2

1216 Kata
Halaman mansion besar masih tampak basah karena hujan grimis yang membasahinya saat Sekar melangkah bersama anak semata wayangnya. Mansion ini adalah salah satu peninggalan suaminya Adyatma Wiranta. Di sampingnya, tangan Rana terus menggenggamnya erat, dengan sorot mata yang memandang rumah itu seakan enggan masuk kedalamnya. Sekar menatap putranya yang hanya diam dengan bibir melengkung ke bawah. "Ada apa sayang? " Sekar mengelus lembut kepala sang putra. "Mama, apa kita pulang ke rumah? Kenapa tidak ke apartemen mama saja?" setengah merengek Rana menatap sang mama dengan bola matanya yang bergetar. Sekar berjongkok, menyamakan tubuhnya dengan putranya. Memberi senyuman teduh agar Rana tak merasa ketakutan. Karena Sekar yakin itu yang dirasakan putranya. "Kenapa? Bukannya ini rumah Rana?" Sekar mengelus pipi cabi putranya. "Ada Mama. Mereka nggak akan berbuat macam-macam sama Rana. Ya?" Rana pun mengangguk. Memberi senyuman tampannya yang sangat mirip dengan almarhum suaminya. Dan sesaat Sekar tertegun. Lagi-lagi rasa rindu itu menusuk dadanya. Sekar yang masih mengenakan mantel hitam panjang dengan heels senada. Rambut panjangnya dibiarkan terurai, sedikit basah karena embun hujan. Berjalan masuk ke dalam mansion. Di belakangnya, Ratih, pengasuh sang anak, mengikut sambil membawa tas perlengkapan bocah itu. Namun baru saja sepatu haknya menyentuh lantai marmer di ruang utama, suara tajam segera menyambutnya. “Sekarang beginikah caramu menarik perhatian pria lain? Bawa-bawa anak yatimmu ke mana-mana untuk memancing belas kasihan?” Suara nyaring dan sinis itu milik Nindya Santoso, wanita paruh baya dengan perhiasan berlebihan yang berstatus ibu tiri dari mendiang suaminya—wanita yang tak pernah menganggap Sekar bagian dari keluarga. Sekar menghentikan langkah. Perlahan ia menoleh kepada pengasuh anaknya. “Ratih, tolong bawa Rana ke atas. Sudah waktunya dia tidur siang.” “Baik, Nyonya,” sahut Ratih cepat, membawa anak itu menjauh dari situasi yang jelas tak sehat untuk sang putra. Begitu Ratih dan si kecil menghilang di balik tangga, Sekar kembali menatap Nindya, sorot matanya dingin namun berpendar tajam. Ada kilatan jengah disana. Apalagi dengan wanita tua yang hidupnya hanya menumpang. “Apa Ibu lupa kalau makanan yang masuk ke perut Ibu, listrik yang menyalakan pemanas air kamar Ibu, dan atap yang melindungi tidur Ibu—semua berasal dari harta warisan putra saya?” Nindya mendesis. “Kau tak tahu diri, Sekar.” "Sebenarnya disini yang tak tau diri itu siapa? Saya apa ibu?" Sekar membalikkan pertanyaan itu kepada wanita yang berdiri angkuh di hadapannya. Namun percakapan itu teralihkan oleh langkah kaki berat yang menuruni tangga. Bagas Santoso, kakak tiri Atma yang selama ini hidup dari kemewahan keluarga mendiang suaminya, muncul dengan seorang wanita muda di sampingnya. Berpakaian mencolok, terlalu beraroma parfum murahan, dan jelas bukan pasangan sah. “Jaga bicaramu, Sekar. Itu ibuku,” geram Bagas. Sekar tersenyum tipis, mengejek. Tatapannya menelusuri dari atas kepala wanita di samping Bagas hingga ke sepatu dengan lebel harga yang masih menwmpel. Terlalu norak untuk kalangan wanita normal. “Dan kamu… masih doyan belanja pakai kartu yang kamu nggak tahu bayarannya dari mana?” “Kurang ajar kamu!” bentak Bagas, naik darah berjalan cepat ke arah Sekar dengan tangan yang hendak mengayun. "Kenapa? Mau tampar aku?" Senyum miring Sekar mengiasi wajah cantiknya. "Silahkan tampar. Kalian pikir aku akan lemah setelah Mas Atma meninggal? Salah besar. Aku bukan hanya istri sah. Aku penerus resmi perusahaan. Aku pemilik rumah ini. Dan kalian… hanyalah dua parasit yang numpang hidup. Jadi, jika masih ingin menikmati semua ini, tutup mulut kalian, dan tahu diri.” Sunyi. Tak ada satu pun dari mereka mengeluarkan suara. Hanya ada raut wajah yang menahan geram. “Aku capek. Aku baru pulang dari kantor. Kalau kalian tidak punya hal berguna untuk disampaikan, silakan enyah dari hadapanku,” lanjut Sekar sambil berbalik. Langkah Sekar kembali menapaki ruang tamu besar itu. Ia berjalan mantap menuju tangga, tempat kamarnya dan kamar putranya berada. Namun sebelum ia benar-benar melangkah naik, Sekar berhenti. Ia menoleh. Pandangannya menabrak tiga sosok yang masih berdiri mematung di ruang utama: Nindya, Bagas, dan Mala. “Dan perlu kalian ketahui...” ucapnya dengan nada dingin. “Mulai hari ini, semua fasilitas kalian saya bekukan sementara—hingga perusahaan kembali berjalan normal.” Tak ada kata yang terucap dari mereka. Entah menerima atau terkejut. Yang jelas Sekar tak mau dibantah. Dirinya kembali berjalan hingga beberapa detik kemudian barulah suara mereka terdengar. “Jalang! Kenapa kamu lakukan ini? Kembalikan kartu kreditku!” Teriakan Nindya menggema. “Jangan seenaknya, Sekar! Rumah ini milik Adyatma!” Bagas menyusul. “Sekar! Kembali kamu! Kamu bukan siapa-siapa di sini!” Nayla ikut meraung, suaranya pecah. Sekar tak terganggu sama sekali dwngan teriakan yang saling menyaut di belakangnya. Dia tak ingin terlihat lemah. Jika itu terjadi mereka akan terus menginjaknya. Mereka akan melakukan hal gila lainnya. Dan itu cukup dalam empat tahun ini. Pintu kayu di depannya dia buka perlahan, di ambang pintu, Sekar mematung sejenak. Memaksa dirinya untuk tetap berdiri tegak dengan wajah senormal mungkin. Ada Rana. Ada putranya yang membutuhkah dirinya. Di tempat tidur yang ada di depannya, terlihat Rana yang sudah tertidur pulas. Wajah anak itu damai, memeluk erat guling berwarna hitam—guling milik Atma, yang dulu selalu ia peluk setiap malam dan sekarang, guling itu menjadi kesayangan Rana juga. Terdapat senyum tipis di wajah cantik Sekar. Ia berjalan tanpa suara ke kamar mandi, hendak membuang oenat yang ada dalam tubuh dan pikirannya. Ia membuka baju satu per satu sebelum membiarkan air jatuh ke atas kulitnya. Sekar mendongak, memejamkan matanya, merasakan air jatuh tepat ke wajahnya. Membiaskan rasa dingin ke setiap pori-pori kulitnya. “Kuatlah… sebentar saja.” Seketika mata Sekar kembali terbuka. Lagi. Lagi-lagi pikirannya ditarik kembali… ke makam itu. Ke pria itu. Dimana wajahnya. Sentuhannya. Ciumannya. Suaranya. Apakah aku… gila? Apakah aku terlalu merindukannya hingga aku menjadi halu? Sekar menggigit bibir bawahnya keras, menahan sesuatu yang meledak di dadanya. ____ Raka menyipitkan matanya, fokusnya saat ini tertuju pada sebuah apel merah kecil yang bertengger di atas tiang kayu, sekitar tiga puluh meter dari tempatnya berdiri. Tangannya terangkat perlahan. Dengan genggaman yang tak goyah sama sekali. Stabil dan penuh kendali. Ujung laras pistol hitam matte seolah menyatu dengan lengannya yang berbalut kemeja gelap. Angin berhembus pelan, membuat helai rambut di dahinya bergerak ringan. Tapi tubuh tegapnya tetap tak bergeming. Nafasnya ditahan, matanya menyapu garis bidik. Jari telunjuknya menyentuh pelatuk. Matanya terus menatap dingin bidikannya. Seolah waktu tunduk di bawah tatapannya. Hingga dengan gerakan pasti jari itu menekan. Klik. Peluru meluncur. Melesat dengan cepat. Dan... DOR. Apel itu seketika hancur berkeping-keping. Di belakangnya, seorang pria bersetelan rapi berdiri tegak. Wiliam, asisten pribadinya, menunggu hingga Raka menurunkan senjata dan menghembuskan napas terakhir dari fokusnya. "Tuan Raka, ini laporan yang Anda minta. Dan untuk jadwal pertemuan sudah saya konfirmasi dengan Larasati. Besok saat makan siang." Wiliam menyerahkan beberapa berkas dalam map hitam. Raka mengambilnya tanpa menoleh. Matanya masih menatap sisa apel yang berserakan di tanah. Ia membuka map dengan satu tangan, lalu mendengus pendek. "Hmh." "Dan untuk Nona Sekar, sesuai instruksi Anda, besok Larasati akan membawanya langsung ke lokasi." Ada jeda. Senjata masih tergenggam di tangan kanan Raka, meski jari-jarinya tidak lagi menempel di pelatuk. Lalu… ia bicara. Dengan suara yang rendah dan dalam. “Pastikan Sekar datang dengan kesadaran penuh... tapi juga tanpa jalan keluar.” Raka tersenyum tipis namun tak terlihat “Buat perjanjian yang terlihat menguntungkan di matanya. Kalau perlu, ikat dia... agar tak bisa keluar. Aku ingin dia... berada dalam radius kendaliku. Sepenuhnya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN