Selesai mandi dan berganti pakaian Evan berniat untuk bicara dengan papanya dan malah tidak sengaja kembali bertemu dengan Mini yang sepertinya sedang membantu papanya untuk melakukan terapi. Ada beberapa perawat yang setiap hari rutin datang ke rumah mereka untuk melakukan terapi bagi tuan Serkan dan Rutmini sedang membantu meluruskan kaki tuan Serkan ketika putranya itu datang.
"Apa Papa sudah merasa lebih baik?" Evan langsung menghampiri papanya tanpa menghiraukan Rutmini yang saat itu juga duduk di dekat kursi terapi tuan Serkan.
"Terimakasih untuk sarapannya, " kata Evan kemudian saat berpaling pada Rutmini sebentar.
Sebenarnya Rutmini juga tidak pernah menyangka bang Evan bakal menyapanya jika mengingat keacuhannya sejak datang tadi. Tapi persis seperti yang Rutmini pikirkan, bang Evan adalah pria yang baik tidak mungkin dia mengabaikan tatakramanya meskipun mungkin sejatinya dia sama sekali tidak suka dengan kedatangannya di rumah ini.
"Ajaklah dia keluar untuk berjalan-jalan agar Mini tidak terus-terusan hanya menemani pria tua sepertimu," saran tuan Serkan kepada putranya.
Rutmini memang belum pernah pergi kemana-mana bahkan saat masih di kampung dulu dia juga cuma sering berada di rumah.
"Mungkin lain kali jika aku tidak sibuk. "
Mini tahu jika bang Evan hanya berusaha untuk tidak menyinggungnya. Setelah itu bang Evan hanya bertanya kepada para suster perihal perkembangan terapi tuan Serkan. Rutmini melihat sepertinya bang Evan juga sudah sangat dekat dengan kedua wanita muda yang setiap hari mengurus papanya itu.
"Apa Bang Evan sakit? " tanya salah satu dari mereka dengan penuh perhatian.
"Hanya sedikit flu, " jawabnya kemudian.
"Sini biar coba kuperiksa tekanan darahnya. "
Evan sepertinya tidak keberatan dan langsung mengulurkan lengannya.
"Nampaknya agak rendah, sebaiknya abang pergi ke dokter, atau perlu kami telepon dokter Hendy untuk kemari?"
"Tidak, nanti biar aku saja yang datang ke tempat prakteknya. "
Dokter Hendy adalah dokter keluarga mereka tapi Evan biasanya memang tidak mau merepotkan jika dia merasa kurang enak badan dia akan pergi sendiri.
"Bang Evan harus istirahat yang cukup, mungkin juga kecapekan, " saran salah seorang perawat papanya ketika kembali mengecek nadinya secara manual.
Sejauh ini Rutmini hanya memperhatikan tanpa berani terlibat dengan pembicaraan mereka. Jika dibanding perawat yang mengurus tuan Serkan saja Mini sudah merasa sangat kalah jauh lantas bagaimana dia bisa bermimpi putra tuan Serkan yang tampan itu bakal menyukainya. Rasanya memang mustahil. Rutmini tidak mau terlalu berharap karena dia juga tidak mau kecewa untuk berkhayal pria seperti bang Evan bakal menyukainya. Bang Evan juga tidak lagi mengajaknya bicara setelah perkara sarapan tadi bahkan sampai akhirnya dia berpamitan kepada papanya. Bang Evan pergi mengikuti saran kedua perawat tuan Serkan untuk menemui dokter Hendi.
Rutmini tahu jika kedua perawat itu juga pasti suka dengan pria seperti bang Evan yang memang sangat layak untuk diinginkan oleh siapapun, tapi bukan oleh gadis cupu seperti dirinya. Walaupun tidak bodoh dalam mata pelajaran tapi gadis seperti Rutmini pasti bukan tipe bagi pria seperti bang Evan.
Jika menilai kecantikan, setiap wanita bisa disebut cantik. Evan tidak akan terlalu menilai seseorang dari fisik meskipun diakui kesempurnaan fisik tetap membuatnya lebih nyaman. Tapi untuk gadis seperti Mini, rasanya masih sulit dia bayangkan untuk bisa mengimbanginya. Walau demikian Evan hanya tidak ingin menyinggung gadis sepolos Rutmini dan tetap berusaha bersikap baik dengan wanita pilihan papanya itu.
*****
Setelah dua hari tidak pergi ke kantor akhirnya hari ini Evan merasa sudah cukup sehat untuk kembali menjalankan rutinitasnya seperti biasa. Baru saja dia sampai dan Alex langsung menyambutnya dengan senyum jahil yang benar-benar tidak sedang ingin dia lihat.
"Sepertinya Mini mengurusmu dengan Baik, " goda Alex.
"Apa maksudmu memanggilnya seperti itu? " protes Evan terdengar kurang suka karena Alex juga sudah berhasil mempengaruhi semua orang rumah untuk memanggilnya Mini.
"Menurutku dia imut," santai Alex sambil mengerling pada Evan.
"Kesannya aku seperti harus mengurusi gadis di bawah umur. "
"Yang kudengar justru dia yang lebih pandai mengurusmu," pungkas Alex yang masih belum mau menyerah untuk menggoda adik iparnya.
"Jangan bilang mama yang bergosip seperti itu padamu!" Evan langsung berhenti untuk melotot pada Alex.
"Itu bukan gosip, " kedip Alex sambil pura-pura berbisik.
"Anggap saja ini mimpi buruk!" jengang Evan meratapi nasibnya yang sedang begitu sial.
Setelah terjebak dengan hadis kampung sekarang Evan juga masih harus menerima keusilan kakak iparnya yang tidak pernah sadar dengan perasaanya.
*****
Kemarin setelah Evan pulang dari Dokter ternyata tubuhnya malah menjadi demam, dia sempat menggigil dan mengurung dirinya di dalam kamar karena menolak pergi ke rumah sakit. Siapa yang menyangka jika saat itu justru si Mini yang paling telaten mengurusnya. Dia membuatkan minuman panas dan sedikit memaksa Evan untuk meminumnya. Tadinya Evan menolak karena agak risi juga jika tiba-tiba harus diperhatikan seperti itu, tapi sepertinya Rutmini memang bukan orang yang akan peduli meski ditolak beberapa kali asal menurutnya apa yang dia lakukan itu benar dia akan tetap ngotot.
"Kenapa kau masih kemari lagi? " heran Evan padahal dia sudah berulang kali mengatakan jika dia tidak ingin minum teh panas. Dia tidak suka teh, apa lagi jika teh itu dibuat oleh Rutmini.
"Bang Evan Harus minum yang panas-panas, memangnya bang Evan gak tau kalau virusnya cuma bakal mati dengan suhu tinggi, tu' buktinya badannya demam." Sepertinya Rutmini agak jengkel juga sebab sudah tiga kali dia membuat minuman panas dan selalu ditolak dengan alasan yang sama.
"Ayolah, Bang, gak usah melihat siapa yang bikin, aku bersumpah gak akan masukin racun atau jampi-jampi biar bikin Bang Evan tiba-tiba suka sama aku."
"Ah, bicara apa kau ini!" baru itu Evan melihat Mini lebih teliti dan heran bagaimana dia bisa bicara seperti itu dan tidak merasa aneh sama sekali.
"Ayo minum, Bang, ayo!" si Mini sudah mendorong gelasnya dengan sedikit memaksa.
"Kalau Bang Evan gak minum perutku bisa kembung karena harus menghabiskan minuman ini lagi. "
"Memangnya kau minum sendiri semua?" heran Evan setelah itu.
Mini mengangguk dan sepertinya dia memang serius.
"Kau bisa membuangnya, tidak perlu meminumnya."
"Tidak boleh buang-buang makanan, Bang, nanti mubazir. "
Tanpa ingin memperpanjang masalah yang pastinya bisa jadi semakin berbuntut panjang, akhirnya Evan mengalah. "Ya udah, sini tehnya! Tapi jangan bikin lagi nanti gantian perutku yang kembung!"
"Cepat habiskan pas panas-panas ya, Bang. "
"Iya, sini!" bang Evan segera mengambil gelas dari Mini dan benar-benar langsung meminumnya panas-panas tanpa jeda karena tidak tahan jika harus di usik terus oleh Rutmini yang ternyata paling susah di kasih tahu kalau merasa benar.
Pagi hari berikutnya ternyata bang Evan sudah bangun duluan. Nyonya Marisa langsung tahu jika putranya itu sedang tengak-tengok di pantry untuk mencari Rutmini tapi gengsi buat bertanya pada orang rumah.
Evan cuma agak heran karena tidak biasanya dia melihat mamanya ada di dapur.
"Jika kau mencari Mini, itu dia masih di kamarnya! " tegur nyonya marisa dan bang Evan langsung buru-buru menggeleng menolak tuduhannya.
"Sepertinya dia ikut tertular flu akibat kurang tidur dan kebanyakan dekat-dekat denganmu!"
Baru kemudian Evan terkejut dan bertanya, "Apa yang Mama lakukan?"
"Membuat minuman panas untuk Mini, karena dia tidak mau minum obat dan hanya mau minuman panas-panas!"
Dari nada bicara mamanya Evan langsung tahu jika sang mama juga baru kena efek samping dari keras kepalanya si Mini.
"Sini biar aku saja yang ngasih," tawar Evan ketika sudah berjalan mendekati mamanya.
"Kau mau melihatnya? " jelas ada niat jahil yang terselip dalam pertanyaan iseng mamanya itu saat tiba-tiba berhenti mengaduk teh dan menatap bang Evan.
"Tidak, aku hanya tidak ingin Mama ikut tertular, " kelit Evan buru-buru.
"Kasian sekali gadis itu bahkan sudah tidak memiliki orang tua, " sesal nyonya Marrisa sambil memperhatikan reaksi putranya.
"Jangan berlebihan, Ma, itu tidak akan berhasil!" potong Evan agar sang mama berhenti mengganggunya.
Evan tahu usaha sang mama untuk menarik belas kasihannya itu sangat payah, dia bukan tipe orang yang akan bersimpati pada wanita hanya karena drama macam itu. Karena menurut Evan, jika pun dia hanya kasian pada nasib Rutmini dia sangat bisa membantunya secara finansial tanpa perlu harus menikahinya segala, dan itu lebih masuk akal.
"Paling tidak berterimakasih lah karena dia bisa mengurusmu lebih baik dariku. "
"Akan kusampaikan rasa terimakasih Mama padanya," timpal Evan sebelum pergi membawa lemon tea panas yang baru selesai di buat oleh mamanya.
Evan mengetuk pintu dua kali sebelum akhirnya Mini mempersilahkannya masuk.
Rutmini sepertinya juga tidak menyangka jika yang masuk ke kamarnya adalah bang Evan. Mini buru-buru bangkit dan duduk, karena merasa canggung dan tidak enak ada pria masuk ke dalam kamarnya.
"Mama menyuruhku mengantar minuman panas dan kau harus meminumnya! " tegas bang Evan setengah mengancam sekaligus balas dendam walaupun Mini tahu pria itu sedang coba bercanda dengan selera humornya yang aneh.
"Terimakasih, Bang." Rutmini meraih gelasnya. "Aku jadi tidak enak karena merepotkan kalian semua."
"Sebenarnya kau tidak perlu merepotkan jika kemarin mau mendengarkan kata-kataku untuk menjauhiku."
"Tapi, Bang Evan sudah sembuh, kan? " tanya Mini cukup antusias meskipun hidung dan pipinya sudah seperti meleleh kemerahan karena gejala awal flu.
"Seperti yang kau lihat, aku sudah tidak bersembunyi di balik selimut lagi, tapi coba lihat dirimu! "
Rutmini kembali ter bersin-bersin dan menarik selimut untuk menutupi sebagian tubuhnya yang mulai terasa meriang.
"Jika itu virus yang sama seharusnya minuman ini berguna," kata bang Evan dan Rutmini segera meneguk minuman tersebut pelan-pelan sambil sesekali dia tiup untuk menguapi hidungnya.
Evan hanya memerhatikan apa yang dilakukan Rutmini.
"Yakin kau sama sekali tidak mau minum obat? karena sisa obatku kemarin masih ada jika kau mau? "
"Tidak, Bang, di kampung aku juga sudah biasa kehujanan, cuma flu seperti ini tidak akan lama," dan Rutmini kembali bersin-bersin lagi sampai hidungnya semakin merah.
"Jangan keluar kamar dulu jika kau tidak ingin menularkan virus ke seluruh penghuni rumah ini, nanti akan kubawakan masker untukmu."
Kemudian bang Evan keluar dari kamar Rutmini, dia sudah merasa sehat dan harus pergi ke kantor. Karena kasian jika Alex yang masih belum berpengalaman itu harus memimpin rapat seorang diri.
Tapi siapa yang menyangka jika ternyata Alex malah lebih bersemangat untuk menggodanya sepanjang hari itu.