PART 14 - MENGINTIP.

2383 Kata
Tidak pernah Jihan bermimpi jika ia akan mendapat side job menjadi pesuruh dalam tanda kutip. Kalau yang disuruh adalah pekerjaan kantor, mungkin sudah biasa, tapi ini jauh dibilang biasa. Mungkin luar biasa! Perasaan Jihan minggu lalu dia masih biasa berkerja di kantor ini. Oh jelas, semua berawal dari makan malam di restoran itu. Andai Arga tidak membawanya ke restoran malam itu, andai tidak ada drama Ivan dan Gladys saling ribut dan pertunangan mereka tercerai berai, mungkin Jihan akan seperti bulan-bulan lalu, bekerja hanya sebagai receptionist. Walau bagaimanapun, Jihan berharap hari ini adalah hari terakhir ia berurusan dengan sang atasan. Bukan apa, sudah dibantu tapi suasana wajah atasannya ini mirip suami yang gak dapat jatah dari istri. Gak dapat jatah dari istri? Itu biasa Jihan dengar dari para satpam di sekitar mejanya. Jika ada karyawan yang datang dengan muka ditekuk pasti dapat ejekan gak dapat jatah dari istri. Entah jatah apa, Jihan gak mengerti. Anggap dia yang paling polos dari yang lain. "Kamu gendong keponakan saya!" Tuhkan, memberi perintah saja sudah seperti dia pesuruhnya. Please deh! Jihan mendengus dalam hati. Haruskah Jihan beritahu apa pekerjaannya? Dia ini receptionist yang bekerja dibalik meja di lobby kantor, dan pekerjaannya menyambut tamu yang membutuhkan informasi, atau menyambungkan line telepon. Bukan gendong anak, suapi anak dan menemani atasannya ke super market begini? Jihan menatap David. Bocah dengan pipi chubby dan sering menepuk pipinya demi memusatkan atensi perhatian miliknya, jika sedang berada dalam gendongan Jihan. "Te!" Suara David terdengar sambil menunjukkan sekotak s**u yang sudah habis ia minum pada Jihan. Tak tega juga jika anak ini berjalan sendiri atau digendong Unclenya. Apalagi romannya anak ini mengantuk. Jadilah setelah turun dari lobby dia gendong David yang kali ini anteng dan terlihat nyaman di gendongannya. Mungkin sudah kenyang dan lelah. Sementara Ivan menuntun Mauren. "Tante Jihan ikut ke atas ya!" ucap Mauren dengan penuh semangat. Jihan tidak menjawab, alias menunggu perintah atasan. Ya kali yang ajak keponakannya, tapi unclenya melarang, terus ia langsung jawab iya gitu! Aslinya Ivan kesal bukan kepalang, ketika pertanyaan Jihan serasa memukul telak jiwanya. Tripikal cowok yang susah dapat pasangan? Bahkan Ivan tak bisa membalas ucapan gadis itu. Ia hanya diam sambil masuk ke dalam mobil dan membawa mereka pulang ke gedung kantornya. Kembali penampakan indah menyapa mata Diah dan Lani. Bukan hanya keduanya, tapi juga yang ada di lobby siang ini. Hampir semua karyawan dan karyawati menatap mereka berempat yang seperti keluarga kecil. Astaga! Jihan malu sekali. Tapi keluarga kecil kan gak kayak gini? Ivan berjalan di depan dan dia terseok-seok menggendong David. "Kamu bawa David ke ruangan saya," titah Ivan dengan kepala menoleh ke belakang. "Baik Pak." Jihan gak bisa menolak bukan? Ketika melewati meja kedua temannya, Jihan hanya meringis. "Ya ampun sejak kapan Jihan merangkap jadi baby sitter?" Lani tertawa terbahak. "Akhir bulan gaji dia nambah hahaha." "Huss, nanti kedengeran Pak Ivan berabe." "Kalau