Bhaskara sudah menduga bahwa Diajeng akan selalu membuatnya kesal, tapi malam ini wanita itu benar-benar melewati batas.
Mengenakan kemeja putih miliknya yang jelas terlalu besar di tubuh mungil Diajeng, wanita itu duduk santai di ranjang, bersila dengan laptop di pangkuannya. Seolah tidak ada yang salah dengan cara ia berpakaian, seolah ia tidak menyadari bahwa kemeja itu tersingkap sedikit, memperlihatkan pahanya yang mulus.
Bhaskara berusaha fokus pada laptopnya sendiri, tapi gagal total.
Sialan.
Pria itu menarik napas panjang, berusaha mengendalikan diri. Namun, saat Diajeng dengan santainya menguncir rambutnya ke atas, menampilkan leher jenjang dan kulitnya yang halus, Bhaskara nyaris mengumpat. Ia menekan lidahnya ke langit-langit mulut, mencoba menahan godaan yang jelas-jelas dipertontonkan di hadapannya.
“Bhas, lusa aku ke Kediri, ya?” suara Diajeng memecah konsentrasinya.
Bhaskara menggerakkan matanya, menatap istrinya dengan ekspresi datar.
“Bukankah saya sudah bilang kalau kamu sekretaris saya?” tanyanya tenang, meski dalam hati ia masih berusaha mengatur napasnya.
Diajeng menoleh, menatapnya tanpa gentar. “Kan aku juga udah bilang kalau aku nggak mau?”
“Ini bukan penawaran, Diajeng. Ini perintah,” balas Bhaskara, kini menutup laptopnya.
Diajeng menghela napas panjang, lalu menatapnya tajam. “Nggak segampang itu, Bhas.”
“Gampang kalau dengan saya.”
“Ck.” Diajeng mendengus, jelas kesal. “Kenapa sih maksa banget?” Ia merengut, menutup laptopnya dengan kasar. “Ada proyek yang belum selesai di tim aku.”
“Biar saya yang atur,” ucap Bhaskara datar, kembali menyandarkan tubuhnya ke sofa.
Diajeng mendecak, lalu menatapnya dengan tatapan sebal. “Enak banget ya kalau jadi yang punya. Tinggal ngomong doang langsung jadi.”
Bhaskara tersenyum miring, lalu bangkit dari sofanya. Langkah kakinya berat dan penuh ketegasan saat ia berjalan mendekati Diajeng. Wanita itu tampak tidak menyadari bahaya yang sedang mengintainya, sampai Bhaskara sudah berdiri tepat di depan tempat tidur.
Pria itu mencondongkan tubuhnya, menempatkan kedua tangannya di samping Diajeng, mengurungnya dengan d******i penuh.
“Makanya,” bisiknya pelan, suaranya rendah dan menggetarkan. “Nikmati aja, Sayang. Toh, jadi istri pemilik perusahaan seharusnya menguntungkan, kan?”
Diajeng menelan ludah, merasa jantungnya tiba-tiba berdetak lebih cepat. Namun, ia menolak untuk tunduk pada permainan Bhaskara.
“Oh, keuntungan ya?” Diajeng menaikkan sebelah alisnya, lalu dengan berani melingkarkan lengannya di leher pria itu, menariknya sedikit lebih dekat. Bibirnya melengkung dalam seringai kecil. “Kalau begitu, aku juga bisa minta satu keuntungan dari pernikahan ini, kan?”
Mata Bhaskara menyipit. Ia jelas tidak menyangka Diajeng akan membalas godaannya.
“Keuntungan apa?” tanyanya, suaranya sedikit serak karena jarak mereka yang begitu dekat.
Diajeng mendekatkan wajahnya ke telinga pria itu, membuat napas hangatnya mengenai kulit Bhaskara.
“Tidur. Sendiri. Malam ini,” bisiknya, sebelum dengan cekatan ia mendorong d**a Bhaskara, membuat pria itu kehilangan keseimbangan sesaat.
Diajeng tertawa pelan saat melihat ekspresi Bhaskara yang jelas tidak terima dengan aksinya barusan.
“Selamat malam, Pak Bos,” ucapnya sambil menarik selimut dan membalikkan tubuhnya, meninggalkan Bhaskara yang masih berdiri di tempatnya dengan rahang mengencang.
Sial. Wanita ini benar-benar keterlaluan. Bhaskara menatap punggung Diajeng yang berselimut, lalu menghembuskan napas panjang.
**
Pagi itu, aroma harum dari dapur mansion keluarga Bhaskara menyambut Diajeng.
Daripada hanya diam di kamar dan berisiko bertemu dengan Bhaskara yang mungkin masih menyimpan dendam karena kejadian tadi malam, lebih baik ia melakukan sesuatu yang berguna.
Ia memilih membantu para ART di sana, ikut memotong sayuran dan sesekali mencicipi rasa masakan yang sedang dimasak. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia memasak, dan anehnya, pagi ini ia merasa lebih tenang melakukannya.
“Diajeng?”
Suara lembut itu membuatnya menoleh. Mama Mira berjalan masuk ke dapur dengan senyum hangatnya. Wanita paruh baya itu memang dikenal ramah, dan dari dulu Diajeng selalu merasa nyaman di dekatnya.
“Mama,” sapa Diajeng sambil tersenyum. “Biasanya Mama juga masak pagi-pagi, ya?”
Mama Mira terkekeh kecil. “Tentu. Papa Bhaskara selalu suka kopi buatan Mama. Sudah kebiasaan, meski sekarang ada yang bikin, Mama tetap mau buat sendiri.”
Diajeng melirik sekilas ke arah mesin kopi, lalu kembali menatap Mama Mira. “Bhaskara masih suka kopi, Ma?”
Mama Mira menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Kamu lupa? Dia itu pecinta kopi garis keras.”
Diajeng tersenyum miring, lalu mengalihkan pandangannya ke cangkir-cangkir yang mulai disiapkan oleh ART. Dulu, ia juga ingat Bhaskara selalu minum kopi setiap pagi.
Waktu mereka masih kecil, ia selalu melihat Bhaskara menyesap kopi hitam buatan Mamanya di teras belakang rumah. Diajeng yang saat itu masih kecil suka mengernyit karena heran, bagaimana bisa seseorang menikmati minuman sepahit itu?
Tapi itu dulu.
Sekarang, ia tidak tahu apakah kebiasaan itu masih bertahan atau tidak. Apakah Bhaskara masih memulai harinya dengan secangkir kopi pahit? Apakah ia masih punya kebiasaan menikmati aroma kopi sebelum menyesapnya?
Entah kenapa, mengingat hal-hal kecil itu membuat hatinya terasa aneh.
“Kalau begitu, boleh aku buatkan kopinya?” tanyanya tiba-tiba, membuat Mama Mira sedikit terkejut.
Wanita itu tersenyum, lalu mengangguk. “Tentu. Mungkin dia akan senang kalau kopinya dibuat oleh istrinya sendiri.”
Diajeng pura-pura tidak mendengar nada menggoda dalam suara Mama Mira. Ia hanya menghela napas dan mulai menyiapkan kopi.
Entah Bhaskara masih menyukai kopi atau tidak, setidaknya pagi ini, ia ingin tahu satu hal kecil tentang pria itu yang pernah ia kenal.
Diajeng membawa secangkir kopi ke lantai atas, menuju kamar yang ia tempati semalam—kamar Bhaskara.
Aroma kopi yang pahit bercampur dengan hawa pagi yang masih terasa dingin. Ia menggigit bibirnya, sedikit ragu. Kenapa harus dia yang repot-repot membawakan kopi ini? Ah, mungkin karena semalam ia melihat sendiri bagaimana Bhaskara tertidur di sofa sempit, sementara ranjang empuk itu tetap kosong di bagian sisi lain.
Saat membuka pintu, matanya langsung menangkap pemandangan yang membuat langkahnya terhenti.
Bhaskara masih tertidur di sofa.
Pria itu selalu tidur dengan tanpa atasan, memperlihatkan tubuhnya yang kekar, karena selimut yang tersingkalp. Napasnya teratur, satu tangan menutupi matanya, sementara kaki panjangnya tertekuk, berusaha menyesuaikan diri dengan ruang yang sempit.
Diajeng menghela napas panjang. Pasti pegal.
Sofa itu jelas terlalu kecil untuk tubuh tinggi dan besar seperti Bhaskara. Sebagian tubuhnya bahkan menjulur keluar, terlihat begitu tidak nyaman. Udara pagi yang dingin juga tidak membantu, terlebih pria itu hanya berselimutkan selimut tipis yang ia gunakan semalam.
Sesaat, ada perasaan tak tega yang hinggap di d**a Diajeng. Tapi ya sudahlah. Salah sendiri, kenapa nggak tidur di ranjang? Tapi kan memang Diajeng yang nyuruh.
Ia mendekat, meletakkan kopi di meja kecil di samping sofa, lalu berjongkok di dekatnya.
“Bhaskara.” Ia memanggil pelan.
Tidak ada reaksi.
Diajeng mendesah, lalu mencoba mengguncang lengan pria itu. “Bhas, bangun. Pindah ke tempat tidur, nanti sakit punggung.”
Bhaskara hanya bergumam kecil, seolah masih terlalu malas untuk membuka mata.
“Bhas, ayo bangun,” ulang Diajeng, sedikit lebih tegas.
Tiba-tiba, tanpa peringatan, tangan besar itu bergerak cepat, menarik pergelangan tangannya.
Diajeng terpekik kaget saat tubuhnya kehilangan keseimbangan dan jatuh tepat ke d**a bidang Bhaskara.
“Astaga! Bhaskara—”
Tangan pria itu semakin erat melingkar di pinggangnya, menahan agar ia tidak bergerak. Diajeng bisa merasakan napas hangatnya menyapu tengkuknya, membuat bulu kuduknya meremang.
“Bhas, lepasin. Sempit.” Ia mencoba memberontak, tetapi justru semakin terkunci dalam dekapan pria itu.
Alih-alih menjawab, Bhaskara hanya bergumam malas, lalu wajahnya bergerak ke belakang leher Diajeng.
Diajeng membeku.
Oh, sial.
Apa yang pria ini lakukan?
Jantungnya berdetak lebih cepat saat ia merasakan bibir Bhaskara menyentuh kulitnya sekilas. Bukan ciuman, hanya napas hangat yang menggelitik kulitnya, tetapi efeknya lebih dari cukup untuk membuatnya kaku di tempat.
Ia bisa saja berteriak. Bisa saja menendang Bhaskara dan melepaskan diri. Tapi anehnya, tubuhnya diam saja.
Ah, dia juga tidak tahu kenapa. Mungkin karena dekapan itu... terasa nyaman.