Bali dengan segala keindahannya.
Terletak di tepi Pantai Jimbaran, salah satu pantai paling memesona dan tenang di sana. Bumantara Resort Bali berdiri di dekatnya menjadi monunen ikonik dengan ciri kemewahan yang berpadu ketenangan alam.
Yeah ... Seruni dan Jagat telah tiba.
Tak ada pemberitahuan bahwa Seruni—putri pimpinan BM Group atau yang selama ini disebut Bumantara Corp—akan bertandang. Seruni yang meminta agar prosesi bulan madu sekalian kunjungannya bisa berupa sidak-menyidak kinerja di resort. Lebih epic lagi kalau jadi terkesan macam mata-mata.
Sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui. Begitu, kan, peribahasanya?
Lagi pula, sosok Seruni belum diketahui khalayak soal dirinya yang merupakan bagian penting Bumantara Corp. Seruni belum didebutkan, dia masih ada di level bawah sebagai anak magang. Identitasnya sengaja dirahasiakan dari ranah perusahaan.
Makanya itu pernikahan ini pun digelar intimate.
Toh, Seruni bukan publik figur. Yang penting keluarga besar dan beberapa tamu undangan terhormat tahu; terkhusus dari tamu-tamu Atmaja Group. Hanya memang tersiar di media, menjadi tugas Atmaja Group untuk memberitakan soal pernikahan Jagat dan Seruni.
Meski tak tahu siapa Seruni—dari Bumantara Corp, mestinya tahu bahwa Seruni mempelai Jagat, si penerus Atmaja Group.
Seruni menggandeng lengan Jagat, langkahnya masih agak berbeda dari yang biasa Seruni berjalan. Masih ada nyeri-nyerinya. Ini bukan karena dia lebay, kan?
Sesungguhnya memang masih sakit. Terobosan Jagat di malam pertama—kalau mau tahu—bahkan sampai membuat Seruni menangis. Serasa terbelah. You know-lah ....
Begitu masuk kamar hasil check in atas nama Jagat, barulah Seruni melepas gandengannya.
Jagat meletakkan koper.
Seruni langsung rebahan. Ah, tidak. Dia mendekati jendela lebar yang langsung mengarah ke pantai.
Terpampang pemandangan pasir putih lembut dan laut biru yang terpantul sinar cahaya mentari. Percayalah, resort ini adalah karya seni hidup milik Bumantara Corp, perusahaan yang telah dikenal luas lewat keindahan desain furniturnya. Di mana kini ... pasangan Seruni bahkan seseorang yang akan mewarisi perusahaan furnitur itu.
Danapati Jagat Atmaja.
Berapa kali Seruni harus menekan nama itu sejelas-jelasnya hati merapalkan?
Berbaliklah dia.
Seruni mendekati Jagat yang sedang mengutak-atik ponsel.
Cincin di jemari manis Jagat yang langsung menarik perhatiannya, terpasang serasi dengan milik Seruni.
"Mami Kara nanyain kabar kita," tutur Jagat. Kara adalah nama ibundanya, Dikara lebih tepatnya.
Ah, iya. Mertua Seruni.
"Gimana nanyanya?" Duduklah dia di tepi ranjang.
Jagat menyodorkan ponselnya kepada Seruni. Agak tertegun sejenak Seruni dibuatnya. Tanpa perlu diminta, soal privasi itu pudar dengan sendirinya ternyata.
Diterimalah sodoran benda canggih tersebut. Seruni baca isi room chat Jagat dengan maminya.
Mami Dikara: [Apa kabar ini pengantin baru? Kira-kira kapan ajak Seruni nginap di rumah Mami?]
Baru membaca satu pesan saja Seruni sudah melengkungkan senyum.
Jagat: [Kabar baik. Nanti, ya, Mi. Seminggu ini lagi bulan madu dulu.]
"Mas nggak malu?" tanya Seruni, pelan dan terjaga nada suaranya.
"Malu karena?"
"Jujur bilang bulan madu ke orang tua." Seruni scroll isi pesan mereka.
Mami Dikara: [Oh, baiklah. Mami senang dengarnya. Semoga langsung jadi.]
Jadi apa, nih?
Anak?
Ehm.
"Kenapa harus malu?" Jagat letakkan jam tangan di nakas, dia melepas gesper kemudian. Di dalam celana panjangnya ini ada celana pendek lagi, tenang saja.
Seruni menatap raut suami. Benar juga. Kenapa harus malu? Bulan madu adalah hal lumrah bagi pasangan pengantin baru.
Tak Seruni tanggapi, dia cuma terus scroll dan senyum.
Keanggunan Seruni bahkan memancar hanya dengan caranya menggulir ponsel.
Tentunya, Seruni tidak sedang membaca pesan Mami Dikara, tetapi dia tengah mengecek pesan-pesan lain di ponsel Jagat. Tak perlu izin untuk inspeksi jenis ini, kan? Atau harus?
Namun, tidak Seruni lakukan.
Jagat masuk ke kamar mandi.
Galeri pun bersih. Hanya foto-foto pemandangan. Tidak ada yang membuat Seruni sedih dari isi ponsel suami. Jagat betulan bersih seperti yang orang bilang.
Dia laki-laki yang konon belum pernah berpacaran.
Karena tak ada apa-apa, Seruni letakkan ponsel Jagat di nakas dekat jam tangan.
Dasar.
Untuk apa Seruni bertindak macam ini? Seolah tak memercayai Jagat sepenuhnya, padahal sudah bertahun-tahun bersama, memangnya mau mencari tahu yang bagaimana lagi?
Ah, tidak.
Ini bukan karena tidak percaya, Seruni hanya ingin melaksanakan haknya dalam menghapus batas privasi dengan pria yang sudah mereguk keintiman dirinya.
Jagat juga boleh kalau mau.
Ponsel Seruni bebas untuk lelaki itu telusuri.
***
"Ternyata Bumantara adalah salah satu klien tetap Luxe, ya?" ucap Jagat, menyentuh lemari yang berukir logo Luxe di sana.
Tak hanya lemari, kursi dan furnitur lain pun dari Luxe naungan Atmaja Group.
"Super loyal kesetiaannya, kan?" tanggap Seruni. Hanya produk Luxe yang dipakai oleh Bumantara Corp.
Jagat menyungging sebelah bibir, bukan sedang mengejek. Santai saja. "Persahabatan orang tua terdahulu."
Betul.
"Sepertinya memang almarhum kakek aku sedekat itu sama mendiang Kakek Uyut Atma."
"Iya. Kalau nggak, mana mungkin kita dijodohkan?" timpal Jagat.
Ada benarnya.
"Boleh aku jujur, Mas?" Seruni meletakkan bantal di atas pangkuan, Jagat menyalakan televisi.
"Boleh. Bilang aja."
"Aku nggak nyangka perjodohan ini akan lancar."
Tatapan Jagat di layar bercahaya itu, memilih-milih film. "Bayanganmu akan kacau?"
Yeah ....
"Minimal Mas Jagat nolak dulu." Ini langsung mau.
Jagat menoleh. "Kamu sendiri juga begitu, padahal usiamu masih sangat muda saat itu."
"Ya, karena aku masih muda, aku nggak ambil pusing. Aku cuma bilang ke papi, kalau yang dijodohkan sama akunya nolak, batal pun gak masalah."
Tapi ternyata tidak.
Jagat membuat lancar perjodohan ini dengan menerima Seruni.
Ada tawa di sana, tawa Jagat.
Seruni tidak tersinggung dengan tawanya, justru senyum.
"Senggaknya mungkin kita harus nikah dulu, Ni." Agar wasiat sialan itu terbayarkan dan ... lunas.
Seruni mengangguk. "Mas mau nonton film apa sebenernya? Dari tadi dipilih-pilih bolak-balik."
"Horor." Jagat menjawab asal.
"Duduk di sini, Mas. Di sebelahku." Seruni menepuk sisi ranjangnya.
Jalan-jalan ke luarnya nanti saja. Sekarang di kamar dulu berduaan.
"Kenapa? Kamu takut?"
"Nggak, kok." Seruni tidak takut dengan film horor.
"Ya udah, duduk di situ sendiri." Jagat di sini, mencari tempat terjauh dari Seruni.
"Tapi aku pengin duduk sambil nyender ke badan suamiku."
Lancar pol Seruni ucapkan, sedang Jagat tersendat-sendat menerimanya di pendengaran ke otak. Membuatnya tak langsung beranjak, tak ada tindakan.
"Mas?"
Terkesiap, Jagat basahi bibir. "Kan, kamu masih sakit."
"Sakit? Oh ... hubungannya apa Mas duduk di sampingku sama—"
"Barangkali malah jadi pengin."
Wait.
Ke mana arahnya?
Pengin apa?
Jagat menelan ludah. Maksud hati sedang cari-cari alasan agar tidak berdekatan. Jagat sedang menjaga hati kekasihnya, bukan karena benar-benar takut 'menginginkan Seruni' bila duduk berdekatan.
Paham, kan?
Tapi Seruni tidak ke sana arahnya. Dia memikirkan ucapan Jagat dengan serius. Mempertimbangkan walau jelas keintimannya masih cenat-cenut.
Ah, baiklah.
"Mungkin nggak pa-pa kalau Mas ngelakuinnya pelan-pelan?"
Sungguh.
Apa, sih, yang mereka bicarakan?
Jagat terkekeh. "Nggak, nggak. Bercanda." Yang pada akhirnya, Jagat duduk di sisi Seruni.
Lebih baik hanya duduk berdekatan daripada alat intim yang kembali dipersatukan—jika itu bukan miliknya dan Sierra.
"Mas bisa ajarin aku pakai tangan?"
Kening Jagat mengernyit.
Bersitatap.
Seruni memeragakan dengan gerakan. "I will shake you. Tapi ajari dulu."
Serius.
Seruni akan berusaha sampai ke sana-sana untuk Jagat kalau-kalau 'ingin', sementara masih terasa sakit di area intim. Barangkali tak tertahankan, mungkin bisa dengan anggota tubuh lain—demi suami. Karena demikianlah yang Seruni pelajari untuk menjadi istri.
***
"Kenapa ganti nomor?"
Kemarin, masih di saat-saat Jagat bersama Sierra. Mengantarkannya pulang ke kosan. Sierra menolak gagasan Jagat yang ingin membelikannya apartemen.
Konon, Sierra ingin 'memiliki sesuatu' dari hasil jerih payahnya sendiri. Bukan memiliki sesuatu hasil diberi orang terkasih, selagi belum jadi istri.
"Yang lama jadi nomor kerja. Pengin punya kontak pribadi yang cuma diketahui orang-orang paling penting di hidup aku aja. Kamu salah satunya, selain orang tua nanti."
Jagat sudah mengatur sampai ke detail terkecil. Dan tentu bukan hanya nomor yang Jagat ganti, tetapi ponsel juga baru—sama persis dengan ponselnya yang sudah ada hingga wallpaper dan tata letak menunya juga sama.
Demi Tuhan, Jagat tidak ingin begini. Namun, keadaan seakan menuntunnya ke sini. Melakukan hal-hal yang hati kecil Jagat sendiri menentangnya, tetapi ego mendominasi.
Demi hubungan dengan Sierra agar terjaga, demi semuanya berjalan lancar jaya. Jagat bukannya mahir selingkuh, tetapi dia telah belajar untuk 'membuat aman' yang ingin dirinya lindungi.
"Oke, oke. Jadi, aku mulai sekarang ngehubunginnya ke nomor baru ini, nih?"
Nomor baru Jagat di ponsel barunya pula. Ponsel yang Jagat simpan di mobil. Dia mengambilnya sekarang saat Seruni sudah terlelap.
Sierra: [Kalau udah nggak sibuk, kabarin aku, ya.]
Sekarang.
Hati Jagat perih lagi karena menomorduakan kekasihnya.
Rasa bersalah itu bertambah.
Oh ... dapatkah Jagat menahannya sampai satu tahun?
Jagat lekas menelepon Sierra, bukan sekadar chat. Di pantai. Dan begitu terhubung, Sierra langsung alihkan ke video call.
Tanpa pikir panjang, Jagat mengangkatnya.
"Lho, di mana?" Sierra agak kaget dengan pemandangan belakang tubuh Jagat.
Tak Jagat sembunyikan, dia justru menyorot pantai di depannya. "Bali."
"Eh? Tahu-tahu udah di Bali aja. Lagi apa di sana, Yang?"
Hubungan mereka sudah berlangsung lama, bertahun-tahun dari SMA, sebutan 'Yang' dan 'Sayang' menjadi simbolis kedekatan.
"Kunjungan ke resort lihat furnitur produk Luxe."
Bohong.
Tapi bukankah tidak sepenuhnya?
Jagat memang melihat produk Luxe tadi, meski bukan ini tujuannya ada di Bali. Dan lagi, ini memang sekaligus acara kunjungan, tetapi bukan Jagat yang sebetul-betulnya berkunjung.
Tahu siapa, kan?
Seruni Iris Semesta.
Sosoknya yang berdiri di sudut tak terbaca oleh kamera depan Jagat sekali pun.
Benar.
Dia tidak tidur.
Belum.
Seruni mendengar suara pintu kamar dibuka dan ditutup dengan sangat pelan seolah takut membuatnya bangun. Seruni diam sesaat sebelum memutuskan untuk mengekor setelah berpikir sejenak.
Tak tahu apa yang membuatnya ingin menyusul Jagat.
Tapi ponsel suaminya bahkan masih ada di nakas, tak dibawa. Haruskah Seruni bawa? Dia memilih tidak. Seruni hanya meraih cardigan untuk menutupi tubuh yang sekadar berbalut gaun tidur tipis.
Oh, Seruni hampir kehilangan jejak Jagat. Angka lift henti di lantai satu dari yang tertera di situ. Lantai yang lantas menjadi tujuan Seruni, bisa jadi Jagat ke sana.
Namun, ke mana lagi?
Seruni menyusuri sekitaran resort. Ke sana kemari. Sampai matanya menemukan sesosok lelaki yang berjalan ke arah pantai. Membelakangi tempat Seruni berpijak saat ini.
Tak tahu Jagat bukan, Seruni ikuti.
Dari pakaiannya seperti Jagat, tetapi bisa saja yang lain punya baju dan celana macam itu.
Seruni harap bukan Jagat, terlebih saat sosok yang dia pandangi dari tempatnya ini ... memegang ponsel, menempelkan ke telinga. Hal yang membuat langkah Seruni terhenti, sedangkan dadanya berdebar mengerikan.
Bila benar itu Jagat, lalu apa? Memang kenapa? Ah, ya, menakutkan. Seruni merasakan rambatan nyeri di hati secara perlahan. Pikirannya berkelana.
Bukankah ponsel Jagat ada di kamar? Lantas, itu apa? Dan kenapa harus ada ponsel lain, ponsel berbeda dengan yang Jagat sodorkan padanya saat menunjukkan chat Mami Dikara.
***