Bagas menahan napas, matanya terus bergerak cepat mengamati setiap sudut ruangan. Dinding beton lembab itu terasa makin menekan, seakan udara pun ikut bersekongkol untuk mencekiknya. Damian di sebelahnya masih mengoceh, suaranya penuh racun yang menusuk kepala. “Apa kau pikir bisa keluar? Mereka semua sudah mencium bau takutmu, Bagas,” ucap Damian, nada suaranya seperti bisikan iblis yang menyeretnya semakin jauh ke dalam jurang. Bagas mengepalkan tangan. Diam. Jangan peduli. Fokus. Ia menatap pola langkah para penjaga. Ada jeda dua menit di antara pergantian patroli di pintu samping—celah kecil, tapi cukup jika dia nekat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia tahu, satu kesalahan saja akan membuat lehernya jadi taruhannya. Namun rasa takut harus ia bungkam, diganti tekad yang memb

