Bab 4

1103 Kata
Beberapa hari kemudian, setelah dokter memastikan kondisinya cukup stabil untuk rawat jalan, Viana akhirnya diizinkan pulang. Salah satu kakinya masih dibalut gips, dan ia harus menggunakan kursi roda untuk sementara waktu. Evan membawanya ke mansion mewah milik keluarga Collins—sebuah bangunan luas dan elegan yang terasa lebih seperti museum sunyi ketimbang rumah. Begitu mobil berhenti di pelataran depan, para pelayan segera keluar menyambut. “Selamat datang kembali, Nona Viana,” sapa seorang pelayan wanita dengan senyum ramah dan nada tulus. “Saya mendoakan kesembuhan Anda secepatnya.” Viana mengangguk kecil, merasa canggung di balik keramahan yang terasa asing. “Uhm, ya… terima kasih.” Pelayan itu tetap tersenyum, lalu menambahkan, “Kamar baru sudah disiapkan, Nona. Jika butuh bantuan apa pun, silakan panggil saya.” Setelah itu, ia membungkuk sopan dan melangkah pergi ke dapur, meninggalkan Viana yang masih duduk di kursi rodanya. Viana menoleh ke arah Evan yang sejak tadi berdiri di sampingnya. “Apa aku memang mengenal para pelayan di sini sebelumnya?” Evan menggeleng ringan. “Tidak, tapi mereka semua mengenalmu, Sayangku.” Tanpa menunggu balasan dari Viana, Evan mendorong kursi roda wanita itu perlahan menyusuri lorong utama mansion. “Sekarang kamar kita ada di lantai satu,” ucap Evan lembut. “Dulu kita tinggal di lantai atas, tapi aku memindahkannya ke bawah karena kau tak bisa naik turun tangga dengan kondisi seperti ini.” Begitu sampai di depan sebuah pintu besar berukir, Evan membukanya dan mendorong kursi roda Viana masuk. Viana memandangi ruangan itu lekat-lekat. Kamarnya terasa hangat dan luas, dengan jendela tinggi yang menghadap taman belakang. Tempat tidurnya lebar, tertata rapi, dan wangi lavender samar tercium dari sudut ruangan. Ia mengusap seprai dengan ujung jarinya ketika Evan menghentikan kursi rodanya di samping ranjang. “Semuanya masih terasa aneh,” gumam Viana jujur. Evan menutup pintu, lalu berjalan menghampirinya. “Aneh bagaimana?” Viana menghela napas pendek. “Aku tidak tahu.” Ia mengangkat bahu sekilas. “Rasanya seperti aku tinggal di tempat milik orang lain. Tempat yang bukan milikku.” Evan terdiam sejenak, lalu berlutut di depan kursi roda Viana dan menggenggam tangan wanita itu. “Rumah ini milikmu juga, Sayang. Kau tinggal di sini bersamaku. Ini tempat yang aman,” ucapnya pelan. “Beri dirimu waktu. Segalanya akan terasa lebih wajar nanti.” Viana menatap pria itu tanpa berkata apa-apa. Matanya berkedip pelan. “Sekarang beristirahatlah,” tambah Evan sambil bangkit berdiri. Ia segera merengkuh tubuh Viana dan membaringkan wanita itu pelan-pelan ke atas ranjang. Tak lupa ia meletakkan bantal tambahan di sisi kaki yang patah agar posisinya lebih nyaman. Detik berikutnya, Evan ikut berbaring di samping Viana dan memosisikan tubuhnya dengan hati-hati agar tak menyentuh bagian kaki wanita itu. Meski begitu, ia tetap menarik tubuh Viana ke dalam pelukannya, membiarkan lengannya melingkari pinggang wanita itu dengan penuh kelembutan. Viana membiarkannya. Ia berbaring membelakangi pria itu, memejamkan mata meski pikirannya tetap penuh tanda tanya. Detak jantung Evan terasa stabil di balik punggungnya, menciptakan irama pelan yang seharusnya menenangkan. Namun ketenangan itu tidak berhasil menembus dirinya. “Jangan pikirkan apa pun,” bisik Evan di dekat telinga Viana, seolah tahu apa yang dirasakan wanita itu. “Jalani harimu dengan tenang, dan ingatlah selalu bahwa aku mencintaimu.” Viana ingin percaya. Ingin sekali mengiyakan kata-kata itu, meresapinya hingga rasa ragu yang membekas bisa menghilang. Tapi perasaan kosong di dalam dadanya tak kunjung pergi. Hening menggantung di antara mereka. Evan tidak berkata apa-apa lagi, tapi pelukannya tetap erat. Beberapa menit berlalu, hingga akhirnya Evan berbisik lagi. “Kuharap kau tidak pernah mengingat semuanya.” Tubuh Viana menegang sejenak. Ia membuka matanya perlahan, menatap dinding putih yang membentang di hadapannya. Jantungnya berdebar, tapi ia tetap diam. Tak ingin menunjukkan bahwa ia mendengar kalimat itu, dan bahwa benaknya kini dipenuhi lebih banyak pertanyaan daripada hari-hari sebelumnya. Kenapa Evan berharap ia tetap lupa? Apa yang sebenarnya terjadi? *** Malam harinya, Evan duduk di ujung meja makan, mengenakan kemeja biru tua yang mempertegas sorot matanya. Di ujung lain, Viana duduk di kursi roda, mengenakan gaun tidur panjang berwarna putih gading pilihan Evan. Rambutnya diikat rapi oleh pelayan, dan wajahnya masih pucat meski sedikit lebih segar dari siang tadi. “Makananmu cukup?” tanya Evan sambil menatap Viana dengan lembut. Viana mengangguk pelan. “Cukup. Terima kasih.” Evan tersenyum hangat. “Kalau tidak suka menunya, kau hanya perlu bilang. Aku bisa minta pelayan menyiapkan yang lain untukmu.” “Tidak perlu,” jawab Viana cepat. Ia menunduk, lalu meraih sendok perlahan. Evan memperhatikannya dengan saksama. Ia mengambil potongan kecil salmon dari piringnya, lalu berkata pelan, “Kau tahu, waktu kita pertama kali makan malam di ruangan ini, kau bilang interiornya terlalu dingin. Lalu keesokan harinya kau mendekorasi ulang semuanya.” Viana menghentikan gerakan tangannya, lalu menatap Evan dengan heran. “Aku melakukan itu?” tanyanya, tak menyangka. Evan mengangguk. “Kau yang memilih taplak baru, mengganti kursi dan meja makan, bahkan mengganti lukisan yang menggantung di dinding sana,” katanya sambil melirik dinding di belakang Viana. “Kau suka sesuatu yang terasa hidup, bukan terlalu kaku.” Viana menoleh, memperhatikan lukisan bunga besar yang mendominasi sisi dinding. Lagi-lagi rasa asing menggigit di dalam dadanya. “Aku juga tak bisa mengingat itu,” desah Viana. Evan tak langsung menjawab. Ia menaruh sendoknya, lalu menyandarkan diri di kursi. Ia tersenyum tipis. “Tak masalah, Viana. Aku ada di sini untuk mengingatkan semua hal yang kau lupakan… satu per satu.” Viana menatap pria itu dalam diam. Ia ingin percaya, tapi hatinya tetap menyimpan tanya. Beberapa menit berlalu dengan suara alat makan yang terdengar lembut. Hingga akhirnya, Evan meletakkan serbetnya di meja dan memecah keheningan. “Sayang,” ucapnya serius. “Ada hal penting yang ingin kubicarakan.” Viana menegakkan punggung, tatapannya berubah sedikit waspada. “Apa?” Evan mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya hangat namun dalam. “Tentang pernikahan kita.” Viana menegang. “Apa maksudmu?” “Aku tahu… saat ini semuanya masih terasa asing bagimu. Rumah ini. Aku. Bahkan identitasmu sendiri.” Evan berhenti sejenak, lalu melanjutkan. “Tapi pernikahan kita bukan hal yang main-main. Kita pernah melewati banyak hal bersama. Dan aku ingin memperjuangkannya lagi.” Viana terdiam, napasnya hampir tercekat. “Kau mungkin tidak merasakan apa pun sekarang,” ucap Evan pelan. “Tapi aku ingin mencoba membuat kau jatuh cinta padaku… untuk kedua kalinya.” Kata-kata itu menyentuh Viana dengan cara yang tak terduga. Di satu sisi, ia masih diliputi rasa curiga. Tapi di sisi lain, perhatian Evan mulai menggoyahkan pertahanannya. Meski semuanya masih terasa asing, tak bisa ia pungkiri bahwa perlahan hatinya mulai terbuka. “Aku tahu ini sulit,” lanjut Evan. “Tapi bisakah kau memberiku kesempatan?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN