Bab 10. Mencari Rio

1065 Kata
Akbar baru pulang dari rumah sakit pada jam tujuh malam. Namun, pria itu tidak pulang ke rumah, dia pergi ke sebuah kafe tempat dia dan empat sahabatnya sering bertemu. Akbar dan empat sahabatnya sudah berteman sejak mereka masuk Fakultas Kedokteran. Di usianya sekarang mereka sudah menjadi dokter spesialis sesuai keinginan masing-masing dan bekerja di rumah sakit yang berbeda. Hanya Akbar saja yang menjadi direktur rumah sakit karena memang dia mewarisi dari papanya. Tiba di kafe, empat sahabat Akbar sudah berkumpul. Setelah turun dari mobil dia pun segera menghampiri meja keempat sahabatnya itu. “Wah, ini penganten baru sudah datang,” sapa Rio. “Gimana nih malam pertamanya? Sukses besar dong?” tanya Rio lagi. Akbar sendiri jengah dengan pertanyaan soal malam pertama. Dia pun menjawab sekenanya. “Ya, gitulah.” Taufan heran melihat reaksi Akbar. “Loh, kenapa? Eh, iya, cewek yang kamu nikahi itu kan bukan pacarmu, Bar? Kok bisa sih kamu malah nikah sama cewek lain?” Empat sahabat Akbar lainnya juga penasaran. “Iya nih, kamu belum cerita apa-apa ke kita nih.” Andi menagih Akbar supaya mau cerita jujur pada mereka. “Ya … semua ini gara-gara mama sih. Mama kan dijambret ya. Terus cewek itu yang nolongin mama, aku langsung ditodong supaya nikahi dia. Sebelumnya aku coba ajak Rara nikah, tapi dia enggak mau, aku ancam pun dia tetap enggak mau, ya sudah aku nikahi aja cewek itu buat bikin Rara menyesal karena sudah menolak ajakanku nikah.” “Terus Rara gimana?” “Ya, katanya sih dia nyesel karena biarin aku nikah sama Hana.” “Misalnya, Rara nyesel nih ya, kamu mau balikan sama Rara, Bar?” tanya Latief penasaran. “Aku belum tahu. Yang jelas aku enggak mungkin kan menceraikan Hana. Tahu sendiri kalian mamaku kayak gimana. Pasti dia marah besar, kan?” “Ya sudah, Bar, kamu jalani aja. Siapa tahu nanti kamu bisa jatuh cinta sama Hana, kan?” Tanpa sepengetahuan Akbar, teman-temannya sudah menyiapkan kejutan untuknya. Teman-teman Akbar sudah mencampurkan minuman Akbar dengan obat. Ketika Akbar minum dan menghabiskan minumannya, mereka tersenyum lebar, mereka menunggu sampai obat itu bereaksi. Tidak perlu menuggu lama obat itu pun bereaksi. “Kok, di sini gerah ya?” Akbar merasa kepanasan. “Ah, enggak kok. Itu cuma perasaan kamu aja, Bar!” jawab Rio. Padahal mereka mulai cekikikan melihat reaksi obat di tubuh Akbar. Karena efeknya semakin membuat Akbar kepanasan, dua oran teman Akbar pun mengantarkannya pulang ke rumah. Mereka tahu Akbar pasti tidak bisa menyetir dengan baik dalam pengaruh obat itu. Tiba di rumah, mereka memarkirkan mobil Akbar di rumahnya dan meninggalkannya di pintu depan rumah. Pada saat itu, dalam diri Akbar ada dorongan yang harus dia tuntaskan. Naas untuk Hana, ketika dia membukakan pintu depan rumah, tubuhnya ditarik ke kamar pria itu. Di sana Akbar mendorong tubuh Hana ke ranjangnya. Dia sudah tidak tahan untuk melepaskan sesuatu dalam dirinya dan melampiaskannya pada Hana. Semua terjadi begitu saja karena Hana tidak bisa melawan Akbar. Setelah semua terjadi, Hana berlinang air mata, dia merasakan sangat kesakitan. Ketika Akbar sudah tertidur dia pun keluar dari kamar Akbar lalu menuju kamarnya. Malam itu, Hana tidak bisa tidur. Masih terbayang-bayang dalam ingatannya apa yang tadi dilakukan Akbar padanya. Hana sendiri bingung mengapa Akbar bisa melakukan itu padanya. Besoknya, Akbar terbangun dalam keadaan bingung. Sprei di tempat tidurnya berantakan. Dia sendiri bingung melihat tubuhnya yang tertutup selimut. Rasa bingung Akbar ketika dia menyingkap selimut ada noda darah di sperinya. Dia memegangi kepalanya sambil berpikir. “Apa yang terjadi tadi malam?” Pria itu mencoba mengingat apa yang sudah terjadi. “Astaghfirullah, Hana!” Akbar segara turun dari tempat tidur dan memakai pakaiannya. Dia ingin memeriksa keadaan Hana. Dia sudah ingat apa yang dia lakukan tadi malam pada Hana. Pintu kamar Hana masih tertutup dan perempuan itu tidak terlihat di dapur ataupun di meja makan. Akbar pun mengetuk pintu kamar Hana. “Hana, kamu sudah bangun?” Tidak ada jawaban apa pun dari Hana. Akbar coba membuka pintu kamar Hana, tetapi pintunya terkunci. “Hana, kamu baik-baik aja, kan?” Masih tidak ada jawaban dari Hana. “Hana, maafkan saya karena tadi malam sudah berbuat kasar sama kamu, kamu mau maafin saya kan, Hana?” Tetap tidak ada jawaban dari Hana. Akbar mulai frustrasi, dia takut Hana akan melakukan sesuatu yang membahayakan nyawanya. Akbar pun mengetuk lagi kamar Hana. “Hana, kalau kamu sudah bangun, tolong buka pintunya. Kalau enggak saya akan dobrak pintu kamar kamu!” Tak lama kemudian, kunci pintu kamar Hana terbuka. Akbar segera masuk. Begitu dia melihat keadaan Hana yang berantakan karena perbuatannya, Akbar merasa sangat bersalah. Dia pun mendekati Hana yang sedang duduk di tepi tampat tidur. “Hana … maafkan saya, semua ini gara-gara teman-teman saya yang b******k dan sialan itu. Sepertinya mereka mencampurkan sesuatu pada minuman saya tadi malam. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Kamu mau kan maafkan saya?” Hana cuma mengangguk. “Kamu sakit, Han?” Hana menggeleng. “Ya sudah kamu mandi dulu, biar saya belikan kamu sarapan, hari ini kamu tidak usah ke mana-mana. Istirahat saja di rumah ya!” Hana diam. “Tunggu ya, Han, saya belikan sarapan buat kamu.” Akbar pun keluar dari kamar Hana dan kembali ke kamarnya. Pria itu bergegas mandi dan memakai kemeja dan celana bahan. Dia pun segera mengambil kunci mobil dan pergi membelikan sarapan untuk Hana. Pulang dari membelikan sarapan, Akbar letakkan semua di meja. Dia pun menuju kamar Hana. “Hana, sarapan dulu, saya sudah belikan kamu sarapan. Saya mau berangkat ke rumah sakit karena saya sudah kesiangan.” Akbar pamit pada Hana. Setelah masuk ke mobilnya, Akbar tidak langsung pergi ke rumah sakit. Pria itu menuju rumah sakit lain tempat salah satu sahabatnya praktek. Pria itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi agar segera tiba di rumah sakit itu. Tiba di sana, Akbar segera turun dari mobil menuju ruangan praktek sahabatnya. Di ruangan itu Rio sedang bersiap-siap untuk praktek. Akbar masuk lalu mendekati Rio. “Hai, Akbar ngapain kamu ke sini? Ada perlu apa? Ada yang bisa aku bantu?” Akbar terus berjalan mendekati Rio, begitu sudah dekat, dia tarik kerah kemeja pria itu dan menatap dengan tatapan tajam seolah ingin membunuh sahabatnya itu. “Kalian itu kenapa sih? Punya rencana apa kalian?” “Bar, tenang dulu, kita bisa bicara baik-baik, kan?” “Apa yang kalian masukkan dalam minumanku tadi malam?” tanya Akbar yang sedang marah besar pada sahabatnya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN