BAB 5

738 Kata
Semenjak Bu Sasha melamar Mail. Beh...enggak enak amat ya bahasanya. Masa cewek ngelamar cowok. Tapi itulah faktanya. Mail saja sampai melamun seminggu ini. Karena ia memikirkan masalah lamaran Bu Sasha. Di tolak sayang, nggak di tolak malu. Gimana ya? "Bang Mail." "BANG ISMAIL BIN MAIL!!!!!" "Astaghfirullah, ada apa? Ada kebakaran? Ada Wewe gombel t***k gede? Ada apaan?" Ismail panik tingkat dewa(sa) Kimmy yang teriak malah tertawa terbahak-bahak. Melihat tingkah lucu Mail. Mail langsung tersadar dan hampir menjitak kepala Kimmy. Kalau saja ia tak ingat Mbak Kimmy adalah karyawan di sana. Hufh. "Bang Mail, kenapa?" Tanya Kimmy. Mail duduk lagi di kursi diikuti Kimmy. Kedua tangan Kimmy menjadi tumpuan dagunya dan fokus menatap Mail. Membuat Mail salah tingkah saja. "Mbak, Ojo ngono toh, isin aku." Kimmy melongo. "Hah?" Tanya Kimmy bingung. Mail malah nyengir. "Mbak Kimmy, kesini mau apa?" Tanya Mail. "Oh, artinya itu toh?" Kimmy manggut-manggut. Giliran Mail yang tepok jidat. "Kenapa?" Tanya Kimmy polos. Mail menggeleng dengan cepat. Mbak Kimmy sedang dalam mode ngeselin bin blo'on. Batin mail. Istirahat kerja. Mail langsung ke kantin. Karena rasa lapar melandanya. Ismail tak sengaja melihat Sasha sedang mengobrol dengan pak Ivan. Sepertinya obrolan serius. Entah kenapa Mail dongkol. Tidak suka bila melihat pak Ivan dekat dengan Sasha. Ismail langsung melewati mereka tanpa mengucap sepatah kata. Hanya menunduk sopan. Pak Ivan meliriknya sekilas, tapi tidak dengan Sasha. Entah kenapa ada rasa sedih di hatinya. Karena setelah lamaran kemarin, Sasha malah semakin cuek dengan Mail. Sebenarnya maunya Bu Sasha itu apa? Apa Mail ini pantas untuk dipermainkan? Emang Mail ini permainan? Bola bekel gitu? Bisa pantul sana pantul sini gitu? Sakit hati Mail. Tapi kenapa tidak ada yang paham kalau Mail lagi sedih dan sakit hati? Mail makan dengan lahapnya tanpa peduli teman-teman yang menatapnya. Bahkan suara cekikikan Kimmy dan Willy saja tidak terdengar di telinga Mail. Sakit hati menutup gendang telinganya. Selesai makan Mail kembali kerja seperti biasa. Namun kali ini Mail terasa lebih banyak diam. Membuat Ob lainnya sampai bingung. Mail yang biasanya ceria dan blo'on kini malah diam saja. Tak menarik sama sekali. Sudah wajahnya jelek, malah di tekuk terus. "Mail." Mail menoleh dengan malas. "Bang Mail kenapa?" Tanya Kimmy. Mail menghela nafas. "Saya sakit hati." Kimmy melongo dan menyentuh bagian perut Mail membuat Mail istighfar banyak-banyak. "Jangan sentuh mbak, nanti saya khilaf," ujarnya. Kimmy melongo. "Katanya kamu sakit hati, makanya saya periksa bang Mail." Mail cemberut. Membuat Kimmy semakin bingung. "Enggak bisa di periksa mbak, ini sakit yang beda. Bukan mbek dan kuda," jelas Mail aneh. Kimmy manyun dan melengos pergi. Membuat Mail makin cemberut. Pulang kerja, rasanya Mail sangat malas. Ia menggendong tasnya dengan lunglai. Padahal tas tanpa isi. Tapi kalau orang lain lihat seakan Mail sedang membawa tas yang begitu berat isinya. Karena cara jalan Mail yang gontai. "Ikut saya." Mail langsung berdiri tegak dan menatap Sasha yang sudah ada di hadapannya. Matanya lurus menatap ke depan. Seakan mail tidak ada di sana. Mail ngambek. Mail merasa tak di anggap. Padahal mail sudah di lamar kemarin. "Ndak mau," tolak mail. Membuat Sasha menoleh dan bingung. "Kenapa?" "Sampean siapa suruh-suruh saya?" "Saya atasan kamu." "Kan kalau di dalam kantor. Kalau di luar ya sampean cuma Sasha." Sasha nampak kesal mendengar penjelasan Mail. Sasha menarik kerah kaos Mail dan hampir memukul wajahnya. Untunglah Sasha langsung sadar diri di mana dirinya sekarang. Sasha melepas cengkeramannya dan menarik Mail menjauh dari sana. Sasha membuka mobil dan memaksa mail masuk ke dalamnya. Di susul Sasha dan langsung melajukan mobilnya menjauh dari kantor.  Mail dan Sasha saling diam di dalam mobil. Tak ada percakapan sama sekali. Hingga Sasha menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Lalu menatap Mail dengan tajam. "Jangan kamu fikir, kare saya meminta kamu menikahi saya. Kamu jadi lupa diri, Ismail!" Gertak Sasha. Mail menunduk. "Maaf Bu, saya..." "Cukup, saya tidak butuh penjelasan kamu!! Dengar ya, Taufik Ismail. Saya hanya butuh tubuh kamu. Saya akan membayarnya tenang saja. Tadi tidak usah takut. Dan kamu, tidak usah sakit hati segala. Memang saya siapa kamu? Jangan sampai saat nanti saya resmi menjadi istri kamu. Kamu bisa seenaknya di kantor. Kamu tetap saja Ob sampai kapanpun juga. Paham!!" Ismail mengangguk sedih. "Bagus, sekarang turun. Nanti malam saya jemput di rumah asep." Sasha langsung pergi begitu Ismail sudah turun dari mobilnya. Ismail menghela nafas. "Bu Sasha, kenapa enggak sekalian sampe rumah Asep sih? Saya kan Ndak ada uang. Belum gajian. Gimana toh ini?" Mail berjalan gontai menyusuri jalanan sore yang terlihat macet tak beraturan .        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN