Ada seorang perempuan di sebelah Danu. Pakaiannya sangat tidak sopan untuk seorang gadis yang belum menikah. Dilihat dari penampilan mereka berdua yang berantakan, orang-orang memastikan jika laporan yang mereka dengar bukanlah laporan sembarangan.
Danu menatap dengan kelopak mata terkulai ke arah Pak Sito, pria berkumis putih, berbicara melalui sorot mata menyalahkan tuduhan atas dirinya.
"Saya berani bersumpah, saya tidak pernah melakukan hal-hal tidak terpuji seperti itu, Pak."
Seusai menjadi tontonan warga, Danu di bawa ke kantor desa untuk diinterogasi. Bukti-bukti yang ada telah mengarah kepadanya, bahkan sebuah tanda pengenal milik Bangsawan Atmawijaya yang didapat di rumah bordir desa sebelah.
"Beberapa malam lalu Raden Mas Danu datang ke rumah bordir dan memberi benda ini," kata Pak Sito menyodorkan kayu berbentuk persegi panjang dengan ukiran lambang Bangsawan. Siapapun tahu jika ukiran bunga melati dengan dua daun adalah lambang milik Bangsawan Atmawijaya.
Danu tercekat, bibirnya meringis entah bagaimana untuk membuktikan ketidak bersalahan dirinya dalam hal ini.
"Den, saya menghormati keluarga Atmawijaya sejak dulu. Jujur, saya sangat sulit mempercayai hal ini, tetapi bukti-buktinya menunjukkan kejadian ini bukanlah kebohongan."
Danu menenggelamkan wajahnya ke dalam telapak tangan, mencoba mengingat kejadian semalam yang sama sekali tidak dia ingat. Kapan perempuan itu datang pun Danu tidak tahu kapan. Terlebih lagi, dirinya bangun dengan rasa pusing yang amat menyiksa, tubuhnya seperti habis diputar-putar dalam waktu yang cukup lama.
"Saya sama sekali tidak ingat apa yang terjadi," lontarnya tanpa memandang Pak Sito. Wajah lusuhnya masih tersembunyi di balik telapak tangan, dan deru napasnya terdengar kasar.
"Saya khawatir sama keadaan Bapak." tiba-tiba saja punggungnya bersender dengan pukulan keras, kemudian menggosok wajahnya frustrasi menggunakan tangan kanan.
"Beliau baik-baik saja, Den. Jangan khawatir. Yang terpenting, Raden harus mencari bukti lain untuk melawan tuduhan ini."
"Pak Sito tahu siapa pelapornya?"
Pria yang memiliki kerutan di ekor matanya menggeleng, membuat Danu menghela napas berat.
Danu yakin kejadian ini sudah dirancang matang-matang melihat adanya laporan yang dibuat seseorang dan perempuan bayaran di gubuknya semalam. Dia juga yakin tanda pengenal miliknya telah dicuri dan digunakan untuk sesuatu yang buruk seperti, datang ke rumah bordir dan menyewa perempuan malam.
Siapa? Siapa yang begitu dendam padaku?
•••
Kasus yang menimpa Danu belum memiliki titik terang. Pria itu tidak menemukan bukti untuk menyangkal tuduhan tersebut. Bahkan beberapa saksi seperti pemilik rumah bordir, menolak untuk memberikan keterangan. Perempuan yang malam itu menyelinap di gubuknya, menghilang setelah dibebaskan karena terbukti jika dia hanya perempuan sewaan. Sementara si pelapor masih belum ditemukan. Dia seperti angin lewat yang hilang tanpa meninggalkan jejak.
Derap langkah terdengar begitu jelas hingga membangunkan Danu dari lamunan. Langkah-langkah kaki itu semakin mendekat, membuat Danu beranjak dari duduk lalu menghadap pintu.
Dimas Harjusono, pelayan pribadinya masuk dengan wajah pucat. Mulutnya terbuka mengambil napas, sementara keningnya mengerut karena lelah berlari.
"Ada apa, Mas?"
"Bapak, Den," sahut Dimas terbata-bata. Dia melanjutkan, "Bapak sedang sakit."
Wajah Danu memucat setelah mendengar kabar itu. Dia merasa tubuhnya menjadi lemas dan dadanya mendadak nyeri. Kedatangan Dimas dengan langkah terburu-buru bukanlah sesuatu yang baik. Ketika pria berusia dua puluh tahun itu mengatakan keadaan ayahnya, Danu yakin jika ayahnya dalam kondisi yang amat buruk.
Dia lantas kembali dengan menunggang kuda yang dibawa oleh Dimas, memacunya secepat mungkin sebelum semuanya semakin buruk.
Kondisi ayahnya yang memburuk, Danu yakin sang ayah terlalu memikirkan berita tentang dirinya akhir-akhir ini. Hal itu membuat Danu semakin marah dan menaruh dendam kepada orang-orang yang menjebaknya.
"Ha!" teriaknya sembari mengayunkan tali yang terhubung dengan kepala kuda, kemudian menghentakkan pijakan kaki dan membuat kudanya berlari semakin kencang.
Saat ini Danu tidak boleh terlambat. Setidaknya dia harus mengatakan yang sejujurnya, jika semua yang terjadi tidaklah benar. Danu harus mengatakan hal itu sebelum sang ayah pergi dengan kekecewaan.
Saat tiba di halaman rumah, kerabat beserta orang-orang di sekitar rumahnya memiliki ekspresi yang sama. Wajah mereka sembab dan matanya basah karena air mata. Perasaan Danu menjadi tidak karuan.
"Mas ...." Wanita di depan pintu menggeleng dengan kedua mata berlinang. Dia kemudian menunduk sebelum tangisnya pecah.
Danu menerobos masuk dan melihat tubuh ayahnya sudah tidak merah lagi. Wajahnya pucat dan tubuhnya kaku di balik kain jarik yang menyelimuti.
"Bapak ...."
•••
Bulan yang dianggap sebagai waktu untuk mensucikan diri bersama Dewa itu justru menjadi bulan yang paling tidak adil bagi Danu. Dia dituduh melakukan perzinaan di tengah-tengah ritual suci, dan kehilangan sang ayah, satu-satunya keluarga yang dia miliki.
Jika semua ini berawal dari tindakannya beberapa minggu yang lalu, apa yang menimpanya sekarang adalah sesuatu yang sangat salah. Pria itu hanya melakukan apa yang harus dilakukan demi kebaikan bersama, bukan hanya untuk dirinya sendiri. Namun, buah yang didapatkan Danu justru sangat berbanding terbalik.
Pisau di genggamannya bersinar karena cahaya bulan. Kelap-kelip arus sungai pun tampak indah di bawah sapuan sinarnya akibat hembusan angin malam yang menciptakan sebuah gelombang kecil.
Di dekat batu besar di pinggir sungai, Danu terisak, menjatuhkan beberapa bulir air mata hangat yang membasahi bebatuan kerikil.
Orang-orang berubah menjadi sekumpulan manusia yang menutup mata, sementara Dewa tidak lagi menunjukkan keberadaanya. Danu yakin apa yang sudah terjadi tidak luput dari ijin para Dewa dan dia meyakini jika dunia yang ditinggalinya sekarang sudah tidak sesuci dulu.
"Lihat baik-baik apa yang akan kulakukan di bulan yang suci ini!"
•••
Danu yakin semalam dengan menggunaan kedua tangannya, dia menusukan pisau tajam ke jantungnya sendiri. Bahkan ketika ujung pisau tersebut baru menembus kulit, bisa dirasakan rasa sakitnya.
Darah hangat dan berbau amis mengalir, dan ketika tangannya menekan lebih dalam, pisau itu semakin tertanam, membelah dadanya yang lebar dengan kedua tangan lemas karena kesakitan.
Danu bangun sembari meraba dadanya, berharap menemukan sebuah pisau yang tertanam di d**a. Namun, dia tidak menemukan apapun, pisau atau bahkan luka bekas tusukan.
"Apa yang terjadi?" Danu bertanya-tanya dengan kebingungan yang luar biasa.
Seharusnya dia sudah mati akibat jantung pecah dan kehabisan darah. Namun, mengapa semua yang dilakukannya semalam seperti sebuah mimpi?
Tangannya mendorong di belakang, bertumpu pada batu-batu kecil untuk bisa berdiri. Namun, tepat di mana tangannya berada, Danu merasakan sesuatu yang basah dan lengket. Ketika dia menarik tangan dari sana, cairan lengket berwarna merah hati Itu melumuri telapak tangannya.
"Da-darah!" Danu terperanjat, kemudian segera menjauh sebelum berbalik dan menemukan ceceran darah yang hampir mengering. Seorang wanita tergeletak di sana. Dengan posisi miring, kedua tangannya saling menumpuk.
"Ayu?"
Keningnya mengernyit, melihat wajah perempuan yang tak lagi memancarkan sinar. Kulitnya pucat, hampir berubah menjadi biru. Matanya sedikit terbuka dan terlihat sedih, sedangkan bibirnya yang kering tak sepenuhnya menutup, seolah hingga kematian tiba, dia merintih sakit.
"Ayu! Ayu!"
Danu merangkak, kemudian mengangkat tubuh perempuan bernama Ayu tersebut untuk segera direngkuh.
Pisau yang semalam menembus jantungnya, kini terbenam hingga pangkalnya di d*da Ayu. Merobek pakaian perempuan berambut panjang itu hingga dilumuri darah di banyak bagian.
"Ayu ...."
Danu tidak tahu kenapa berakhir seperti itu, Ayu mati sementara dirinya sehat walau dia berusaha membunuh dirinya sendiri.
Wanita yang dicintainya itu tak lagi menanggapi, bahkan ketika Danu berkata, "Baiklah, ayo kita pergi jauh dari desa ini ...." Ayu bergeming, tetap dalam posisinya yang tidak bernyawa.
Dewa tidak memberi pertolongan ketika Danu membutuhkan bukti untuk menyangkal tuduhan perzinahan yang ditujukan padanya secara tidak adil. Dewa pun tidak mendengar ketika dia di bertemu dengan sang ayah untuk terakhir kalinya. Namun, Dewa yang maha adil itu memberi sebuah pukulan ketika dirinya hendak memberontak. Mengambil satu-satunya wanita yang Danu cintai.
Giginya menggertak, pukulan di dadanya yang terasa amat menyakitkan semakin menumpuk dan tumbuh menjadi kebencian kepada Dewa. Dia dicurangi, seolah yang terjadi adalah akibat dari perbuatannya.
"Dunia ini hanya omong kosong. Dewa tidak pernah ada. Dewa tidak lain hanyalah suatu yang tidak memiliki keadilan!"
Danu mungkin sudah menata dinding batu dalam dirinya, mengurung nurani yang orang-orang sebut sebagai hati. Menghentikan diri untuk mempercayai siapapun, termasuk Dewa yang semena-mena.
Dengan perasaan bergemuruh, Danu menumpuk batu-batu di atas tubuh Ayu. Menutupinya hingga menciptakan sebuah bukit batu dan akan dia ingat seumur hidup.
•••
Tahun 2019.
Enam ratus tahun berlalu, Danu tidak menyangga jika dirinya akan hidup selama ini. Ketika anak dari anak-anak yang dulu masih bersikap seperti kucing menggemaskan kini telah melahirkan beberapa keturunan, Danu masih tetap dengan tubuh dua puluh tahunnya.
Ketika gunung menjadi laut dan lautan menjadi gunung, pria yang dihukum secara tidak adil itu tidak menua sama sekali. Hidup membangun sebuah rumah di atas bukit batu yang dia ciptakan dulu, membawa kenangan pahit beserta dendam yang sia-sia.
•••
Sudah hampir pukul delapan pagi, tetapi Monica tak juga menerima panggilan maupun pesan dari Risa. Padahal perempuan itu sudah berjanji, dia akan mengabari Monica setibanya di Bukit Awan. Namun, Monica dibuat menunggu selama berjam-jam.
"Katanya mau ngabarin, tapi sampai sekarang masih belum menelponku. Risa atau Rendi, mereka berdua beneran bikin kesel." Monica menggenggam erat ponselnya, menunjukkan betapa kesal dirinya saat ini.
Saat Monica menghubungi Risa, perempuan yang memiliki tahi lalat kecil di dekat ekor matanya tengah berkutat di meja dapur, merapikan beberapa alat yang berantakan setelah baru saja dia menyiapkan sarapan.
Ponsel Risa terus bergetar di atas meja di dalam kamar tanpa diketahui, hingga si penelepon, Monica mengakhiri panggilannya setelah dua kali terabaikan.
"Ah, sumpah! Awas saja kalau banyak alasan!" Monica berteriak keras, lalu membuang napas beberapa kali.
Monica hanya khawatir, apakah sahabatnya baik-baik saja atau tidak, apakah Risa bisa tidur nyenyak atau tidak, dan yang lebih penting adalah, apakah majikan Risa adalah orang baik?