11

1341 Kata
Diajeng akhirnya bangkit dari duduknya, membuat tiga temannya langsung menoleh dengan dahi berkerut. “Mau ke mana, Jeng?” tanya Radit. Diajeng menegakkan bahunya, menyeringai kecil. “Gue mau karaokean. Boleh, kan?” Mita dan Niel saling berpandangan. “Sekarang?” “Sekarang,” jawab Diajeng mantap, lalu dengan percaya diri ia melangkah menuju panggung yang terletak di salah satu sudut ruangan. Meskipun ia berjalan santai, tapi aura yang dibawanya begitu mencolok. Gaun yang membalut tubuhnya begitu pas, mempertegas setiap lekukannya. Rambutnya yang tergerai sempurna ikut bergerak seiring langkahnya. Ditambah dengan ekspresi wajahnya yang penuh percaya diri, ia seperti magnet yang menarik perhatian siapa pun yang melihatnya. Tak sedikit mata yang melirik ke arahnya. Beberapa pria bahkan menyempatkan diri untuk menoleh, mengamati sosoknya yang penuh pesona. Dari meja mereka, Mita menahan tawa sambil menyikut Niel. “Eh, liat tuh. Gila, Jeng cakep banget malam ini.” Niel terkekeh. “Kayak artis.” Mita kembali menyikut Radit yang duduk di sebelahnya. “Gas, Dit! Kalau lo suka, jangan sampai ditikung orang.” Radit hanya mendengus kecil, tapi matanya tetap tertuju pada sosok Diajeng yang kini menaiki panggung. Ada sesuatu dalam dirinya yang terasa aneh saat melihat wanita itu di sana. Begitu sampai di panggung, Diajeng mengambil mikrofon dengan anggun. Ia tidak langsung bernyanyi, melainkan menatap seluruh ruangan sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Selamat malam,” katanya, suaranya terdengar begitu jelas. Beberapa orang yang sedang menikmati malam mereka ikut menoleh, tertarik dengan sosok wanita cantik yang baru saja naik ke atas panggung. “Ada yang bilang, masa lalu itu sebaiknya dilupakan,” lanjutnya, nada suaranya sedikit lebih rendah. “Tapi ada beberapa masa lalu yang sialnya tetap membekas, nggak peduli sekeras apa pun kita mencoba untuk melupakannya.” Diajeng tersenyum miring, jemarinya meremas mikrofon lebih erat. “Malam ini gue mau menyanyikan satu lagu… untuk seseorang dari masa lalu.” Ia menekan tombol pemutar lagu, dan tak lama kemudian intro dari “Cry” – Rihanna mulai mengalun. Begitu Diajeng mulai menyanyikan bait pertamanya, suasana mendadak terasa berbeda. Suaranya terdengar begitu dalam, penuh emosi yang sulit dijelaskan. Matanya sedikit terpejam, seolah sedang membiarkan dirinya tenggelam dalam setiap lirik lagu yang ia nyanyikan. I’m not the type to get my heart broken… I’m not the type to get upset and cry… Radit yang sedari tadi memperhatikannya kini menatap tanpa berkedip. Matanya tak bisa lepas dari sosok wanita itu, dari caranya bernyanyi, dari setiap ekspresi yang ditunjukkan. “Gue nggak pernah lihat dia nyanyi se-emosional ini,” gumamnya pelan. Mita mengangguk setuju. “Kayak lagi nyanyi buat seseorang, ya?” Dan seseorang yang dimaksud itu… sedang duduk tak jauh dari mereka. Di meja lain, Bara yang awalnya sedang bercanda dengan wanita di sampingnya, kini menegang. Matanya menangkap sosok yang begitu familiar di atas panggung, dan ia langsung menyikut pria di sebelahnya. “Bang,” gumamnya, suaranya sedikit tegang. Bhaskara, yang sejak tadi tidak terlalu peduli dengan keadaan sekitar, akhirnya menoleh. Pandangannya mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Bara, dan detik berikutnya, tatapannya mengeras. Diajeng. Di panggung. Menyanyikan lagu itu, dengan ekspresi yang begitu dalam. Jemarinya mengetuk permukaan gelasnya pelan, rahangnya sedikit mengatup. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya saat melihat wanita itu di sana. Apa yang dia lakukan di tempat seperti ini? Dan lebih dari itu—kenapa dia terlihat begitu memikat malam ini? Bhaskara mengeram pelan, jemarinya mencengkeram gelasnya lebih erat. Matanya tetap terpaku pada Diajeng di atas panggung, suaranya yang merdu mengalun memenuhi ruangan, tetapi yang membuatnya mendidih bukan hanya itu. Melainkan fakta bahwa dua pria sialan—Radit dan Niel—ada di sana, duduk di meja yang sama dengan gadisnya. Gadisnya. Ya, karena meskipun mereka terus berpura-pura bahwa ini hanya pernikahan berdasarkan status, Bhaskara tahu satu hal yang pasti—Diajeng miliknya. Namun, saat ini, gadisnya itu berdiri di atas panggung, bernyanyi dengan penuh emosi, di depan dua pria yang selama ini mengitari hidupnya. Dan dia benci melihat itu. Benci melihat Radit yang menatap Diajeng dengan terlalu banyak kekaguman di matanya. Benci melihat Niel yang sesekali tersenyum kecil, menikmati suara wanita itu. Bhaskara meneguk minumannya dengan kasar, mencoba mengusir amarah yang mulai menyelimuti dadanya. Sementara itu, di sampingnya, wanita bergaun hitam yang sedari tadi menempel padanya semakin berani. Dia mencondongkan tubuh, tangannya menyentuh lengan Bhaskara dengan tatapan menggoda. "Kayaknya cewek itu nyanyi buat seseorang, ya?" katanya dengan suara manja. Bhaskara tidak menanggapinya. Matanya masih terpaku pada Diajeng. Wanita itu terkekeh, lalu melanjutkan, "Atau jangan-jangan… buat cowok di meja itu?" ujarnya, matanya melirik sekilas ke arah Radit dan Niel. Bhaskara mendadak ingin menghantam meja. "Kasihan banget, sih. Kayaknya ada yang ditikung," lanjut wanita itu, suaranya semakin menyebalkan. "Mungkin dia udah punya pacar baru? Atau mungkin... dia lebih suka sama—" BRAK! Bhaskara meletakkan gelasnya dengan kasar, membuat wanita itu tersentak. Tatapan dinginnya beralih padanya. "Diam." Satu kata, diucapkan dengan nada rendah, tapi sarat dengan ancaman. Wanita itu langsung beringsut mundur, wajahnya sedikit pucat. Bhaskara mengalihkan pandangannya kembali ke panggung, ke arah Diajeng yang masih bernyanyi dengan penuh perasaan. Bagus. Nikmati waktumu, Diajeng. Karena setelah ini, aku akan memastikan kamu tidak bisa lepas dariku lagi. Bara menepuk bahu abangnya pelan, mencoba meredam aura berbahaya yang memancar dari pria itu. "Tenang, Bang," gumamnya, sedikit mencondongkan tubuh agar suaranya hanya bisa didengar Bhaskara. "Jangan buat keributan di Club gue." Bhaskara tidak segera merespons. Rahangnya masih mengeras, dadanya naik turun perlahan menahan emosi yang terus mendidih. Baru setelah beberapa detik, ia akhirnya menggerakkan tangan, meraih ponselnya yang tergeletak di meja. Layarnya menyala, menampilkan pesan terbaru yang masuk. > Wah, cepat banget dapet hiburan. Pantas nggak pulang-pulang. Nikmatin aja, toh kita cuma status, kan? Bhaskara menyipitkan matanya, menghela napas panjang sebelum mengumpat pelan. "s**t!." Diajeng tahu. Tahu jika dia ada di sini. Tahu ada wanita lain di sampingnya. Sialan. "b*****t!" Bhaskara mengumpat lebih keras kali ini, membuat Bara dan temannya, Ibra, menoleh dengan kaget. "Ada apa sih, Bang?" Bara bertanya, ekspresinya bingung. Bhaskara tidak menjawab. Tatapannya kembali ke panggung, di mana Diajeng masih berdiri di sana, suaranya mengalun dengan penuh emosi. Tapi kali ini, dia menangkap sesuatu di mata wanita itu. Sindiran. Dan rasa sakit. Brengsek. Tanpa sadar, tangannya kembali mencengkeram gelasnya. "Bara," panggilnya, suaranya rendah dan tajam. Adiknya menegakkan punggungnya. "Ya?" "Kalau gue bikin masalah di sini, maafin gue duluan," ucapnya datar. Bara membelalak. "Anjir, Bang! Jangan gila lo! Ini tempat gue!" Tapi Bhaskara tidak peduli. Matanya tetap pada satu sosok di panggung. Diajeng, permainan ini sudah selesai. Lo pikir lo bisa lolos dari gue? Salah besar. Lampu-lampu neon berkedip liar, mengikuti irama musik yang menghentak dari DJ booth di ujung ruangan. Remix "Hush Hush" dari Pussycat Dolls yang dipadukan dengan "Sacrifice" milik The Weeknd menggema, menciptakan atmosfer panas dan menggila di lantai dansa. Diajeng dan Mita sudah berada di tengah kerumunan, tubuh mereka bergerak mengikuti dentuman bass yang mengguncang d**a. Malam ini, Diajeng ingin melupakan segalanya. Tangan Mita terangkat ke udara, kepalanya menoleh ke Diajeng dengan tawa lepas. "Anjir, Jeng! Ini lagu gue banget!" Diajeng tertawa, rambutnya yang tergerai ikut bergoyang seiring pergerakannya. "Lo semua lagu juga lo bilang lagu lo banget!" sahutnya, ikut terbawa dalam alunan musik. Mereka bergerak dengan bebas, sesekali menarik perhatian beberapa pria yang berdansa di sekitar mereka. Tapi Diajeng tidak peduli. Malam ini, ia hanya ingin menikmati kebebasan, meskipun hanya sebentar. Di meja mereka sebelumnya, Radit dan Niel saling bertukar pandang dengan cemas. "Gue nggak yakin ini ide bagus," gumam Radit, matanya menatap tajam ke arah Diajeng dan Mita yang semakin liar di lantai dansa. Niel mendengus, meneguk minumannya sebelum meletakkan gelasnya dengan keras. "Ya udah, ayo kita turun." Tanpa banyak bicara lagi, mereka berdua segera bergerak, menerobos kerumunan untuk mencapai dua wanita itu. Diajeng sendiri entah sudah menenggak berapa gelas minuman, tapi kesadarannya masih cukup terjaga. Setidaknya, untuk sekarang. Namun, tubuhnya terasa lebih ringan, gerakannya lebih lepas, dan pikirannya… ah, pikirannya masih penuh dengan rasa sesak yang ia benci. Saat itu juga, tangan seseorang menyentuh pinggangnya dengan berani. Refleks, Diajeng menoleh, dan matanya bertemu dengan sepasang mata asing yang menatapnya dengan minat. Tapi sebelum pria itu bisa berbuat lebih jauh— Sebuah tangan lain lebih dulu menariknya dengan kasar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN