Suasana amfiteater di Canggu International School sudah ramai. Semua orang tua siswa berkumpul pada pertunjukan seni dalam rangka memperingati Hari Ibu. Pasalnya, hari ini semua siswa akan menunjukkan bakat masing-masing dalam bidang seni.
Pukul 10.00 WITA. Itu artinya pertunjukan milik anak-anak tingkat 1-3. Mereka sudah tampak bersiap-siap di belakang arena.
Dari tempat Sekar dan Mr. Green duduk, tampak Emily sedang asyik membaca selembar kertas dengan gerakan badan dan tangan. Seperti seseorang yang sedang berdeklamasi. Ia tampak begitu bersemangat.
Diam-diam, Mr. Green mengambil gambat dengan kamera yang dibawanya.
Momen Emily yang sedang latihan berdeklamasi itu tertangkap baik oleh lensa.
"Good morning, Parents! Thank you very much for coming in Mother's Day Celebration." Sebuah sapaan dalam bahasa Inggris nan fasih terdengar ke seluruh penjuru amfiteater. Seorang wanita berambut pirang, dengan kebaya adat Bali, lengkap dengan selendang yang diikat di pinggul, serta kemboja di telinga berdiri memegang mikrofon.
"Kamu cantik hari ini, Sekar."
"Sorry?"
Sekar bukan tidak mendengar perkataan pria bule di sebelahnya. Akan tetapi, kalimat itu terasa asing. Tabu di telinganya.
Namun, Mr. Green yang menganggap Sekar benar-benar tidak mendengar ucapannya, akhirnya memutuskan untuk tidak mengulang kalimat itu. Akan aneh jika tiba-tiba ia mengeluarkan pernyataan seperti itu. Makanya, Mr. Green berpura-pura tidak paham dengan pertanyaan Sekar.
Akhirnya, kedua insan itu memfokuskan pikiran ke acara yang akan segera dimulai. Wanita bule di depan sana masih berpidato, kali ini terdengar menggunakan bahasa Indonesia. Meskipun kaku, tetapi dapat dipahami. Sama seperti kebanyakan orang Indonesia yang juga tidak fasih berbahasa Inggris.
"Baiklah, sekarang mari sambut penampilan pertama dari anak-anak tingkat satu yang akan membawakan drama berjudul Malin Kundang!"
***
Ibu, Aku Rindu
Karya: Emily Shana Green
Ibu, tahukah kau di sana bahwa,
Aku rindu
Ibu, tahukah kau di sana bahwa
Aku ingin bertemu
"Oh, God!"
"Em sangat merindukan Nyonya."
"Saya sangat merasa bersalah."
"Jangan biarkan perasaan itu terus ada!"
"Ta-tapi, Emily seperti ini gara-gara saya."
Mr. Green memejam. Matanya terasa panas. Kaca-kaca yang tadinya ingin terbentuk, luruh berasa helaan napas.
"Emily sangat menyayangi Mister, percayalah!"
"Itu tetap tidak mampu menghapus dosa."
Mr. Green makin tertunduk.
"Mister, tolong jangan seperti itu!"
"Dosa saya sangat besar, Sekar."
"Manusia mana yang tidak berdosa, Mister?"
Sekar memberanikan diri untuk menyentuh punggung tangan sang majikan.
"Saya juga minta maaf padamu, Sekar."
"Saya sudah memaafkan semuanya, Mister."
Mendengar itu, Mr. Green membalas sentuhan tangan Sekar dengan menggenggamnya.
Hangat.
"Terima kasih banyak, Sekar. Kamu benar-benar wanita yang baik. Saya menyesal sudah menyeret kamu ke situasi seperti ini."
Sekar mendadak teringat peristiwa saat perjalanan kembali dari kampung.
"Di mata Anda, mungkin saya tidak lebih dari perempuan kampung yang gila uang. Mungkin Anda berpikir, saya bekerja di rumah Anda karena bermimpi menjadi kekasih Anda. Tolong dicatat, itu tidak pernah ada di pikiran saya! Saya bahkan takut melihat Anda."
"Apa yang kamu takuti dari saya?"
"Postur tubuh kita sangat jauh berbeda."
"Lantas apa masalahnya, Sekar?"
"Sa-saya takut dipukul atau disiksa saat tidak sengaja melakukan kesalahan."
Mr. Green melotot di balik kacamata hitamnya.
"Apa saya semenakutkan itu di mata kamu?"
Laki-laki itu tidak pernah tahu bahwa Sekar ternyata memendam ketakutan kepadanya.
Pria itu menoleh sekilas, ada kegelisahan yang tertangkap dari bahasa tubuh gadis di sebelahnya.
"Saya sering mendengar hal semacam itu."
"Jadi menurut kamu saya termasuk yang seperti itu?" Mr. Green benar-benar ingin mendengar penilaian jujur Sekar. Ia sama sekali tidak ingin gadis itu takut kepadanya. Apalagi anaknya begitu menyayangi gadis itu.
"Saya tidak bisa menilai. Akan tetapi, saya punya ketakutan akan hal itu. Entah mengapa, saya pun tidak tahu."
Pria itu kembali memfokuskan diri menyetir.
Menghindari kekakuan yang tiba-tiba menyergap, Mr. Green memutar volume radio mobilnya. Sebuah lagu yang kemarin mereka dengarkan kembali mengalun. Suara lembut Derby Romero kembali membuai keduanya.
***
"Thank you so much, Mbok Sekar."
"You're welcome, Em. Terima kasih sudah membuat Mbok Sekar begitu bangga kepada Em. Puisi Em, bagus."
"Benarkah, Mbok? Benarkah, Dad? Bagus?"
Kedua orang dewasa itu kompak mengangguk.
Emily yang terharu mendengar pujian, memeluk keduanya di leher. Posisi Mr. Green dan Sekar masih duduk, sedangkan Emily berdiri di hadapan mereka. Mau tidak mau, wajah Sekar dan Mr. Green berhadapan di belakang bahu Emily.
Mr. Green dan Sekar gugup. Keduanya saling membuang pandangan. Akan tetapi, jantung mereka tidak bisa diajak kompromi.
Emily bisa merasakan ketegangan yang terjadi di antara dua orang dewasa itu. Ia malah sengaja makin mengeratkan pelukan. Hal itu kontan membuat Mr. Green dan Sekar melingkarkan sebelah tangan mereka ke tubuh kecil Emily. Otomatis, keduanya bersentuhan di sana.
"Terima kasih sudah menjadi puteri kecil Dad yang baik dan pintar. Tetaplah bahagia seperti ini, Em. Dad ingin melihat Em selalu seperti ini."
Emily mengangguk-angguk.
***
"Mbok, makanlah ini! Ini juga. Semua juga."
Tangan kecil Emily sibuk menunjuk hidangan laut yang terhidang di meja. Ia begitu ingin Sekar memakan semua hidangan yang menurutnya lezat. Bocah itu sungguh tidak ingin melihat gadis pengasuhnya makan sedikit.
Ia terus saja mengomel apabila Sekar menolak.
Tidak enak kepada Mr. Green, Sekar menurut.
"Em, makanlah! Sudah cukup Em menyuruh-nyuruh Mbok Sekar begitu. Itu tidak sopan. Dad, tidak suka, Em."
"Maaf, Dad."
Emily menyetop mulutnya yang sedari tadi menginteruksikan Sekar melahap berbagai hidangan laut itu.
"Ya, lekaslah makan! Setelah itu mari pulang!" Mr. Green berkata sambil mencuil ikan baronang bakar madu.
"Oke, Dad."
"Good."
Mereka akhirnya makan tanpa bicara.
Akan tetapi, di saat tertentu mata Mr. Green mencuri pandang ke arah Sekar.
Di sisi lain, Sekar pun diam-diam mengagumi duda tampan itu. Padahal sebelumnya ia sama sekali tidak pernah tertarik untuk mengamati pria itu lebih jauh. Namun, kali ini hatinya berkata lain.
"Mbok, Dad tampan, ya? Mbok Sekar suka?" Sekar terbatuk mendengar bisikan Emily yang singgah di telinganya. Hal itu membuat Mr. Green menatap gadis dan sigap menyodorkan air putih.
"Terima kasih, Mister. Maaf mengganggu." Sekar menerima gelas itu.
"Em, sudah Dad bilang, jangan bicara terus."
"Bukan salah Em, Mister. Saya yang tidak hati-hati. Saya makan terburu-buru."
"Saya lihat Em bisik-bisik di telinga kamu."
Emily terkejut. Bocah itu diam. Takut.
Sekar juga tidak menyangka pria itu mengetahui kelakuan anaknya. Jangan-jangan dia juga tahu aku memperhatikannya sedari tadi? Gawat, batin Sekar was-was. Apalagi saat matanya menangkap sinar lain di mata biru pria itu. Sekar merasa tercebur ke samudera maha luas.
"Saya baik-baik saja, Mister. Emily hanya memperingati saya untuk tidak makan terburu-buru. Akan tetapi semuanya terlambat."
"Kamu tidak perlu membela anak nakal."