13

1152 Kata
Mereka kini berada di dalam kamar, dengan Diajeng yang sepenuhnya berada dalam kendali Jayanta Bhaskara. Napas Bhaskara berat, matanya gelap, dipenuhi obsesi yang tak bisa ia kendalikan. Bibirnya kembali menemukan milik Diajeng, mencicipi manis yang tercampur jejak alkohol. Ia merasakan setiap helaan napas gadis itu, setiap getaran yang mengalir di tubuhnya. Ada kemarahan, ada kerinduan, ada luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Bhaskara meremas rahangnya sendiri, mencoba menahan sesuatu yang bergemuruh di dalam dadanya. Namun, melihat Diajeng di hadapannya—melihat mata itu yang selalu berhasil membuatnya gila—membuat semua pertahanannya runtuh. “This is what you do to me...” suaranya serak, nyaris seperti gumaman. “You drive me insane, Diajeng...” Diajeng menggigit bibirnya, tubuhnya terasa panas oleh intensitas tatapan pria itu. “I won’t let you go,” Bhaskara berbisik lagi, tangannya menggenggam sisi wajah Diajeng, ibu jarinya mengusap pipi gadis itu dengan lembut namun penuh klaim. “You are mine.” Diajeng menelan ludah, jantungnya berdebar keras di dalam dadanya. Entah ini cinta, entah ini benci—yang jelas, mereka sama-sama terjebak dalam badai yang mereka ciptakan sendiri. Bhaskara menatap Diajeng dalam-dalam, seolah ingin mengukir setiap inci wajahnya ke dalam ingatan. Jari-jarinya menyusuri pipi gadis itu, turun ke rahang, lalu berhenti di lehernya yang berdenyut cepat. Diajeng menggigit bibirnya, tubuhnya menegang di bawah sorotan mata Bhaskara yang penuh dengan sesuatu yang tak ia mengerti—atau mungkin tak ingin ia akui. Ia bisa merasakan panas dari napas pria itu, begitu dekat, begitu mendominasi. "Diajeng..." Bhaskara berbisik, suaranya rendah, hampir seperti geraman. Diajeng menelan ludah, ingin menghindari tatapan itu, tapi Bhaskara tak memberinya kesempatan. Dengan gerakan lembut namun pasti, pria itu mendekatkan wajahnya, menyapu bibirnya ke bibir Diajeng, mencicipinya perlahan sebelum akhirnya menekan ciumannya lebih dalam. Hangat. Menggila. Memabukkan. Diajeng meremas lengan Bhaskara, napasnya tersengal ketika pria itu tak memberinya ruang untuk berpikir, hanya untuk merasakan. Dada mereka saling bersentuhan, kehangatan yang mengalir di antara mereka semakin nyata. Sentuhan Bhaskara semakin menuntut, namun di saat yang sama, juga penuh dengan sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar obsesi. Seolah ia ingin memastikan, mengukuhkan, bahwa Diajeng benar-benar ada di sini bersamanya. Ketika akhirnya pakaian mereka perlahan luruh, Diajeng merasakan dinginnya udara malam yang bertolak belakang dengan panas yang membakar di kulitnya. Bhaskara menatapnya sejenak, rahangnya mengeras, seolah berperang dengan pikirannya sendiri. Namun, saat tangan mereka saling mencari dan napas mereka berpadu dalam keheningan kamar yang temaram, tak ada lagi ruang untuk ragu. Malam itu, untuk pertama kalinya, mereka menyatu dalam cara yang seharusnya menyatukan dua insan. Namun pertanyaannya—apakah ini karena cinta, atau hanya sekadar keinginan untuk saling memiliki? Diajeng menggigit bibirnya, tubuhnya masih diliputi sensasi asing yang membuatnya tak bisa berpikir jernih. Dadanya naik-turun, mencoba mengatur napas yang terasa berantakan setelah semua yang terjadi di antara mereka. Bhaskara masih di atasnya, matanya menatap tajam ke dalam milik Diajeng, seolah mencari sesuatu yang belum bisa ia temukan. Jari-jari pria itu menyusuri garis rahangnya dengan lembut, kontras dengan intensitas yang baru saja mereka lalui. "Kamu milik saya, Diajeng," bisiknya, suaranya rendah dan berat. "Selalu." Diajeng menelan ludah, ingin mengalihkan pandangannya, tapi Bhaskara menangkup dagunya, memaksanya untuk tetap menatapnya. "Gue bukan milik lo," Diajeng berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. Bhaskara menyipitkan mata. "Katakan itu sekali lagi," tantangnya. Diajeng terdiam. Ia tidak bisa. Karena di balik penyangkalannya, tubuhnya sendiri telah mengkhianati dirinya. Ia bisa merasakan betapa setiap inci tubuhnya merespons pria ini. Bhaskara tersenyum miring, seolah membaca isi pikirannya. "Saya nggak akan membiarkan kamu lari, Diajeng," katanya pelan, penuh keyakinan. "Apapun yang terjadi, kamu tetap istri saya." Diajeng merasakan hatinya mencelos. Ini bukan sekadar pernyataan. Ini adalah klaim. Dan yang lebih buruknya lagi—ia tahu bahwa Bhaskara tidak main-main. *** Diajeng membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat. Kepalanya berdenyut, efek dari alkohol masih terasa samar di tubuhnya. Aroma samar bercampur antara alkohol dan wangi maskulin khas Bhaskara memenuhi hidungnya, membuatnya seketika sadar akan posisi dirinya saat ini. Ia mendapati dirinya terjebak dalam pelukan Bhaskara. Tanpa sehelai benang pun. Jantungnya berdetak kencang saat ingatan tentang malam sebelumnya menyerbu pikirannya. Sentuhan, desahan, klaim penuh obsesi, serta setiap bisikan yang Bhaskara ucapkan dalam bahasa yang masih melekat di pikirannya. Diajeng menelan ludah. Dadanya terasa sesak. Bukan hanya karena kenyataan bahwa ia telah menyerahkan dirinya sepenuhnya pada pria ini, tapi juga karena luka yang kembali terbuka. Ingatan tentang Bhaskara yang duduk dengan wanita lain tadi malam membuat perutnya terasa mual. Tangannya mencengkeram seprai, mencoba menahan getaran di tubuhnya. Tapi hatinya terlalu sakit. Air mata mulai menggenang di sudut matanya. Bukan begini yang ia bayangkan. Selama ini, ia menjaga dirinya untuk seseorang yang benar-benar ia cintai. Untuk seseorang yang akan memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Bukan dalam keadaan seperti ini. Bukan dengan pria yang bahkan tidak bisa ia kenali lagi. Bhaskara yang sekarang berbeda. Bukan lagi lelaki yang dulu ia tunggu dengan penuh harap. Diajeng buru-buru beringsut dari tempat tidur, berusaha keluar dari dekapan Bhaskara tanpa membangunkannya. Setiap gerakan kecil membuat tubuhnya terasa nyeri, mengingat betapa gilanya pria itu tadi malam. Entah berapa kali Bhaskara menanamkan benihnya dalam rahimnya. Diajeng menggigit bibirnya, menahan isak saat berhasil turun dari ranjang. Dengan susah payah, ia meraih kemeja putih Bhaskara yang tergeletak di lantai, lalu memakainya seadanya sebelum berjalan ke kamar mandi dengan langkah tertatih. Begitu pintu terkunci, ia langsung jatuh berlutut di lantai marmer dingin. Tangis yang ia tahan akhirnya pecah. Ia menangis dalam diam, membiarkan air matanya jatuh tanpa henti. Menyesali semuanya. Menyesali betapa mudahnya ia menyerahkan dirinya kepada Bhaskara. Menyesali bahwa pria itu, yang dulu ia cintai, kini hanya menjadi seseorang yang tak lagi bisa ia kenali. Diajeng membiarkan air dingin menyentuh kulitnya, mencoba meredakan panas yang masih tersisa di tubuhnya—panas yang tidak hanya berasal dari malam yang ia lalui, tapi juga dari rasa amarah dan penyesalan yang terus menggerogoti hatinya. Ia menatap bayangannya di cermin. Mata sembab, bibir sedikit membengkak, dan lehernya penuh tanda kepemilikan. Bukti bagaimana Bhaskara mengklaimnya tanpa ampun. Brengsek. Tangan Diajeng mengepal. Bagaimana bisa ia membiarkan dirinya tenggelam dalam jebakan perasaan yang seharusnya sudah ia buang bertahun-tahun lalu? Bagaimana bisa tubuhnya masih merespons pria itu, sementara hatinya berteriak menolak? Air matanya kembali jatuh. Ia menggosok wajahnya kasar, mencoba menenangkan diri. Tidak, ia tidak bisa terus seperti ini. Tidak bisa terus menangisi seseorang yang bahkan tidak lagi peduli padanya. Setelah beberapa saat, Diajeng akhirnya menguatkan diri untuk keluar dari kamar mandi. Tubuhnya masih terasa lemah, tapi ia tidak bisa berlama-lama di sini. Saat membuka pintu, langkahnya terhenti. Bhaskara berdiri di depan pintu, tubuhnya hanya dibalut celana tidur. Mata tajamnya mengunci sosok Diajeng yang kini hanya mengenakan kemeja putih miliknya. Diajeng menegakkan tubuhnya, berusaha menunjukkan bahwa ia baik-baik saja. Bahwa ia tidak terpengaruh. Tapi Bhaskara lebih jeli dari itu. Mata pria itu menelusuri wajahnya, lalu turun ke lehernya yang masih memerah. Rahangnya mengeras. "Kamu nangis?" Suaranya rendah, dalam, nyaris berbisik. Diajeng membuang muka. "Ngapain gue nangis?" "Diajeng." Nada suara itu berubah, lebih lembut, tapi juga berbahaya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN