“Mas, aku beneran belum siap nikah.” Rara sudah mantap dengan keputusannya.
“Artinya, kamu enggak masalah kalau Mas nikah dengan perempuan lain? Mama tuh serius banget, Ra, enggak cuma gertak doang. Mama beneran mau menikahkan Mas dengan perempuan pilihannya.” Akbar masih berusaha sabar dan membujuk Rara.
“Ya kalau Mas Akbar memang ngebet banget mau nikah dan aku belum siap nikah, silakan Mas menikah dengan perempuan itu. Toh Mas kan enggak cinta sama dia. Mas bisa menceraikan dia kapan saja. Terus kalau aku sudah jadi artis terkenal, aku akan ungkap hubungan kita ke publik dan kita bisa menikah setelah Mas menceraikan perempuan itu. Gampang, kan?”
Akbar terkejut mendengar apa yang dikatakan Rara. Sedangkal itu dia memandang sebuah pernikahan. Dia anggap pernikahan seperti sebuah permainan di mana orang bisa menikah dan bercerai sesuka hatinya saja. Dalam hatinya Akbar marah pada Rara.
“Sekali lagi Mas tanya, kamu enggak masalah kalau Mas nikah dengan perempuan lain?”
“Enggak masalah, Mas. Aku yakin setelah menikah pun Mas akan tetap cinta sama aku dan kita bisa menikah suatu hari nanti.”
“Misalnya, Mas enggak mau bercerai dengan istri Mas nanti, apa yang akan kamu lakukan?”
“Aku yakin banget Mas akan menceraikan dia karena Mas Akbar cuma cinta sama Rara seorang.”
“Ok, kita lihat saja nanti.” Akbar pastikan dia akan menikah dengan Hana dan membuat Rara menyesal seumur hidupnya.
***
Malam harinya, di rumah orang tua Akbar. Ririn sedang ingin bicara dari hati ke hati dengan putranya. Kali ini, Ririn akan melunak.
“Bar, apa selama ini kamu punya pacar? Tapi, kamu enggak pernah bawa perempuan ke rumah dan tidak pernah mengenalkannya ke Mama?” Ririn penasaran dengan hal ini.
“Ma, aku mau jujur sekarang, selama tiga tahun terakhir ini aku punya pacar. Namanya Rara. Dia itu seorang artis, tapi ya belum terkenallah. Sudah berapa kali aku ajak ke rumah dan ketemu Mama, tapi dia selalu menolak. Diajak nikah juga dia belum siap. Jadi, aku mikir lagi buat ngenalin dia ke Mama.”
“Kamu ada fotonya?”
“Ada, Ma.”
“Boleh Mama lihat?”
“Boleh, Ma, sebentar.”
Akbar mengambil ponsel yang dia letakkan di meja, dia cari foto Rara di ponselnya dengan pose yang paling cantik. Lalu dia tunjukkan foto itu pada Ririn. “Ini, Ma.”
Ririn menerima ponsel milik Akbar lalu mengamati wajah Rara dengan seksama. “Cantik sih, tapi … ah sudahlah.” Dengan melihat wajahnya Rara, Ririn sudah merasa tidak sreg. Dia tidak yakin Rara bisa menjadi istri yang baik untuk Ilham. Dia lebih suka Hana dengan wajah teduh dan kesederhanaannya. Ririn sangat menyukai Hana.
“Tapi, kenapa, Ma?” tanya Akbar penasaran.
“Entahlah. Kamu sudah coba lagi bawa dia ke rumah? Siapa tahu sekarang dia mau.”
“Tadi siang aku sudah ajak dia ketemu Mama, tapi dia tetap enggak mau. Aku ajak nikah pun dia enggak mau.”
“Kalau begitu kamu putuskan saja dia. Menikahlah dengan Hana. Mama akan mengurus pernikahan kalian satu bulan lagi. Kali ini kamu tidak boleh menolak lagi.”
“Sekarang aku pasrah. Mama mau menikahkan aku dengan Hana aku pasrah dengan keputusan Mama.”
Ririn tersenyum lebar. “Kamu hubungi Hana, suruh dia ke rumah besok pagi!”
“Iya, Ma, aku akan kabari Hana sekarang. Aku ke kamar dulu ya, Ma.” Akbar pamit ke kamarnya.
Di kamar, Akbar menghubungi Hana melalui panggilan telepon.
“Halo, Mas Akbar.” Terdengar suara Hana di seberang panggilan.
“Halo, Hana. Mama minta kamu ke rumah besok pagi.”
“Ada apa ya, Mas? Besok pagi saya masih kerja di catering. Kalau sore bisa. Gimana ya, Mas?”
“Mama bilang kamu harus datang, kalau enggak mama marah sama kamu, Han.”
“Duh, gimana ya, Mas? Aku usahain deh ya.”
“Bagus. Jangan sampai telat ya, Han.”
“Iya, Mas, makasih ya, Mas.”
Akbar pun menutup telepon. Entah kenapa melihat Hana yang kebingungan dan Hana yang begitu penurut dia merasakan kesenangan tersendiri.
Besoknya, Hana datang ke rumah Ririn pagi hari, dia mendapat alamat rumah itu dari Akbar. Ketika Hana datang, Akbar baru akan berangkat ke rumah sakit. Mereka pun masih sempat bertemu.
“Hana, mulai hari ini kamu berhenti saja dari kerjaanmu di tempat catering itu. Ibu harus mengajari kamu banyak hal, terutama cara menjadi istrinya Akbar.”
Jantung Hana serasa mau copot dan kedua matanya melotot. “Apa, Bu? Saya jadi istri mas Akbar? Apa saya enggak salah dengar ya, Bu?”
“Enggak, Han. Satu bulan lagi kamu akan menikah dengan Akbar, anak saya.”
“Terus saya harus ngapain ya, Bu?”
“Ya berhenti dari pekerjaan kamu.”
“Terus saya makannya gimana kalau saya enggak kerja, Bu?”
“Saya yang akan tanggung semua biaya hidup kamu, termasuk juga biaya kontrakan kamu. Kamu harus pindah dari kontrakanmu yang sekarang.”
“Tapi, saya belum setuju untuk menikah dengan mas Akbar.”
“Kenapa? Sebutkan alasannya.”
“Saya sama mas Akbar itu tidak setara dari banyak hal, Bu.”
“Tidak setaranya? Di mana tidak setaranya?”
“Mas Akbar kaya, saya miskin. Mas Akbar punya orang tua lengkap, saya yatim piatu. Mas Akbar direktur rumah sakit, saya cuma pekerja rendahan saja, Bu.”
“Alah itu kan cuma pandangan kamu saja, Han. Di mata Allah kan semua manusia itu sama, tidak ada manusia yang tidak setara.”
“Tapi, kalau saya jadi istri mas Akbar pasti malu-maluin, Bu.”
“Saya yang akan mengajari kamu supaya jadi istrinya Akbar yang tidak malu-maluin di depan umum. Jadi, kamu harus menikah dengan Akbar!”