1

1147 Kata
Hari ini, Diajeng Kaluna resmi menjadi istri dari Jayanta Bhaskara. Namun, alih-alih merasakan kebahagiaan yang seharusnya menyertai momen sakral ini, hatinya justru terasa kosong. Seolah dirinya baru saja melangkah ke dalam dunia yang asing, dunia yang belum bisa ia pahami sepenuhnya. Di depannya, pantulan dirinya di cermin kamar hotel terlihat begitu sempurna dalam balutan gaun pengantin berwarna putih gading yang masih melekat di tubuhnya. Namun, wajahnya menampilkan ekspresi yang jauh dari kata bahagia. Di belakangnya, Bhaskara berdiri dengan ekspresi datar, seolah pernikahan ini tidak berarti apa pun baginya. Pria itu tanpa ragu melepas jas putih yang sejak tadi membungkus tubuhnya, melemparkannya begitu saja ke sofa dekat ranjang. Diajeng mengerjap pelan, menatapnya melalui pantulan cermin. Jayanta Bhaskara. Pria yang dulu pernah mengisi hari-harinya sebagai teman masa kecil. Seseorang yang selalu ada untuknya, yang dulu begitu hangat dan penuh perhatian. Namun kini, Bhaskara bukan lagi orang yang sama. Bertahun-tahun berpisah membuatnya berubah menjadi seseorang yang asing. "Saya tidak akan berbasa-basi," ucapnya tiba-tiba, suaranya dingin tanpa emosi. "Sebenarnya, saya tidak setuju dengan pernikahan ini. Jadi, jangan berharap lebih dari saya." Diajeng menghentikan gerakannya yang hendak meraih resleting di belakang tubuhnya. Matanya membulat, namun ia berusaha menjaga ekspresinya tetap netral. "Lalu kenapa kamu menerimanya?" tanyanya, suaranya bergetar, tapi ia berusaha terdengar setenang mungkin. Bhaskara tidak langsung menjawab. Pria itu berjalan ke arah meja, mengambil segelas air mineral dan meminumnya sebelum akhirnya menatap Diajeng melalui pantulan cermin. "Saya hanya butuh kamu untuk mengambil alih Bagaskara Group," jawabnya tanpa ragu. "Meskipun, ada alasan lain yang membuat saya menerima pernikahan ini." Bagai dihantam dengan sesuatu yang berat, pernyataan Bhaskara membuat d**a Diajeng sesak. Jadi, ini bukan hanya tentang permintaan nenek Bhaskara yang sakit? Ada alasan lain yang selama ini tidak ia ketahui? Diajeng terkekeh pelan, nadanya terdengar pahit. "Oh, begitu? Kalau begitu, selamat. Kamu berhasil mendapatkan apa yang kamu inginkan, Tuan Bhaskara." Bhaskara tidak bereaksi, namun sorot matanya sedikit berubah saat Diajeng menyebutnya dengan sebutan formal. Belum sempat pria itu merespons, ia melangkah lebih dekat, membuat Diajeng secara refleks mundur. "Saya butuh satu hal lagi dari kamu," ucapnya pelan. Diajeng menoleh, menatap pria yang kini sudah melepas kemejanya, menyisakan hanya celana panjang hitam yang masih melekat di tubuhnya. Otot dadanya terlihat jelas, begitu pula tato yang menghiasi sisi kanan d**a hingga pinggang kirinya. Diajeng menelan ludah. "Apa lagi?" tanyanya dengan nada waspada. Bhaskara menatapnya lekat, tatapan yang membuat Diajeng semakin tidak nyaman. "Saya butuh keturunan dari kamu," ucapnya, seolah itu adalah hal yang sepele. "Barulah saya bisa mengambil alih Bagaskara sepenuhnya." Diajeng terdiam. Kali ini, bukan hanya rasa sesak yang ia rasakan, tetapi juga kemarahan yang menggelegak di dadanya. Teman kecilnya yang dulu begitu baik dan lembut… kini berbicara seolah dirinya hanya alat untuk memenuhi ambisinya. "b******n," gumamnya pelan, tapi cukup keras untuk didengar Bhaskara. Diajeng tersenyum kecut, menatap pria itu dengan sinis. "Maaf, Tuan Bhaskara, saya bukan mesin pencetak anak. Jadi, untuk apa saya menuruti permintaan konyol seperti itu?" Bhaskara melangkah maju dengan tatapan tajam. Dalam sekejap, tangannya meraih dagu Diajeng, mencengkeramnya cukup kuat untuk membuat wanita itu menahan napas. "Saya tidak pernah bermain-main dengan ucapan saya, Diajeng," desisnya tepat di depan wajahnya. "Kita lihat saja nanti apa yang akan saya lakukan kepadamu." Diajeng terkesiap. Namun, ia bukan Diajeng yang dulu. Ia menepis tangan Bhaskara dengan kasar, membuat pria itu sedikit terkejut. "Lepas, Bhas," suaranya bergetar, tapi penuh ketegasan. "Jangan pikir saya masih Diajeng yang kamu kenal dulu. Yang hanya bisa tersenyum dan mencintai kamu." Bhaskara menatapnya lama, ekspresinya sulit ditebak. Diajeng kembali berbicara, kali ini dengan suara yang lebih rendah namun sarat dengan peringatan. "Saya pun bisa melakukan apa yang harus saya lakukan." Tanpa menunggu reaksi dari Bhaskara, Diajeng segera berbalik dan masuk ke kamar mandi, menutup pintunya dengan kencang. Ia menempelkan punggungnya pada pintu, menarik napas dalam-dalam. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Tapi, tidak. Ia tidak akan menangis. Tidak di depan Bhaskara. Tidak untuk pria yang kini entah siapa baginya. Sebelas tahun lalu, Bhaskara akan pergi ke Australia, mengikuti kedua orang tuanya yang mengembangkan bisnis di sana. Mereka berjanji untuk bertemu sebelum keberangkatan Bhaskara. Namun, malam itu, sesuatu terjadi. Diajeng mengalami kecelakaan. Ia harus dilarikan ke rumah sakit. Bhaskara pergi tanpa sempat bertemu dengannya. Dan sekarang, ia kembali sebagai sosok yang berbeda. Sosok yang entah bagaimana… seakan membenci dirinya. Diajeng mengepalkan tangannya. Tidak. Ia tidak boleh larut dalam emosi ini. Masa lalu sudah berlalu, dan tidak ada gunanya mengingatnya lagi. Diajeng menghela napas berat sebelum melangkah menuju kamar mandi. Pikirannya masih dipenuhi berbagai hal yang membuat dadanya terasa sesak. Tanpa menghiraukan Bhaskara yang tampak sibuk dengan panggilan telepon di balkon, ia menutup pintu kamar mandi dan menyalakan shower. Air hangat mengalir deras dari pancuran di atas kepalanya, membasahi tubuhnya yang masih terasa lelah. Butiran air jatuh di kulitnya, menenangkan namun tidak mampu menghapus kekacauan dalam pikirannya. Diajeng memejamkan mata, membiarkan pikirannya mengembara ke beberapa hari yang lalu—hari di mana hidupnya berubah dalam sekejap. --- Saat itu, ia baru saja tiba di rumah orang tuanya di Kota Batu setelah enam bulan sibuk bekerja di Surabaya. Ia ingin menikmati waktu bersama keluarga, menghabiskan hari-hari santai tanpa memikirkan pekerjaan. Namun, belum lama ia duduk di ruang keluarga, sang ibu tiba-tiba mengajaknya bicara dengan nada yang terdengar terlalu serius. "Nduk, sebenarnya kepulanganmu kali ini bukan hanya untuk liburan. Ada sesuatu yang ingin Ayah dan Ibu bicarakan denganmu," ujar Bu Ana lembut, namun ada ketegangan dalam suaranya. Diajeng menoleh, menatap ibunya dengan alis sedikit berkerut. Ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman, karena tidak biasanya ibunya berbicara dengan nada seperti ini. "Iya, Bu? Mau bicara apa?" tanyanya, mencoba tetap tenang meskipun firasatnya mulai tidak enak. Pak Sasmito, yang sejak tadi duduk diam, akhirnya ikut bersuara. "Kamu masih ingat keluarga Bagaskara, kan?" Diajeng mengernyit, berusaha mengingat nama yang sudah lama tidak ia dengar. Perlahan, ingatan masa kecilnya muncul—tentang seorang anak laki-laki yang dulu selalu ada di sisinya, yang selalu tersenyum ramah dan melindunginya dari anak-anak nakal di kampung dan disekolah mereka. Bhaskara. Nama itu terasa asing sekaligus familiar di telinganya. "Iya, Ayah. Kenapa?" Sang ayah menarik napas panjang sebelum akhirnya menyampaikan kabar yang membuat dunia Diajeng seakan berhenti berputar. "Mereka datang untuk melamarmu, Nduk. Keluarga Bagaskara ingin menjodohkanmu dengan putranya, Bhaskara." Jantung Diajeng berdebar kencang, matanya membesar dalam keterkejutan. "Apa?" "Kami sudah mempertimbangkan ini, dan kami rasa ini adalah keputusan yang baik," tambah ibunya dengan suara lembut. Diajeng menggeleng, menolak untuk percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Tunggu sebentar. Aku baru pulang, dan sekarang kalian bilang aku akan dijodohkan? Dengan Bhaskara? Yang bahkan sudah bertahun-tahun tidak pernah bertemu denganku?" Pak Sasmito menatap putrinya dengan penuh kesabaran. "Ini permintaan nenek Bhaskara, Nduk. Kondisinya sudah tidak baik, dan beliau ingin melihat cucunya menikah sebelum waktunya habis." Diajeng masih terdiam, mencoba mencerna semuanya. Hatinya terasa kacau. "Dan kapan... kapan rencana pernikahan ini?" tanyanya, meskipun ia takut mendengar jawabannya. Pak Sasmito menatap putrinya dengan penuh kebimbangan sebelum akhirnya menghela napas berat. "Tiga hari lagi." ---
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN