5. Malam Panjang yang Menyiksa

1628 Kata
"Kenapa lo nangis?" Dani menyikut lengan Andin yang duduk bersebelahan dengannya di depan televisi. Setengah panik Andin menyeka air matanya, lalu menoleh malu-malu. "Kamu juga nangis." Dani mengangkat bahu dan berusaha terlihat cuek. "Gue sedih aja." "Aku juga sama," bisik Andin sembari memandangi layar televisi yang tengah menampilkan sosok Yuta. "Kangen Mbak Yuta." "Kenapa sih film lamanya mesti ditayangin lagi?" gerutu Dani senewen. Saat ini, keduanya tengah menyaksikan tayangan lama yang diperankan oleh Yuta. Film pertama yang Yuta bintangi sebagai pemeran utama, sekaligus film terakhirnya sebelum menghilang. Yuta tidak sempat hadir dalam penayangan perdana film itu, apalagi untuk berdiri di atas panggung dan menerima penghargaan sebagai pemeran pendatang baru terbaik kala itu. Yuta bahkan tidak sempat menikmati sepeser pun hasil jerih lelah terakhirnya itu. "Kamu enggak suka liat Mbak Yuta?" gumam Andin menanggapi gerutuan Dani. "Bukan enggak suka, cuma nyesek aja," sahut Dani dengan suara bergetar. "Nyesek?" Mata Dani menerawang jauh saat berbisik, "Liat dia lagi bikin gue jadi berandai-andai, jadi kepikiran." Meski dahulu Dani selalu galak terhadap Yuta, sejujurnya dia sangat peduli kepada wanita itu. Bukan hanya peduli, Dani juga sangat menyayangi Yuta. Melihat Yuta disakiti dan disalahpahami, dia yang berdiri di garis terdepan untuk membela. Dani bahkan tidak peduli ketika lawannya adalah Ritz, sosok yang sudah banyak berjasa dalam hidupnya. Dahulu, saking marahnya Dani kepada Ritz, dia sampai ingin meninggalkan kediaman pria itu. Dani nyaris tidak mau bekerja lagi untuk Ritz. Namun, akhirnya dia bertahan demi Zanna. Jika bukan karena gadis mungil itu, pasti Dani sudah hengkang sejak lama. "Mbak Yuta ada di mana ya, sekarang?" gumam Andin sedih. Setiap kali membahas soal Yuta, suasana hatinya pasti jadi sendu. "Apa yang Mbak Yuta kerjain ya?" "Gue bukan cuma penasaran dia ada di mana dan apa yang dia kerjain. Gue lebih kepikiran dia sehat apa enggak?” Kekhawatiran sangat kentara dalam suara Dani. “Gimana kalau dia kena covid? Siapa yang jaga dia?" "Aku juga suka kepikiran, Mbak Yuta bahagia apa enggak? Kesepian apa enggak? Suka kangen Zanna apa enggak?" Tanpa terasa air mata Andin meleleh sudah. "Pasti kangen kali!” desis Dani galak untuk menyembunyikan gejolak perasaannya sendiri. “Mana mungkin Yuta enggak kangen sama anaknya sendiri." "Tapi kenapa Mbak Yuta enggak pernah muncul?" Sampai hari ini Andin masih tidak mengerti alasan Yuta menghilang selama bertahun-tahun. "Gue yakin dia pasti punya alasan.” Meski begitu banyak pemberitaan buruk soal Yuta, Dani tetap percaya jika wanita itu tidak salah sama sekali. Pasti ada kondisi yang membuatnya terdesak sampai memutuskan memilih jalan seperti ini. "Aku suka ngebayangin kalau Zanna ketemu sama Mbak Yuta. Kira-kira bakal kayak gimana ya, pertemuan mereka?" gumam Andin sendu. "Gue enggak mau bayangin hal yang muluk-muluk. Buat sekarang, gue cuma berharap Yuta sehat dan bahagia, juga dikelilingi orang-orang baik." Jauh di dasar hatinya, Dani sungguh berharap Yuta menemukan orang lain yang memedulikannya sebanyak dia mengurus wanita itu selama bertahun-tahun. “Tapi ‘kan enggak ada salahnya berharap Zanna dan Mbak Yuta bisa ketemu lagi.” Ucapan Andin membuat Dani tiba-tiba teringat momen kebersamaan Zanna bersama guru barunya tadi. Entah mengapa, sosok guru Zanna itu meninggalkan kesan mendalam di diri Dani. Apalagi ucapan wanita itu saat akan berpamitan. "Ann, terima kasih buat semuanya ya.” Dani mengernyit heran melihat guru Zanna menatapnya dengan pandangan sendu. "Terima kasih buat apa?" Tiba-tiba saja guru Zanna gelagapan. "Eh … ngg … itu …." "Bu Guru kenapa bilang makasih sama saya?" desak Dani heran. "Ngg … maksudnya terima kasih sudah diantar." Dani merasa jika jawaban itu hanya dibuat-buat. "Bu Guru aneh." Namun, sebelum Dani sempat bertanya lagi, guru Zanna sudah keburu kabur. "Saya permisi dulu," ujar guru Zanna yang tampak tergesa-gesa berjalan menjauh. Tatapan guru Zanna siang tadi masih terus mengusik hati Dani. Rasanya, tatapan itu tidak asing. Di tengah kebingungan Dani mengingat-ingat, di mana dia pernah melihat tatapan itu, layar televisi tiba-tiba saja menampilkan wajah Yuta yang disorot dari jarak sangat dekat. Seketika itu juga Dani mendelik kaget. “Ndin, lo ada data lamaran gurunya Zanna?” “Kenapa tiba-tiba nanyain itu?” “Gue pengin liat aja,” sahut Dani asal, padahal sebenarnya dia ingin memastikan sesuatu. “Sebentar aku ambil.” Tidak lama berselang, Andin kembali dengan berkas milik Asha. Dani langsung merampas dan memeriksanya. Sayang, foto yang terlampir dalam surat lamaran itu membuatnya kecewa. Namun, setelah mengamat-amati beberapa saat, Dani merasa jika mata guru Zanna yang tadi dia lihat, berbeda dengan di foto ini. Kesibukan Dani yang tengah tenggelam dalam pikirannya itu terusik tatkala terdengar langkah kecil mendekat, disusul pertanyaan penuh keingintahuan. "Tante Ndin sama Uwa Ann lagi ngomongin siapa?" "Eh, Zanna!" Andin seketika salah tingkah ketika gadis kecil itu naik ke sofa dan duduk di antara mereka. “Bobo siangnya udah?” "Siapa itu Yuta?" tanya Zanna dengan matanya yang masih tampak mengantuk, efek baru bangun. "Oh, itu …!" desis Andin senewen. Matanya terus melirik ke arah Dani, meminta pertolongan. Dani juga sama senewennya, tetapi dia bisa bersikap lebih tenang. "Ngg … itu temennya Uwa, Sayang." "Temennya Tante Ndin juga?" tanya Zanna lagi. "Iya." Zanna menatap bergantian ke kiri dan kanan. "Kenapa temennya Uwa sama Tante kangen sama Zanna?" "Eh?" Dani dan Andin sontak melongo. Ingin keduanya memberi jawaban dusta saja, tetapi mata bening Zanna yang demikian polos membuat mereka tidak tega berbohong. "Tadi Tante Ndin bilang, Mbak Yuta suka kangen sama Zanna apa enggak? Emang temennya Uwa sama Tante kenal Zanna?" Andin mengangguk perlahan dengan wajah serba salah. "Ngg … iya …." Zanna menoleh ke arah Dani dan menatap lelaki itu meminta penegasan. Dani perlahan mengusap kepala Zanna, lalu berkata dengan lembut, "Tante Yuta kenal sama Zanna, bahkan sangat sayang." Tiba-tiba saja Zanna menatap ke depan, lalu menunjuk layar televisi. "Apa Tante Yuta itu yang mukanya sekarang lagi ada di tivi?" Seketika itu juga Dani dan Andin saling menatap dengan ngeri. Selama ini, Zanna tidak pernah diperlihatkan foto Yuta untuk mencegah gadis kecil itu menyadari sosok ibunya saat muncul di televisi. Pasalnya, sampai hari ini masih ada tayangan iklan, mini series, dan film yang pernah Yuta bintangi, wara-wiri di televisi. Ritz mengambil langkah ini bukan untuk menghapus Yuta dari hidup Zanna, tetapi dia ingin mencegah putrinya mengalami kecewa. Dia takut Zanna akan bertanya-tanya, mengapa Yuta tidak pernah datang, padahal wanita itu ada dan dapat sering dilihat. Lebih jauh lagi, Ritz takut ketika beranjak besar nanti, Zanna akan berpikir Yuta mengabaikannya. "Eh … i-iya, Sayang," ujar Dani gugup. "Tante Yuta cantik," ujar Zanna dengan tatapan kagum. Kembali Dani dan Andin saling pandang. "Tante Yuta dulu suka main ke sini?" tanya Zanna penasaran. Dani menjawab tenang, "Sering, Sayang." Wajah Zanna tampak makin penasaran. "Kenapa sekarang enggak pernah dateng ke sini lagi?" Sampai di sini, Dani rasanya sangat tergoda ingin memberi tahu saja semua kebenarannya kepada Zanna. Sayang, dia masih waras dan tidak ingin mencari masalah. Akhirnya, Dani hanya bisa menggeleng pasrah. "Uwa juga enggak tau." "Tante Yuta sekarang ada di mana?" tanya Zanna lagi. "Uwa udah lama enggak dengar kabar dari Tante Yuta." Malam harinya, Ritz duduk termenung sendirian di ruang kerja. “Sampai hari ini kamu masih juga menghilang. Apa kamu enggak rindu sama Zanna?" bisik Ritz lirih. Melalui malam-malam panjang yang menyiksa sudah menjadi rutinitas mematikan bagi Ritz sejak Yuta pergi. Terkadang ada perasaan marah yang menguasai hati Ritz, tetapi setiap kali teringat jika itu adalah akibat kesalahannya sendiri, kemarahan itu berubah menjadi keputusasaan. "Atau mungkin kamu rindu, tapi terlalu benci sama aku sampai kamu enggak mau muncul sama sekali?” Hampir setiap malam Ritz akan memilih melewatkan malam panjangnya ditemani lagu-lagu cover yang Yuta nyanyikan bersama Bimo. Meski tidak bisa membuatnya terlelap sepanjang malam, setidaknya suara Yuta sedikit bisa menenangkan Ritz dan membawanya memejamkan mata barang beberapa jam. Pikiran Ritz melayang kembali ke masa awal-awal kepergian Yuta. “Lo keliatan capek banget," tegur Morgan khawatir. "Jadwal syuting lo perlu gue kurangin?” “Jangan," tolak Ritz cepat. “Kenapa?” “Lebih baik gue sibuk begini. Kalau enggak ada kerjaan, pikiran gue ….” Bibir Ritz terlalu kelu untuk menyelesaikan ucapannya. Namun, Morgan sudah bisa menebak kelanjutannya. “Selalu keinget Yuta?” Ritz hanya diam saja tanpa niat membantah tebakan Morgan. “Lo nyesel banget ya?” “Enggak perlu ditanya, Gan.” Ritz tersenyum sumbang. “Tiap gue pulang dan liat dia enggak ada, rasanya gue pengin ngutuk diri gue sendiri. Apalagi kalau lihat Zanna nangis terus cari mamanya.” Morgan menepuk bahu Ritz untuk menyemangati pria itu. “Berharap aja Yuta mau pulang.” “Gue harus gimana lagi, Gan?” tanya Ritz putus asa. Sudah hampir dua bulan berlalu sejak Yuta menghilang dan sampai hari ini tidak ada kabar sama sekali dari wanita itu. “Dicari ke mana juga dia tetap enggak ada.” “Papa lagi apa?” Tangan kecil Zanna menyentuh pipi Lauritz dan membuyarkan lamunan pria itu. Ritz tersentak kaget karena tidak menyadari suara langkah putrinya. “Zanna kenapa belum tidur?” “Zanna udah tidur, Pa, tapi bangun,” sahut Zanna sembari menggosok matanya perlahan. “Terus Zanna pengin liat Papa.” “Sini, Sayang.” Ritz segera meraih tubuh Zanna dan mendudukkannya di pangkuan. Sejak kepergian Yuta, Ritz memutuskan untuk tidur di kamar yang terpisah dengan Zanna. Dia tidak ingin kegelisahannya malah mengganggu Zanna dan membuat putri kecilnya ikut terjaga semalaman. “Papa dengerin lagunya Tante Yuta?” ujar Zanna sembari menunjuk layar laptop tempat Ritz memutar lagu-lagu Yuta. Seketika itu juga Ritz terbelalak. “Zanna tahu dari mana kalau ini Tante Yuta?” “Dari Tante Ndin sama Uwa Ann.” “Mereka bilang apa?” tanya Ritz waswas. “Katanya Tante Yuta dulu suka main ke sini. Tante Yuta juga katanya sayang dan kangen sama Zanna. Emang benar gitu, Pa?” Mendengar hanya hal itu yang Zanna tahu, perasaan Ritz langsung lega. “Betul, Sayang.” Namun, pertanyaan Zanna selanjutnya ternyata lebih mematikan. “Pa, apa Tante Yuta itu mamanya Zanna?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN