Semua karyawan nampak terkejut dengan selembaran undangan yang di bagikan oleh Sasha. Ya... Pernikahan Sasha dan Ismail memang tidak di tutup-tutupi. Namun, hal inilah yang justru berat untuk Ismail. Ia pasti jadi bahan gunjingan karyawan kantor. Bahkan Kimmy saja sampai menatapnya heran dan tak bertanya apapun. Hanya menatap dan terus menatap.
"Ledek aja, mbak Kimmy. Saya nggak apa-apa kok," ujar Ismail yang kesal melihat Kimmy. Kimmy bengong, ia semakin melihat wajah Ismail dengan teliti.
"Ada apa sih mbak? Risih tahu."
"Kamu Taufik Ismail yang ada di dalam undangan pernikahan Bu Sasha?" Tanya Kimmy. Ismail hanya mengangguk.
"Kamu pasti bohong ya?"
"Kok bohong?"
"Di undangan tertulis Taufik Ismail. Namamu kan Ismail bin mail?" Mail menghel nafas lelah.
"Yang kasih nama itu kan cuma mbak Kimmy, nama asli saya ya, Taufik Ismail."
"Masa?"
"Iya mbak, iya!"
"Biasa aja dong!" Kimmy cemberut. Mail buru-buru minta maaf.
"Yaudah, aku balik kerja lagi deh, eh tunggu deh." Kimmy menghentikan langkahnya.
"Apa lagi?"
"Kalau kamu jadi suami Bu Sasha, berarti kamu berhenti kerja dong?" Ismail menggeleng. Kimmy melongo. "Masa istri kamu bos kamu tetap jadi Ob sih?" Saat Ismail hendak menjawab, muncul Ivan dari luar.
"Kimmy, kerjaan menumpuk. Jangan kebanyakan ngobrol." Kimmy langsung menoleh dan berlari memeluk suaminya.
"Maaf sayang, ayo kerja... kerja." Kimmy melambaikan tangannya ke arah Ismail. Ivan nampak melirik Mail dengan raut wajah penuh tanya.
Mail bersandar di meja pantry. Ia tahu, kalau di luar pantry pastilah banyak orang yang tak suka dengannya. Mail bingung harus bersikap seperti apa. Tapi Bu Sasha bilang, ia harus bersikap biasa saja. Ob ya tetap Ob. Ismail menghela nafas, sebelum keluar dari ruang pantry.
Ismail terus menunduk saat semua karyawan menatapnya bahkan teman Ob-nya pun ikut melihatnya dengan sinis. Hanya Asep yang melihatnya normal. Ismail menyapu dengan tangan bergetar, apalagi saat ia akan menyapu di lantai tiga. Tempat Sasha berada. Semua orang sudah tak malu lagi untuk menatap Ismail. Bahkan sampai ada yang mengejeknya.
Ismail mencoba bertahan dengan ini semua. Ia tak boleh lemah. Ia ke kota untuk mendapat pekerjaan dan sukses bukan untuk di hina seperti ini. Ismail harus kuat.
"Bang Mail!" Mail terlonjak saat seseorang menepuk pundaknya.
"Mbak Kimmy, bisa Ndak sih, kalau apa-apa jangan ngagetin, lama-lama saya bisa jantungan loh ini, kalau saya jantungan emang mbak Kimmy mau tanggung jawab, ia kalau cuma masuk rumah sakit, kalau sampai meninggal gimana? Saya belum nikah loh belum punya anak juga mbak Kimmy enak udah nikah dan lagi hamil juga. Lah aku gimana? Gimana?" Kimmy hanya melongo karena kecepatan Ismail bicara tidak mampu di di samakan dengan kecepatan otak Kimmy.
"Bang Mail, ngomong apa sih?"
"Masyallah, mbak!" Ismail mau tobat aja rasanya. Di saat hatinya sedang resah, Kimmy malah menambah beban fikirannya. Ismail langsung pergi. Tanpa sadar ia malah masuk ke ruangan Sasha. Dimana Sasha masih ada urusan dengan karyawannya.
"Ma... Maaf Bu, saya...saya tidak tahu kalau...."
"Keluar!" Bentak Sasha. Saat Ismail hendak keluar. Karyawan laki-laki yang ada di hadapan Sasha mencegahnya.
"Eh, tunggu, kamu calon suami Sasha kan?" Tanyanya. Ismail mematung. Sasha hanya buang muka.
"Sa, kenapa dia sih calonnya nggak ada yang lebih baik apa?" Tanyanya. Sasha menatap karyawan itu.
"Nggak ada, yang masih perjaka dia doang, kalau kamu kan udah lepas perjaka dari usia 14 tahun." Karyawan itu langsung tertawa terbahak.
"Jaman sekarang masih perjaka? Yakin?"
"Marco, dia itu beda dari kamu ya, jangan samakan." Karyawan yang bernama Marco itu bangun dari duduknya dan menatap Ismail.
"Tampang lumayanlah, bodi oke, ya... Semoga cepet buat Lo punya anak deh, abis sama gue Lo nggak mau sih?"
"Mimpi Lo!"
"Hahaha... Gue bisa buat Lo puas, Sha. Sama dia belum tentu," ledeknya.
"Pak, bisa tolong jaga ucapan bapak, bagaimanapun Bu Sasha adalah atasan bapak." Sasha dan Marco tersentak.
"Hahahaha gila, baru calon suami Sasha aja udah belagu loh, eh denger ya Ob, Lo mau nikah sama Sasha pun jabatan Lo di sini tetap aja Ob. b******k banget Lo!" Marco hampir memukul wajah Mail, andai Sasha tak buru-buru melerai mereka.
"Mail, keluar, Marco cukup!" Bentak Sasha. Ismail menatap Sasha sejenak sebelum keluar dari ruangannya.
Ismail berhenti di depan pintu. Ia bisa mendengar percakapan di dalam sana.
"Ngapain sih Lo, kepancing emosi sama OB. Mana harga diri Lo, lagian jaga juga tuh mulut. Ini di kantor dan Lo barusan ngomong kaya gitu di depan calon suami gue. Ayah dari anak yang bakal gue kandung. Gue nggak suka ya lihat cara Lo kaya gitu. Suruh siapa Lo jadi j****y duluan, gue kan sukanya perjaka!"
"Kenapa nggak sama Rio?"
"Rio, duda. Lo karyawan lama tapi nggak tahu apa-apa. Pacaran Mulu sih Lo."
"Bukan pacaran, cuma nidurin doang, dan gue pengen banget bisa nidurin Lo."
"Gila!"
"Gue serius, Sha."
"Gue mau nikah."
"Nikah aja sama gue."
"Lo nggak perjaka!"
"Yaudah, setelah Lo nikahin Ob itu. Gue mau kok janda Lo."
Ismail yang panas. Tanpa sadar mendobrak pintu dan memukul wajah Marco.
"Ismail! Siapa yang ijinkan kamu masuk ke ruangan saya hah!!" Sasha marah besar.
Di rumah Ismail di amuk oleh Sasha. Tubuhnya di tarik dan di lempar hingga terbentur tembok. Ismail meringis menahan sakit dan nyeri.
"Jangan pernah ikut campur masalah saya, paham!"
"Tapi, Bu. Pak Marco sudah...."
Plak!!
"Jangan sok perduli sama saya ya, itu urusan saya. Dan kamu tidak berhak mencampurinya. Paham!!" Ismail diam. Ia tak mampu menjawabnya. Ismail hanya merasa, Sasha adalah tanggung jawabnya. Ia tak suka bila harga diri Sasha di lecehkan seperti itu.
"Saya minta maaf, Bu." Ismail berlalu masuk ke dalam kamarnya.
Sasha menatap tubuh Ismail yang menghilang dari balik pintu kamar.
Dasar nggak tahu diri. Semakin lama semakin ngelunjak. Kalau gue udah nggak butuh Lo, udah gue buang Lo ke laut.
Ini semua gara-gara orang tua yang sukanya ngatur tanpa tahu perasaan anaknya. b******k!!!