aku lihat sih Jihan itu dekat Pak Ivan antara berkah dan musibah." "Maksudnya?" "Berkah karena bisa menikmati wajah tampan Pak Ivan, dan musibah karena harus gendong anak itu kemana-mana. Semoga badan Jihan gak makin pendek ya hahaha." Dasar teman b******k! Diah menggeleng. Andai Jihan tahu, bagaimana Lani menggosipkan Jihan hari ini. Diah dan Lani hanya membalas senyum Jihan dari kejauhan. Mereka bisa melihat raut wajah Jihan yang nelangsa sekali. Mungkin di antara karyawan yang lain, Jihan mendapat durian runtuh karena bisa dekat dengan atasan mereka, tapi ucapan Lani bisa jadi diaminkan Jihan. Nyatanya bagi Jihan ini bukan berkah, tapi musibah! Ivan membuka ruang kantornya. "Masuk," titahnya pada Jihan dengan mengkode gerakan kepala. Masih dengan posisi menggendong David, Jihan masuk dengan napas lega. Berharap bisa segera meletakkan David di sofa, karena ia sungguh letih sekali. Lumayan gendong anak ini sejak dari lobby. Baru dua langkah ia masuk, tiba-tiba ia mematung. Tepatnya ia terpaku. Pasalnya sepasang netra miliknya menangkap sosok lain yang ada di dalam ruangan. Sesosok tubuh yang langsung berdiri ketika mendengar suara pintu terbuka. Sesosok tubuh yang memiliki tubuh tinggi dan bisa dibilang sangat cantik dengan dandanan yang elegan. Lihatlah, rambutnya saja tergerai indah, belum lagi sepasang kaca mata hitam yang membingkai di wajahnya. Pun dengan dress selutut berwarna gading, yang sontak menampakkan kakinya yang jenjang. Apalagi ditunjang dengan sepatu sewarna dengan dressnya yang Jihan yakini setinggi sepuluh centi. Jihan berdecak dalam hati. Cantik. Wanita bernama Gladys ini memang cantik paripurna. Ya, wanita yang kini menatap kedatangan Jihan dan Ivan adalah Gladys, mantan tunangan Ivan, yang telah dengan santainya melempar cincin berlian bak melempar karet gelang. Padahal kalau dikasih pun, Jihan tidak keberatan. Berlian? Bahkan ia tak pernah memakai perhiasan semewah itu. Ivan nyaris menabrak tubuh Jihan yang mematung di tempatnya. Barulah setelah menyadari kemana arah pandang Jihan, Ivan menemukan sosok sang mantan kekasih. "Gladys?" Suara Ivan terdengar di gendang telinga Jihan. "Ivan, aku mau bicara." Gladys, wanita cantik itu memang sejak tadi datang dan diminta menunggu di dalam oleh sekretaris Ivan, yang kini tengah ke toilet. Sengaja, wanita ini ingin menemui lelaki yang sudah ia kecewakan malam lalu. Mata gadis itu lalu memindai Jihan yang tampak kerepotan sekali dengan bocah yang Gladys tahu adalah keponakan dari Ivan. Ia pernah beberapa kali bertemu Suci dan Gavin. Namun ia tidak mengenal wanita yang kini berdiri di samping Ivan. Gladys hanya tahu jika wanita ini pasti salah satu karyawan Ivan. "Dia ini ...." Gladys menggantung kalimatnya. "Karyawan aku bagian receptionist di bawah." "Oh." Gladys mengangguk. Ivan menoleh ke Jihan. "Jihan, kamu tolong jaga keponakan saya, bawa mereka ke kamar sebelah." "Kamar sebelah?" Jihan sudah tersadar dari keterkejutan dan kini mendadak bingung. Memang ada kamar? Masa kamar mandi sih? "Ke kamar mandi pak?" Tega amat sih keponakannya suruh ke kamar mandi gara-gara dia mau ketemu sama mantan tunangannya. Bukannya mereka udah putus ya! Apa