakap berumur tiga puluh lima tahun mendatanginya.
“Pak, di depan ada anaknya Bu Naura. Katanya Bu Naura sakit cukup parah jadi dia yang gantikan kerjaan mamanya di sini.”
“Bu Naura sakit? Pantas nggak pernah kelihatan.”
“Iya, Pak. Dari seminggu lalu sudah nggak masuk. Saya meminta pelayan lain untuk menggantikan kerjaan Bu Naura mencuci dan menyetrika tapi hasilnya kurang bagus. Saya pikir Bu Naura bohong, setelah menerima gaji penuh di bulan ini nggak akan datang lagi. Ternyata dia sakit.”
“Bu Nina atur aja, terima anaknya kerja mumpung kalian butuh.”
Nina mengangguk. “Baik, Pak.”
Emilio mengambil tas di atas meja dan menjinjingnya. Merapikan dasi sambil melintasi ruang makan menuju garasi. Tiba di teras langkahnya terhenti saat melihat seorang gadis dengan rambut dikuncir kuda, menunduk menekuri lantai. Mencoba mengingat di mana pernah melihat gadis itu sampai akhirnya teringat sesuatu.
“Kamu, yang kemarin tertabrak mobilku 'kan?”
Kiara mengangkat wajah, terbelalak sesaat lalu membungkuk. “Se—lamat pagi, Pak.”
Emilio mendekat, tanpa disangka mengulurkan tangan untuk mengangkat dagu Kiara dan memeriksa wajahnya.
“Pipimu masih memar, kamu nggak ke dokter?”
Kiara terdiam, jari yang kuat mencengkeram dagunya dengan lembut. Tubuh Havem berdiri sangat dekat dengannya. Dadanya mendadak berdebar dan jantungnya berdetak lebih kencang. Pandangan mereka terkunci satu sama lain dengan Kiara kehilangan kata-kata. Jemarin Emilio melepaskan cengkeraman di dagu lalu mengusap pipinya dengan lembut.
“Sakit?”
Tentu saja sakit, apalagi sang papa memukul berulang kali dengan tenaga penuh. Kiara ingin menjawab jujur tapi yang terlontar dari mulutnya justru hal lain.
“Lebih menyakitkan kalau hati yang sakit, Pak.”
“Hah?”
“Eh?”