Pagi itu, mentari Surabaya belum meninggi, namun keheningan rumah sakit telah pecah sejak fajar oleh langkah-langkah pelan para perawat dan keluarga yang mengantar pasien keluar. Di salah satu kamar eksklusif lantai tiga, suasana tak kalah senyapnya. Diajeng duduk di tepi ranjang, mengenakan dress biru muda yang baru saja dibantu Bhaskara kenakan. Rambut panjangnya dibiarkan terurai, sedikit kusut. Tatapannya kosong menatap jendela, tubuhnya sudah siap pulang, namun tidak hatinya. Tidak jiwanya. Bhaskara tahu. Dan ia memilih untuk tidak memaksa. Tak ada gunanya memohon kata-kata dari seseorang yang hatinya tengah retak. Ia hanya memastikan semua beres. Dengan telaten, ia melipat pakaian istrinya ke dalam tas, mengecek obat-obatan, lalu kembali ke sisi ranjang. “Sayang…” Bhaskara mengulu

