7. Menunggu

1161 Kata
“See, nggak seharusnya kamu bikin masalah denganku.” Pandu memakai kaos yang baru saja ia pungut dari lantai. Berdiri di samping tempat tidur, dan menatap Cita yang meringkuk dengan tubuh polosnya. Sebelum meraih beberapa pakaian yang juga tergeletak di lantai, Pandu menarik selimut dan menutup tubuh Cita dengan asal. “Dan aku peringatkan, aku bisa lebih kejam dari ini.” Pandu memungut pakaiannya yang masih tersisa, lalu memakainya dengan cepat. “Kamu dengar aku, Cit.” Pandu menghempas bokongnya di tepi ranjang. Membalik tubuh Cita yang memunggunginya, lalu meraih wajah gadis itu. “Nggak usah pura-pura tidur.” Pandu menepuk pipi Cita. Awalnya, Pandu hanya menepuk dengan pelan untuk membangunkan gadis itu. Namun, karena tidak ada respons atau pergerakan sama sekali, Pandu menepuk pipi itu lebih keras. “Cita!” panggil Pandu masih menepuk pipi Cita sampai berulang kali. “Jangan main-main, Cit!” Pandu berusaha tenang. Mencoba mengangkat tubuh bagian atas Cita, yang terasa berat. Gadis itu benar-benar terkulai lemas, dan tidak membuka mata “Cita!” Pandu mengguncang tubuh itu, tetapi tidak ada reaksi apapun. Kepanikan Pandu dimulai. Ia bangkit, melihat ke sekeliling lalu melihat sebuah nampan yang berisi teko kaca, dan gelas di sebelahnya. Melihat masih ada air yang terisi setengahnya, Pandu segera mengambil teko tersebut dari meja di bawah televisi lalu kembali menghampiri Cita. Menahan rasa panik, Pandu menuang air tersebut di telapak tangannya lalu mencipratkannya ke wajah Cita. Namun, hal tersebut juga tidak kunjung membangunkan gadis itu. Pandu menyingkap selimut yang menutup tubuh Cita. Masih berusaha tenang, dan berharap semua tetap baik-baik saja. Tidak … Pandu tidak bisa membawa Cita ke rumah sakit dengan kondisi seperti ini. Ada beberapa memar, yang akan membuat Pandu dicurigai melakukan kekerasan dalam rumah tangga bila membawa Cita ke rumah sakit. Hal itu hanya akan memburuk keadaan Pandu saat ini. Kemudian, hanya ada satu hal yang terlintas di kepala Pandu saat ini, yaitu … ~~~ Plak! Pandu terdiam. Mematung dan memejam, saat satu tamparan keras menyapa pipinya. “Pandu! Kalau papamu sampai tahu, kamu bakal dilempar ke jalan dan jangan harap bisa dapat pekerjaan apapun seumur hidup!” Tessa menatap Cita yang terbaring lemah, dengan wajah yang benar-benar pucat. Pandu tidak bisa berkata-kata. Ia menatap Pasha, yang duduk di sofa dengan wajah datarnya. Semalam, hanya nama Pashalah yang terlintas di benak Pandu. Karena itulah, Pandu segera membawa Cita ke rumah pria itu, karena sudah tidak bisa memikirkan hal apapun lagi. Akan tetapi, Pandu tidak pernah menduga Pasha akan menghubungi Tessa. Padahal, Pandu sudah meminta kakak, beserta iparnya untuk tidak menghubungi siapa pun sampai Cita siuman. “Sudah hubungi dokter, Rin?” tanya Tessa pada menantunya. Setelah mendengar penjelasan Erina tentang kondisi fisik Cita, Tessa setuju untuk tidak membawa gadis itu ke rumah sakit. “Dokter Farhan lagi dijalan, Ma,” jawab Pasha. “Kita tunggu aja.” “Kasih berapa pun yang dia minta, asal kejadian ini jangan sampai keluar,” titah Tessa sambil menatap geram, penuh amarah pada Pandu. “Gimana dengan tante Sandra, Ma?” tanya Erina yang sedari tadi duduk di samping Cita. Menunggu gadis itu sadar dari semalam. Sungguh malam yang terasa panjang dan mengkhawatirkan bagi Erina. Ia tidak pernah menyangka, Pandu bisa berbuat setega itu pada istrinya sendiri. Seharusnya, apapun yang terjadi pada rumah tangga mereka, Pandu tidak sepatutnya bertindak seperti itu. “Jangan.” Tessa menggeleng sambil melewati Pandu. Ia duduk di tepi ranjang yang berseberangan dengan Erina, lalu menyentuh wajah Cita. “Kita tunggu dokter, dan tunggu Cita sadar dulu. Kalau bu Sandra sampai tahu …” Tessa kembali berdiri menghampiri Pandu. “Mama itu nggak ngerti! Apa salah Cita ke kamu, Ndu! Jawab!” “Aku …” Pandu menjambak rambutnya sendiri dengan kedua tangan. Frustasi memikirkan ucapan sang mama. Jika dipikir lagi, Cita memang tidak bersalah sama sekali. Sedari awal, semua adalah salah Pandu. Cita hanya jadi korban pelampiasan, karena Pandu tidak bisa berpikir panjang. “Aku khilaf … ck!” Pandu mengeluarkan ponsel dari saku celana, dan melihat nama wanita yang sudah sejak semalam meneleponnya. Untuk kesekian kalinya, Pandu mereject panggilan tersebut dan memasukkan kembali benda tersebut ke saku celana. Ia bahkan belum sempat membaca sekian banyak pesan dari Laura, sejak malam tadi. “Khilaf katamu!” Ingin rasanya Tessa kembali menampar Pandu. Karena berapa kali pun ia melakukannya, hal tersebut tetap tidak akan menggantikan luka yang ada pada fisik, dan mental Cita nantinya. “Yang bisa kamu lakukan saat ini cuma berdoa, supaya Cita baik-baik aja! Ngerti ka …” Suara gumaman kecil dari Cita, membuat Tessa segera berlari dan menghampiri gadis itu. “Cita!” Tessa meraih tangan Cita dan menggenggamnya. “Erin, ambilkan air hangat, teh hangat, bubur! Buatkan bubur.” Kenapa baru sekarang Tessa memikirkan hal tersebut. Harusnya, makanan dan minuman itu sudah disiapkan sejak tadi. Semua ini gara-gara Pandu, sampai Tessa tidak bisa memikirkan hal apapun. Erina mengangguk dan segera pergi melaksanakan titah Tessa. Ia akan menyuruh asisten rumah tangganya untuk membuatkan teh dan bubur secepat mungkin. “Mi …” Begitu membuka mata dengan perlahan, Cita langsung sesenggukan. Merasakan sakit dan nyeri di semua bagian tubuhnya. “Mami …” “Ini Mama, Cita.” Tessa menaiki tempat tidur, lalu mengusap air mata yang terus saja tumpah tanpa henti. “Ini Mama, Mama Tessa.” “Mami …” Panggilan lirih nan menyayat hati itu, ikut membuat hati Tessa hancur. Cita memang bukan putri kandungnya, tetapi Tessa mampu merasakan kepedihan gadis itu. Yang bisa Tessa lakukan setelahnya, hanyalah membawa Cita ke dalam pelukannya. Mencoba memberi rasa aman dan nyaman, meskipun hal itu hanya untuk sementara. “Maafin Mama, ya, Cita …” Air mata Tessa akhirnya ikut tumpah. Ia tidak bisa membayangkan, trauma seperti apa yang akan dialami Cita nantinya. “Maafin Mama.” “Cita …” Suara berat yang merasuk ke telinga, membuat pelukan Cita pada Tessa semakin mengerat. Cita menggeleng, dengan ketakutan yang luar biasa. Hanya dengan mendengar suara Pandu saja, tubuh Cita sontak bergetar hebat. “Mami, tolong aku, Mi …” lirih Cita menggeleng berkali-kali di pelukan Tessa, sambil menutup erat kedua matanya. “Pergi! Mami … tolong …” “Pasha!” Dengan menahan nyeri karena cengkraman Cita, Tessa memberi kode pada Pasha, untuk menyeret Pandu keluar kamar. Tessa menunjuk Pandu, lalu mengibaskan tangannya agar segera pergi. “Ada Mama di sini, Cita.” Tessa membesit hidungnya sebentar, lalu kembali mengusap punggung Cita. Menghubungi Sandra dalam keadaan seperti sekarang, hanya akan membuat masalah semakin runyam. Tessa tidak bisa menebak-nebak, apa yang akan dilakukan Sandra bila tahu Pandu telah memperlakukan Cita begitu buruk tadi malam. Andai kejadian buruk tersebut dialami oleh Tessa, hal pertama yang terlintas di kepala adalah melaporkan Pandu ke kantor polisi. Nama besar keluarga Atmawijaya akan tercoreng, dan semua itu akan berpengaruh pada perusahaan mereka nantinya. Untuk sementara, Tessa belum bisa memutuskan hal apapun. Ia akan menunggu sampai Cita benar-benar sadar, dan bisa diajak bicara dengan baik. Sampai saat itu tiba, maka Cita akan tetap berada di kediaman Pasha dan tidak akan pergi ke mana-mana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN