Eps. 4 Buta

1082 Kata
Giselle terus membanting dan menjatuhkan apa saja yang bisa dia raih di ruangan itu. Dalam waktu singkat ruangan itu kini porak-poranda. Barang-barang yang ada di meja berpindah ke lantai semua. Bahkan beberapa benda seperti gelas, pecah di lantai yang membuat lantai putih bersih itu tampak berserakan. Tak cukup mengobrak-abrik sekitarnya, Giselle kini seolah mengamuk. Ia menarik sprei tempat tidur dan ngomongnya begitu saja sembarangan. "Aku tidak buta! Aku tidak mungkin buta! Ini pasti sebuah mimpi saja." ucap Giselle masih tak percaya dengan keadaannya saat ini. Ia pun kemudian berteriak. Suaranya sampai terdengar keluar. "Oh, ada apa ini?" pekik seorang petugas medis yang kebetulan melewati ruangan itu. Ia pun berhenti sekaligus terkejut melihat suasana ruangan yang yang berantakan tak karuan. "Astaga, pasien itu mengamuk." pekiknya. Karena tak berani menghadapi pasien itu seorang diri karena cukup beresiko tinggi, maka ia pun menuju ke ruang perawat dan memberitahukan petugas medis lainnya. "Pasien di ruangan mana yang mengamuk?" tanya petugas medis lainnya. "Pasien yang ada di ruang ICU sebelah." Langsung saja dua petugas medis segera keluar dari ruangan itu menuju ke ruang ICU. Sedangkan petugas lainnya menelepon dokter dan memberitahu keadaan pasien yang sedang mengamuk saat ini. "Nona, tolong tenangkan diri anda." ucap salah satu petugas medis setelah masuk ke ruangan. Satu perawat lainnya segera menghampiri Giselle, berjalan dengan hati-hati saat melewati pecahan kaca di lantai. "Nona, apa ada sesuatu yang mengganggu anda? Atau anda membutuhkan bantuan?" tanya perawat dengan hati-hati. Perawat itu memegang Giselle lalu menuntunnya kembali ke tempat tidur. "Tolong panggilkan dokter. Aku ingin bertemu dengannya. Ada yang ingin ku tanyakan langsung padanya." jawab Giselle. Ia tampak hampir kehabisan nafas setelah membuat seisi ruangan berantakan. "Nona, mohon bersabar kami sedang memanggil dokter kemari." Untung saja Giselle saat itu menurut saja pada perkataan petugas medis. Ia tampak duduk dan sedikit tenang sembari mengontrol ritme nafasnya. Petugas medis lainnya kemudian segera menghubungi keluarga pasien dan memberitahukan keadaan pasien saat ini. Di rumah Fernando, baru saja mereka bertiga duduk di kursi setelah berganti baju. Deringan ponsel kembali hadir di tengah kelelahan mereka yang belum hilang. "Ayah, ponselmu berdering." ucap Gracia yang duduk di kursi di depan ayahnya. Fernando lalu mengeluarkan ponsel dari saku bajunya. "Nomor asing lagi?" gumamnya menatap nomor yang tidak dikenalnya dan menurutnya itu bukan dari rumah sakit. Ia mengingat nomor telepon dari rumah sakit sebelumnya meskipun tak menyimpannya dan itu beda dengan nomor yang menghubunginya sekarang. "Halo, apakah anda tuan Fernando Hose?" “Ya, benar. Ini dari mana?" "Dari rumah sakit tuan." Pria itu seketika terkejut kenapa pihak Rumah Sakit kembali menelepon dirinya. "Tolong jelaskan ada apa?" Petugas Rumah Sakit kemudian menjelaskan juga pasien saat ini sedang mengamuk hebat dengan mengobrak-abrik ruangan. "Astaga!" pekik Fernando terkejut. "Mohon tuan segera kemari untuk mendampingi pasien." "Baik." jawab Fernando singkat. Ia segera memasukkan kembali benda pipih itu ke saku bajunya setelah panggilan berakhir. Irina tidak bertanya karena bisa mendengar jelas apa yang diucapkan oleh suaminya tersebut. "Apakah kita kembali ke rumah sakit sekarang?" tanyanya semakin bertambah cemas pada kondisi putrinya. "Tentu saja." Fernando lalu langsung berdiri dari tempat duduknya dan bergegas menuju ke depan rumah. "Ibu, aku sedikit lelah. Apa aku boleh menunggu di rumah dulu baru akan ke rumah sakit nanti?" tanya Gracia saat menatap ibunya yang akan keluar dari ruangan. "Ya, tentu saja kau boleh di rumah. Jika memang lelah istirahatlah. Aku dan Ayahmu yang menunggu di rumah sakit saja sudah cukup." jawab Irina kemudian segera berlalu karena suaminya sudah duduk di mobil dan menunggunya. Mobil segera melaju menuju ke rumah sakit setelah Irina duduk di samping Fernando. Saat ini Giselle kembali marah karena dokter yang menurut perawat sudah dipanggil, sampai saat ini belum datang juga. "Dimana dokternya?!" ucapnya kembali berdiri. "Nona, tenanglah. Sebentar lagi dokter akan tiba. Mungkin beliau sudah memeriksa pasien lainnya."jawab petugas medis berusaha untuk menenangkan. "Suster, pasti kau juga mengetahui kondisiku jika begitu kau harus menjawab pertanyaanku. Katakan padaku apakah aku buta permanen?" Dua petugas medis itu diam tak bisa menjawabnya. meskipun sebenarnya mereka mengetahui kondisi rekam medik pasien saat ini. Namun mereka tak berani memberitahukannya. Dan menurut kode etik kedokteran bukan ranah mereka menjelaskan itu. "Kenapa kalian diam saja? Apakah yang katakan benar adanya?" bentak Giselle mulai mengamuk kembali. "Jadi Apakah diam itu tanda benar?" ulangnya lagi karena masih tak ada respon dari mereka berdua. "Ma-maaf nona. kami berdua sebelumnya tidak merawat Nona jadi kami tidak mengetahui kondisi nona." jelasnya terpaksa bohong. Bukannya menjadi tenang emosinya saat ini kembali tersulut. Giselle kembali meraih apa saja yang ada di dekatnya dan membuangnya begitu saja ke lantai. Petugas medis pun menjadi resah karena sikap impulsif Giselle. "Nona, tolong tenanglah." bukan dua petugas medis itu yang bicara melainkan dokter yang baru masuk ke ruangan itu. "Untunglah dokter segera datang. Jika tidak kamu tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya." batin dua petugas medis tadi. "Dokter, tolong katakan padaku apakah aku buta?" tanya Giselle langsung pada pria yang menggunakan setelan baju putih dengan sepatu hitam yang mengkilap meskipun bukan barang baru. "Nona, aku sudah bilang sebelumnya padamu Jika saat ini masih dalam tahap observasi. Jadi wajar tak bisa melihat saat ini." dokter kembali menjelaskan hal yang sama seperti yang pernah diucapkannya sebelumnya pada Giselle. "Apa dokter berbohong padaku?" bantah Giselle. Ia tak percaya pada ucapannya karena semua mengatakan hal yang sama dan berarti mereka semua menyembunyikan sesuatu. "Tolong katakan padaku kondisiku yang sebenarnya dokter. Aku akan siap menerima apapun kondisinya itu." desak Giselle. Karena pasien terus mendesak maka dokter pun membeberkan yang sebenarnya. "Ya, nona anda buta. Tapi tidak menutup kemungkinan jika mendapatkan donor mata akan segera kembali mendapatkan penglihatan anda." jelas dokter gamblang. Ternyata Giselle bukannya tenang mendengar pernyataan itu, seperti yang diucapkan sebelumnya. "Tidak mungkin! Aku tidak buta!" teriaknya melengking. Di detik berikutnya Giselle kembali emosi dan akan mengamuk kembali. "Nona, tenanglah." ucap dokter. Dua petugas medis yang masih ada di sana kemudian segera memegangi Giselle lalu memaksanya untuk berbaring di tempat tidur. Sementara dokter segera mengambil jarum suntik obat penenang. "Giselle..." panggil Fernando apa di saat dokter akan menginjeksikan obat penenang. Dokter kemudian bersiap untuk menyuntik kembali setelah sebelumnya sempat berhenti. "Ayah, tolong aku. Dokter ini mau menyakitiku." teriak Giselle histeris. "Tuan, tolong kemari sebentar dan bantu putri anda." Fernando mendekat dan menghampiri dokter. Namun dokter berbisik pada pria itu dan kemudian mengangguk pelan. "Giselle, ada ayah disini. Tenangkan dirimu. Dokter akan merawatmu sebaik mungkin." ucapnya lembut. Pria itu kemudian ikut memegangi tangan Giselle seraya menatap dokter, memberikan kode. "Argh!" Seketika Giselle berteriak semakin kencang saat jarum suntik mulai menembus kulit di lengannya. Dalam hitungan detik Giselle pun tak sadarkan diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN