Ananta tercekat mendengar pertanyaan Galih Arteja, wanita itu terdiam beberapa saat. Ananta berpikir keras bagaimana cara Galih bisa mengetahui kalau dirinya terlibat dengan Nyai Ratih.
“Aku tidak mengerti apa yang sedang kamu bicarakan.” Sahut Ananta padanya.
Galih masih menggenggam kelopak bunga tersebut, pria itu berjalan memutari tubuh Ananta. “Bunga ini tidak bisa menipuku.” Ujar pria itu seraya meremas kelopak bunga tersebut pada genggaman tangannya. Ananta menahan rasa nyeri di sekujur tubuhnya. Sebenarnya bunga tersebut awalnya merupakan pemberian dari Nyai Ratih. Beberapa kuntum Ananta gunakan untuk mandi setiap pagi, bunga itu tumbuh di halaman dalam rumah Ananta.
“Aku tidak tahu apa maksudmu. Ingat, aku sudah membantumu bekerja di sini.” Sahut Ananta lalu berniat untuk bergegas pergi. Ananta menyembunyikan rasa sakitnya, dia tidak akan pernah mengaku kalau dia sebenarnya merupakan murid dari Nyai Ratih.
Sampai di dalam ruangan kerjanya, Ananta bergegas mengambil segelas air lalu diteguk-nya perlahan. Ananta masih tidak percaya kalau identitas dirinya akan terbongkar secepat ini.
“Guru tidak bilang apa alasan Galih ke kota.” Ujarnya pada dirinya sendiri. “Apa pria itu ingin menangkap ku? Ah, sudahlah lupakan saja. Aku tidak perlu memikirkannya lagi. Galih bukan orang yang penting.” Serunya lagi. Ananta berpikir kembali untuk segera memecatnya, padahal barusan beberapa saat tadi dia bilang tidak jadi memecat Galih. Ananta menunggu waktu yang tepat untuk memecat Galih dari pabrik tersebut. Dia tidak mau terus merasa terancam di tempat itu karena ada Galih Arteja di sana.
Di sisi lain, Galih sangat yakin kalau Ananta adalah seseorang yang dimaksud oleh Ki Sarwo. Sekarang dia bisa lebih fokus untuk terus mengawasi wanita itu selama sedang berada di pabrik. Galih kembali teringat dengan kejadian semalam, dia bertemu dengan Ananta di lokasi kejadian. Galih berpikir kediaman Ananta tidak jauh dari desa yang ia datangi semalam. Pria itu ingin mencari tahu dimana kediaman Ananta, Galih ingin menanam sesuatu di sana. Pikirnya jika dia melakukan itu Nyai Ratih tidak akan bisa mengendalikan Ananta lagi.
Malam itu Galih keluar pabrik, pria itu kembali ke lokasi kejadian kemarin. Karena dia tidak mengetahui dimana tepatnya rumah Ananta, Galih menanyakan pada penduduk di sekitar.
“Permisi Pak.”
“Iya Nak?”
“Apa di sekitar sini ada seseorang wanita bernama Ananta Kurnia Sari? Dia bekerja di pabrik garmen yang bertempat di kota.” Ucapnya pada seorang bapak-bapak yang sedang berjaga di pos kamling.
“Tidak ada Nak, coba ke desa sebelah.” Ujar bapak-bapak tersebut padanya.
“Baik, Pak. Terima kasih.” Galih segera berlalu, pria itu menuju ke desa sekitar desa tersebut. Ternyata dia tetap tidak bisa menemukan kediaman Ananta. Galih terus berjalan, pria itu membawa buntalan baju pada bahu kanannya. Dia tidak dipecat tapi dia tahu Ananta akan memecatnya cepat atau lambat. Karena itu lah dia memutuskan untuk pergi sebelum diusir oleh atasannya tersebut.
Galih tidak kembali ke pabrik sejak semalam, Andi baru keluar dari dalam kontrakannya pagi ini. Pria itu menemukan kunci gerbang di luar pintu rumahnya. “Galih ke sini? Kunci ini harusnya ada padanya.” Seru Andi dengan mata membelalak. Andi segera menghubungi Ananta. Pria itu melaporkan semuanya pada wanita tersebut.
Ananta masih duduk di meja makan dalam rumahnya, wanita itu sedang menikmati sarapan paginya. Mendapat laporan dari Andi, Ananta hanya bisa meremas garpu-nya. Dia tidak mengira kalau rencana untuk memecat pria itu sudah diketahui lebih dulu oleh Galih Arteja, sehingga pria itu memutuskan untuk mendahului meninggalkan pabrik.
Keluar dari pabrik garmen, Galih bekerja menjadi pengantar barang. Tidak ada kesulitan yang dia temui. Awalnya pria itu ragu untuk mengendarai kendaraan bermotor tersebut. Tapi rekannya bilang dia harus memakai itu untuk mengantarkan barang kepada pemesan.
Tak lama setelah kepergian Galih, pabrik tersebut kembali tidak memiliki petugas penjaga malam. Setiap malam pabrik kosong, tidak ada satu orang pun yang berani melamar untuk bekerja di sana.
Hari ini Galih Arteja mendapatkan jadwal untuk mengantar barang ke kediaman seseorang. Barang yang diantarkan Galih adalah obat-obatan, serta peralatan medis. Ternyata rumah yang dia tuju memiliki sebuah klinik. Ada sekitar lima wanita muda memegang kartu khusus untuk mengantri. Namun anehnya rumah tersebut tertutup rapat, dan dia hanya bisa mengantarkan barang dari luar gerbang. Ada lubang sebagai tempat dia untuk berkomunikasi dengan penjaga di dalam. Dari situ lah dia melihat keadaan di dalam gerbang. Pintu juga tidak dibuka, barang yang dia kirimkan diletakan di luar pagar lalu didorong masuk pintu kecil dari bawah gerbang.
Galih bertanya-tanya klinik apa itu sebenarnya, jika hanya menangani orang sakit biasa maka tidak mungkin pintu ditutup rapat seperti itu. Galih hari ini mengabaikannya lantaran dia tidak ingin ikut campur dengan pelanggan yang memesan jasanya. Hari pengiriman berikutnya dia melihat seorang gadis bersama seorang pria, dia bisa melihat dari wajah gadis tersebut kalau gadis itu baru berusia belasan tahun atau malah masih duduk di bangku kuliah. Gadis itu seperti sedang menahan rasa sakit yang teramat sangat. Wajahnya pucat seraya berjalan dengan membungkuk keluar dari dalam gerbang, sedang pria yang menemaninya terlihat cuek seakan tidak peduli lagi dengan keadaan wanita itu. Gadis itu masuk ke dalam mobil yang diparkir di luar gerbang bersama pria tersebut. Selesai mengirimkan pesanan, Galih berniat kembali.
Namun, belum sampai dia menyalakan motornya seseorang yang dia kenal turun dari mobil lalu melangkah menuju ke pintu masuk. Ananta, wanita itu tidak bisa mengenali Galih karena pria itu memakai masker dan helm. Galih masih berdiri di sebelah motornya, pria itu bertanya-tanya tempat apa sebenarnya yang ada di depannya tersebut. Apalagi Ananta terlihat baik-baik saja saat datang ke sana. Itu sudah jelas menunjukkan kalau wanita itu bukanlah seorang pasien.
“Aku pergi saja.” Gumam Galih kemudian, lalu bergegas kembali ke kantor pengiriman barang tempatnya bekerja untuk mengambil dan mengantar pesanan berikutnya karena semua barang sudah habis dia kirimkan pagi ini. Seiring berjalannya waktu, Galih tidak lagi pendiam seperti sebelumnya. Dia lebih aktif bertanya pada rekannya bagaimana cara mengantar barang dan lain sebagainya. Sejauh ini dia masih belum menemukan kediaman Ananta. Galih setiap senggang selalu mencari keberadaan rumah wanita itu, namun sepertinya kediaman Ananta sengaja dipasang tabir agar tidak bisa diketahui olehnya.
Nyai Ratih juga tidak lagi mendatanginya sejak terakhir pertemuan antara mereka berdua di dalam pabrik. Galih bertanya-tanya kalau mungkin saja Nyai Ratih tidak lagi melakukan tindakan keji di desa-sekitar.
Malam ini pria itu sedang duduk di beranda rumah kontrakan yang dia sewa selepas meninggalkan pabrik. Di sana tidak hanya dirinya yang tinggal, tapi ada beberapa teman satu kantor yang juga tinggal di sana.
Galih nampak sedang melamun sambil duduk diam di atas kursi, melihat itu salah satu temannya menegur.
“Bang? Nggak pergi?” Tanya Anton padanya.
“Pergi ke mana?”
“Jalan-jalan Bang, besok kantor libur kan? Hari minggu.” Seru Anton seraya memakai helmnya, lalu bergegas naik ke atas motor dan pergi.
Galih tidak ada keinginan untuk pergi dari kontrakan tersebut, kalaupun pergi dia juga tidak tahu hendak ke mana.
Di sisi lain, Meila sedang duduk di ruang tengah bersama kedua kakak-nya. Mereka bertiga sedang makan malam bersama.
“Bang Arya? Sebentar lagi Meila dan Bang Regar lulus SMA. Kalau misalnya kita ikut pergi ke kota bagaimana Bang?” Tanya gadis itu pada Arya Sapta Wijaya. Arya menggeleng pelan, pria itu tidak memberikan ijin pada Meila. Jauh-jauh hari Galih sudah berpesan pada Arya untuk menjaga Meila dan Regar serta mengurus ladang dan ternak di desa seperti biasa. Galih tidak ingin mereka meninggalkan kediamannya.
“Kenapa nggak boleh Bang?” Protes Meila.
“Bang Galih sudah berpesan padaku, kalau kita harus menjaga peninggalan Bapak dan Ibu di desa Mei, jadi kita harus patuh sama Bang Galih. Dia pasti punya alasan sendiri kenapa melarang kita pergi ke kota.” Jelasnya pada Meila.
Di sisi lain, Galih masuk ke dalam rumah kontrakan. Semua teman yang tinggal serumah dengannya sudah pergi keluar. Kini tinggal dirinya seorang diri di sana. Galih berjalan menuju ke arah kalender yang tergantung di dinding. Ada dua tanggal merah di akhir pekan. Niatnya dia ingin pergi kembali ke kampung halaman untuk menjenguk ketiga adiknya.
Nyai Ratih berdiri di halaman samping pabrik, wanita itu mengira Galih masih tinggal di sana. Hari ini Ananta kembali menyerahkan bayi pada Nyai Ratih. Nyai Ratih heran karena Galih tidak muncul untuk merusak kegiatan tersebut. Biasanya pria itu selalu datang untuk menghalanginya.
“Sejak kapan Ananta mengusirnya pergi? Aku sudah berpesan padanya untuk menjaga pria itu agar tetap tinggal di sini.” Nyai Ratih berjalan terbungkuk-bungkuk, lalu duduk di depan kamar yang dulunya dihuni oleh Galih Arteja. Wanita itu memejamkan kelopak matanya, dia mulai merapalkan mantra ditujukan kepada Galih Arteja.
Di sisi lain Galih sedang mengambil air di belakang kontrakan. Pria itu membasuh anggota tubuhnya. Saat hendak masuk ke dalam rumah, dia melihat bola api meluncur cepat menuju ke arahnya.
“Nyai Ratih?” Gumamnya seraya menatap bola api yang berpusar tepat di depan wajahnya. Wanita itu mengirimkan pesan padanya, memintanya untuk datang menemuinya dengan ancaman.
“Datanglah padaku, atau aku bakar desa ini seluruhnya?” Nyai Ratih menampilkan seluruh desa pada bola api yang dia kirimkan pada Galih.
Galih hendak bermunajat, pria itu segera memadamkan bola api tersebut menggunakan air dari pancuran melalui gerakan kedua telapak tangannya, air terserap masuk membentuk bola lebih besar dari bola api tersebut. Perlahan menyelubungi bola api lalu membuat api tersebut padam dalam sekejap mata. Kedatangan Nyai Ratih membuat Galih merasa terusik kembali, pria itu hanya menghela napas panjang lalu masuk ke dalam rumah.
Nyai Ratih kehilangan jejaknya kembali, wanita itu sangat murka karena Galih mengabaikan ancaman darinya.
“Apa dia mengira aku hanya main-main! Hiihihihihihi!” Nyai Ratih segera berdiri, wanita itu mengetuk tongkat dalam genggaman tangannya ke tanah. Dalam sekejap dia sudah berdiri di desa tujuan. Wanita itu mulai melemparkan bola api untuk membakar pakan ternak, seluruh orang mendadak berteriak dan sibuk berlarian untuk memadamkan api tersebut. Semakin lama api semakin membesar. Galih Arteja baru saja menyelesaikan munajatnya. Pria itu samar-samar mendengar teriakan para manusia di sana. Api terus meluas tak hanya membakar ternak tapi juga beberapa rumah warga.
“Nyai, Nyai.” Galih menggelengkan kepala lalu segera keluar dari dalam rumah menuju ke sana. Pria itu segera mencari sumber air terdekat untuk memadamkan api menggunakan kekuatan tenaga dalam. Api berhasil padam sedikit demi sedikit, Galih berdiri di tempat agak jauh dari lokasi kebakaran. Para warga tercengang melihat air entah darimana datangnya. Mereka melihat keajaiban tersebut segera sujud untuk mengucap syukur karena selamat dari kebakaran.
“Akhirnya kamu datang Galih Arteja.” Ucap Nyai Ratih seraya melangkah pelan menuju ke arahnya. Wanita itu kembali berparas cantik jelita. Melangkah gemulai mendekat ke arahnya.
Nyai Ratih hendak menyentuh bahunya, tapi Galih segera mundur beberapa langkah menjauh.
“Kenapa? Kamu menjauhiku? Bukankah waktu itu kamu sangat memperhatikanku.” Ujarnya lalu lenyap dalam hitungan detik, muncul kembali sudah berada di belakang punggung Galih. Nyai Ratih menggapai pinggangnya hendak bersandar pada punggung pemuda itu. Namun Galih lenyap, Nyai Ratih kembali mendapatkan udara kosong.
“Nyai, Nyai! Ingat usia Nyai!” Ucapan Ki Sarwo terdengar menggema di sekitarnya.
“Awas kamu Sarwo! Kenapa kamu selalu ikut campur dalam urusanku! Kamu tidak lihat aku masih muda dan cantik! Dasar tua bangka tidak berguna!” Ucapnya seraya meremas beberapa butir kuncup melati dari rambutnya, lalu dilemparkan ke depan. Kuncup bunga itu melesat menuju ke kediaman Ki Sarwo. Malam itu Ki Sarwo sedang duduk di dalam pondoknya. Tabir yang dia buat di sekeliling pondok tidak bisa ditembus oleh kiriman Nyai Ratih. Bunga tersebut hancur meledak keras dengan bunyi berisik di luar pondok.
Galih sudah kembali, pria itu melangkah pelan masuk ke dalam rumah.
“Abang tadi, jadi pergi?” Tanya Anto padanya, pria itu lebih dahulu tiba di rumah beberapa jam yang lalu.
“Iya. Keluar jalan-jalan sebentar.” Sahutnya seraya berjalan menuju kamarnya, Galih masuk ke dalam lalu rebah di atas tempat tidur. Biasanya dia akan duduk di dalam kamar hingga waktu hampir menjelang pagi. Tapi beberapa teman yang tinggal satu rumah dengannya terkadang masuk ke dalam kamarnya untuk meminjam sesuatu padanya.
Galih melihat ponsel pemberian Ananta masih tergeletak di atas meja sebelah tempat tidurnya. Benda tersebut tidak menyala dan tidak berbunyi berisik lagi, sebenarnya dia ingin mengembalikan ponsel itu pada Ananta kembali. Akan tetapi, dia belum menemukan kediaman Ananta hingga saat ini. Mendadak Galih menemukan solusi, dia berniat datang ke rumah Andi besok untuk menanyakan di mana alamat tempat tinggal mantan atasan-nya tersebut.
Keesokan harinya, Galih membawa ponsel tersebut bersama kotaknya. Pria itu mendatangi Andi di pabrik.
“Aku titip ini, tolong kamu berikan pada Ananta.”
“Kenapa nggak kamu kasih sendiri sih?” Tanya Andi padanya.
“Aku tidak tahu di mana dia tinggal.”
“Aku tuliskan alamatnya, bagaimana?” Tawar Andi.
“Iya, tuliskan saja.” Sahutnya dengan raut wajah biasa. Galih menerima alamat Ananta, tapi dia tidak bisa pergi ke rumah wanita itu pagi ini lantaran harus bekerja sampai sore. Seingatnya Ananta juga baru pulang sore hari. Ternyata rumah Ananta ada di kota, bukan di desa tempat dia mencari kemarin.