mau balikan lagi? Tapi cantik sih emang Bu Gladys ini, cantik banget malah! "Aish, bukan! Itu ada kamar pribadi saya, kamu temani mereka di sana sampai Suci datang. Atau kamu lebih suka kamu di kamar mandi?" Geram sudah Ivan jadinya. Ya ampun! Aku kan cuma tanya! "Itu disana," unjuk Ivan pada sebuah pintu. "Itu bukan kamar mandi?" tanya Jihan lagi dengan wajah bingung. "Ck, yang sebelah kiri, bukan yang kanan. Sebelah kiri kamar pribadi saya. Sebelah kanan itu kamar mandi. Terserah kamu , mau bawa mereka ke mana." Lah kok! "Oke." Jihan mengangguk dan menoleh pada Muaren. "Mauren kita ke sana yuk." Mauren mengangguk. Ia hanya melirik sebentar pada Gladys. David apalagi, seolah kehadiran wanita itu tak berarti, ia justru mengeratkan pelukan ke leher Jihan. Jihan membuka pintu dan ia berkata wow di dalam hati. Ternyata dibalik pintu ini ada sebuah kamar yang luas dan- "Hore! Kita bisa bermain di sini!" Mauren sudah melompat-lompat di atas ranjang, David pun ikutan tak sabar ingin lepas dari gendongan Jihan. Jihan bergegas meletakkan David di atas ranjang. Hah! Capek juga gendong ini anak. Jihan merenggangkan kedua tangannya. Lalu ia ikutan duduk di pinggir ranjang. Menikmati bagaimana kasur yang ia duduki ini terasa lembut sekali. Mungkin kasur ini harganya mahal ya, enak banget di duduki, apalagi kalau aku tidur di sini juga ya. Bisa-bisa aku gak pernah mimpi buruk ini sih! Jihan kembali teringat pada wanita bernama Gladys tadi. Kira-kira Pak Ivan itu kalau bicara sama kekasihnya bicara apa ya? Seketika rasa penasaran menerpa Jihan. Gak apa kali ya aku dengar sedikit, daripada penasaran. Tapi kalau mereka sedang- ah! Mana mungkin sih! Mereka kan sudah putus gara-gara kejadian di restoran itu. Jihan menggeleng keras. Seharusnya Jihan tahu jika atasannya tak suka digosipkan, dan seharusnya Jihan menyadari jika perbuatannya ini salah. Tapi lagi-lagi rasa penasaran begitu besar di dalam d**a Jihan. Jadilah ia membuka sedikit pintunya, dan ia melihat kedua orang itu tengah berbincang. "Mau apa kamu kemari?" Nada suara Ivan tampak tak suka akan kehadiran gadis ini. Ia pikir ia tak akan bertemu wanita ini lagi setelah kejadian kemarin. Walau Ivan tetap berencana ke rumah orang tua Gladys, tapi tidak untuk bertemu gadis ini. Melainkan bertemu kedua orang tua gadis ini dan bicara baik-baik memutuskan ikatan mereka. "Aku mau memutuskan pertunangan kita." Ucapan Gladys tampak tegas. Siapa sangka, Ivan justru terkekeh. "Bukankah memang sudah putus?" Wajah lelaki itu bahkan sedikit miring. Memperlihatkan raut wajah yang setenang telaga. Jihan yang menyaksikan drama di depannya jelas heran. Mereka putus kok nyantai ya? Apa gak ada lagi aksi bentak-bentak kayak kemarin di restoran? Yah! Gak seru dong! "Aku serius, Ivan. Aku gak ingin ada drama dengan berakhirnya pertunangan kita." Tatapan Ivan tetap menghunus tajam ke arah Gladys. Gladys menunduk, tak kuasa membalas. Ia tahu ada tatapan kecewa di sana. Pada sepasang mata yang selama ini ia sebut tunangannya, sebelum kejadian di restoran itu. Ia sadar, kesalahan memang berasal darinya. "Aku minta maaf, aku yang salah. Aku gak setia karena-" "Stop!" Suara Gladys terbungkam ketika Ivan mengangkat telapak tangannya ke udara. "Silahkan kamu tinggalkan tempat ini." Tampaknya Ivan benar-benar tak ingin membahas hal itu lagi. "Kedua orang tua aku gak mengerti Van." Air mata Gladys menganak sungai. "Mereka murka karena aku begitu bodoh melepasmu, tapi demi Tuhan. Aku gak bisa menjalani hubungan seperti ini. Aku butuh dicintai, bukan hanya pelampiasan semata." Hah! Pelampiasan? Maksudnya apa ya? Jihan membuka telinganya lebar-lebar. "Ck, kamu tadi bilang gak ingin ada drama kan Dys?" "Kamu gak bisa salahkan aku dengan berakhirnya hubungan kita, kamu yang gak bisa jadi pasangan yang baik buat aku, Van. Tapi aku yang kini menjadi wanita yang b******k dimata keluarga aku." Ivan mengusap wajahnya kesal, dan secara tak sengaja ia menoleh ke arah-astaga! Matanya bertemu mata Jihan yang mengintip dengan celah pintu kamar yang terbuka sedikit, tapi mampu memperlihatkan tiga kepala yang menyembul di sana. "Kalian sedang apa?" tanya Ivan geram setengah mati. Bayangkan, ada yang mengintip di sana! Dan siapa lagi kalau bukan karyawan yang keponya luar biasa! Jihan mengerjap. Ia tahu pertanyaan itu untuknya. Tapi kenapa pakai kata kalian? Spontan dia menunduk. Lalu menutup mulut. Astaga! Ternyata, Mauren dan David ikutan mengintip dan Jihan tidak tahu. Kok bisa! Dengan cepat Jihan menarik dua keponakan atasannya itu dan menutup pintu. "Kalian ngapain?" tanya Jihan dengan wajah merah menahan malu karena sudah tertangkap mata sedang mengintip. "Aku melihat Tante mengintip dan aku mau tahu." Mauren menjawab dengan tanpa dosa. Jihan melirik David, dan menemukan anggukan dari wajah David. Arrgh! Jihan jadi malu. Melihat pintu itu tertutup sempurna, Ivan kembali menoleh pada Gladys. "Kamu ingin hubungan kita berakhir, ya sudah aku gak akan nahan kamu kok. Silahkan kamu lanjutkan hubungan kamu dengan lelaki itu." Gladys tersenyum miris. "Bagaimana mungkin kita bisa tunangan sih Van. Jelas-jelas kamu gak cinta sama aku." Ivan mengumpat dalam hati. Mungkin sudut hatinya membenarkan. Tapi haruskan dibahas lagi masalah cinta di antara mereka. "Jangan bicara tentang cinta di antara kita Gladys. Terlalu agung kata itu kamu ucapkan. Bahkan kamu sendiri ... aku rasa gak tahu apa makna cinta." Menggeleng sambil menyeka ke dua sudut matanya, Gladys kembali berucap. "Aku sudah berusaha Ivan." "Aku sudah berusaha meletakkan hati aku sama kamu selama ini." "Sampai aku berharap kita benar-benar bisa sampai ke pelaminan." "Tapi semakin kemari aku semakin yakin hubungan kita begitu hambar. Astaga!" Gladys kembali menatap mantan kekasihnya dengan pilu. "Kenapa sih Van, kamu tawarkan sebuah hubungan sama aku, kalau nyatanya kamu sendiri gak menerimanya dengan sepenuh hati." Ivan terdiam. "Ada gitu tunangan, tapi kamu gak ada waktu sama aku. Kamu gak pernah rindu sama aku, gak pernah peduli aku sakit atau gimana. Pernah gak sekali aja kamu bilang kamu cinta sama aku, gak kan Van?" Astaga! Memang mereka anak kecil yang harus selalu mengumbar kata cinta? "Ketika kita tunangan, aku merasa aku menjadi wanita yang paling beruntung, karena kamu memilih aku di antara wanita yang antri di luar sana." Ada sedih tersimpan di dalam hati Gladys, ketika menyadari jika hubungannya semakin aneh dengan Ivan. Itu sebabnya ia menerima kasih sayang dari lelaki lain. Lelaki masa lalunya yang dulu sempet terlerai karena LDR. Mereka bertemu dan menjadi dekat. Bahkan dekat sekali, hanya dalam jangka waktu tiga bulan! Tepatnya setelah ia resmi menjadi tunangan Ivan. Lelaki itu lebih memberi perhatian pada Gladys yang tak pernah ia dapatkan dari Ivan. Mata Gladys menatap mata Ivan dengan seksama. "Jangan-jangan yang aku dengar benar ya Van." Senyum miris itu tercipta. "Kamu masih terjebak cinta sama kakak ipar kamu itu." Ivan kian kesal mendengarnya. "Gladys, aku gak memaksa kalau kamu memang ingin hubungan kita berakhir. Silahkan pintu keluar ada di sana." Kesal, Gladys memukul d**a Ivan sekencang-kencangnya. "b******k kamu Ivan, kalau kamu gak keberatan kita putus, kenapa kamu pukuli kekasihku?" Oh, Ivan meradang. Jadi tunangannya ini mengakui memiliki kekasih di saat masih berstatus sebagai tunangannya? Bagus sekali. "Jadi kamu kemari itu sebenarnya mau protes karena hubungan kita putus, atau karena aku sudah menghajar kekasihmu? Air mata ini bukan karena hubungan kita putus kan?" Ivan kini yang gantian tersenyum miris. "Bagaimana kondisinya?" Alis Ivan saling tertaut dengan posisi berdiri melipat kedua tangan di depan d**a. "Dia tidak parah kan? Aku masih berpikir untuk memberinya pukulan yang lebih kencang." Napas Gladys turun naik. "Kau benar-benar tidak memiliki perasaan, Ivan." "Oh ya? Aku tidak memiliki perasaan? Bagaimana denganmu? Kau tidak bisa memilih restoran yang lain selain restoran itu? Kau tahu itu milik sahabatku! Atau kau sengaja? Mau membuat skandal hebat?" PLAK! Sebuah tamparan mengenai pipi Ivan. Sekuat tenaga Ivan terdiam, berusaha untuk menjaga emosinya agar tidak muntah. Oke, jadi hari ini, pipinya mendapat balasan karena ia menghajar lelaki itu? "Aku benar-benar menyesal mengenalmu, Juan Ivander Collins!" Gladys beranjak keluar keluar ruangan kantor Ivan. Tak lupa dengan membanting pintu. Ivan menghembuskan napas kesalnya. "Hebat! Dia yang salah! Dia yang merasa tersakiti. Dasar wanita! Dipikir aku gak nyesel apa tunangan sama dia!" Saat ini Ivan ingin sekali menghajar orang! Tangannya mengepal dan ia meninju mejanya dengan kesal. Impiannya memiliki pasangan musnah. Dan ia paling tidak suka pada wanita yang selingkuh ketika masih menjalin kasih dengan satu laki-laki. Seharusnya mereka putus baik-baik, baru Gladys menjalin kasih dengan orang lain, tidak seperti ini. Pakai alasan bawa-bawa Suci lagi! Kembali ia menghembuskan napas, menguar rasa kesal. Teringat sesuatu, mata Ivan melirik lagi pintu di samping. Kali ini tertutup rapat. Ini lagi, pakai acara mengintip! Pake bawa-bawa Mauren dan David lagi! Pasti dia mau buat gosip di kantorku. Lalu Ivan melangkah ke arah pintu, di mana tadi Jihan, Mauren dan David mengintip. Membuka perlahan dan Ivan terpaku. Di sana, di atas ranjangnya ketiga sosok tubuh tampak terlelap tidur. "Astaga!" Sepertinya Ivan harus kembali mengatur emosinya yang mendadak naik. Bagaimana bisa gadis itu tertidur lelap, di kasurnya pula!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN