Pergi Ke Italia

815 Kata
Beberapa jam kemudian, telepon dari Alehandro akhirnya masuk. Zelaza hampir tidak mau mengangkatnya. Tapi sebuah bagian dari dirinya, bagian yang masih mencintainya, ingin mendengar penjelasannya. Mungkin ada alasan. Mungkin itu rekayasa. “Zela? Sayang, aku …” suara Alehandro terdengar serak, panik. “Jangan panggil aku sayang!” cegah Zelaza, suaranya masih bergetar dan marah. “Apa yang bisa kau jelaskan dari video itu? Apa?!” “Zela, aku … aku tidak tahu itu direkam. Itu … itu kesalahan besar. Aku mabuk, kita sedang pesta setelah syuting, dan … dan itu terjadi begitu saja. Aku sangat menyesal.” “Mabuk? Pesta? Itu alasanmu?” teriak Zelaza. “Kau menghancurkan segalanya hanya karena mabuk? Dan selama ini kau pura-pura menerima prinsipku, padahal di belakang, kau ..." Kalimat Zelaza menggantung karena dia tak sanggup lagi melanjutkannya. “Tidak, Zela, sungguh! Aku menghormatimu! Aku mencintaimu! Ini … hubungan itu sama sekali tidak berarti apa-apa. Aku hanya--” “Hanya kebutuhan biologis?” potong Zelaza, dengan sarkasme yang tajam. “Seperti yang semua orang katakan? Jadi selama setahun ini, yang kau pikirkan hanya nafsumu? Bukan cintaku, bukan komitmenku, tapi hanya itu?” Alehandro terdiam. Diam yang bisa jadi merupakan pengakuan. “Kau tahu,” kata Zelaza, tiba-tiba suaranya menjadi dingin, dipenuhi rasa kecewa yang lebih menyakitkan daripada kemarahan. “Aku lebih menghormatimu jika kau jujur dari awal bahwa kau tidak sanggup menunggu. Aku memang akan merasa sangat sakit, tapi tidak akan merasa dipermainkan seperti ini. Kau membuatku merasa bodoh, direndahkan, dan dihakimi oleh seluruh dunia karena prinsip yang justru kau katakan kau kagumi.” “Zela, tolong … beri aku kesempatan. Kita bisa melalui ini. Aku akan …” “Tidak ada kita lagi,” ucap Zelaza dengan tegas. “Semuanya sudah selesai. Jangan hubungi aku lagi. Kita benar-benar PUTUS!!" Ia menutup telepon sebelum Alehandro bisa membela diri lagi. Melemparkan ponselnya ke seberang ruangan hingga pecah. Ia tidak ingin mendengar suaranya lagi. Tidak pernah lagi. * * Malam itu, Zelaza tidak bisa tidur. Ia duduk di balkon, memandang lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. Dunia yang tampak begitu indah dari ketinggian, tapi ternyata penuh dengan kepalsuan dan pengkhianatan yang menyakitkan. Ia ingat kata ayahnya. Mereka adalah keluarga Camorra. Mereka tidak akan membiarkan penghinaan seperti ini berlalu begitu saja. Alehandro mungkin telah menghancurkan hatinya, tetapi dia tidak akan menghancurkan hidupnya. Dia adalah Zelaza Camorra, wanita independent yang sukses dalam karirnnya serta memilik keluarga yang tak bisa dipandang sebelah mata. * * Tak lama, pintu terbuka dan sang manajer, Liliana masuk dengan langkah cepat. "Zela, are you okay?" ucapnya lembut dan memeluk Zelaza dengan hangat sambil mengusap bahunya. Camorra mengangguk pelan dan hanya menghela napas panjang karena dia sudah lelah menangis. “Li, aku ingin kau mengeluarkan pernyataan resmi. Katakan bahwa hubunganku dengan Alehandro resmi berakhir. Tidak perlu panjang lebar, cukup satu kalimat. Singkat, jelas, dan elegan tentunya. Katakan juga aku terlalu sibuk bekerja hingga tak sempat untuk konferensi pers.” “Are you sure, Zela? Maybe we should wait, strategize …” “Aku sangat yakin. Do it now,” perintah Zelaza dengan suara yang tidak lagi gemetar. “Dan tolong jadwalkan meeting besok pagi dengan semua brand yang selama ini merepresentasikan aku dan dia. Aku ingin memastikan kontrak-kontrakku aman." “Okay, Zela. I’ll handle it. But ... Are you … okay?” “Aku sedang tak ingin membicarakannya sekarang,” jawab Zelaza jujur. “Tapi aku akan baik-baik saja. Percayalah." "Apa kau butuh sesuatu?" "Ya, aku butuh ponsel baru. Dan kosongkan jadwalku sebulan ke depan. Aku ingin berlibur. Bisakah kau mencari tempat yang nyaman untukku berlibur? Secepatnya." Liliana mengangguk. "Baiklah. Besok lusa paling lambat aku akan menyelesaikan semuanya dan kau bisa berlibur dengan tenang." "Terima kasih, Li. Aku tak tahu jika tak ada kau bersamaku," sahut Zelaza. Liliana kembali memeluk Zelaza seakan ingin memberinya semangat. "Semuanya akan baik-baik saja dan berlalu dengan cepat," ucapnya. "Ya, terima kasih." * * * Dua hari kemudian ... Zelaza akhirnya mendapatkan jadwal liburan dan tempat liburan yang akan menjadi perjalangan healing-nya, melupakan semua masalah percintaannya yang kandas. Sebuah koper berwarna hijau pastel, berdiri setia di sampingnya. Di tangannya, terdapat boarding pass yang akan mengantarkannya ke Roma, Italia. Penerbangannya lancar. Zelaza menghabiskan sebagian besar waktu dengan menatap keluar jendela, menyaksikan awan-awan putih yang seperti kapas tak berujung, membayangkan hangatnya matahari Mediterania yang tak lama lagi akan menyambutnya. Ia membayangkan aroma garam dan angin laut, yang akan menggantikan aroma polusi kota dan kopi instan yang selama ini menjadi rutinitasnya. Dia ingin berjemur di pinggir pantai, berenang dan menyelam serta mengikuti kegiatan yang mungkin diadakan oleh warga lokal untuk mengalihkan pikirannya yang masih penuh dengan masalahnya yang rumit. Setelah mendarat dan melewati proses imigrasi yang membuat jantungnya berdebar-debar karena takut jika ada wartawan atau seseorang mengenalinya, akhirnya kini dia berdiri di tanah Italia. "Akhirnya," ucapnya sambil menghela napas panjang, lalu membenarkan letak topi serta maskernya agar tak ada yang mengenalinya. * * JANGAN LUPA KOMEN YANG BANYAAAAK YAAAKK…
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN