Bab 2: Dia Tetap Papaku

1661 Kata
Anshel mengernyit mendapati Nadya, tantenya, yang menjemputnya di bandara, padahal biasanya sopir kantor omnya yang datang menjemput. Bahkan sopir pribadi keluarga Ranuwijaya pun tidak pernah datang menjemputnya. "Aunty Nadya?" sapaan itu jelas sarat tanda tanya. Perempuan dewasa itu tersenyum lalu memeluk pemuda itu dengan sayang. "Kamu udah lebih tinggi dari terakhir Aunty liat. Tambah ganteng pula." Anshel tersenyum. "Ada apa? Apa ada masalah?" "Masalah?" "Biasanya orang kantor om Andre yang jemput." Nadya tersenyum. Bahkan, agar tidak diketahui Raka, selalu sopir perusahaan yang menjemput Anshel dan adik-adiknya ketika mereka ke Jakarta. "Kamu memang terlalu pintar. Kita bicara di rumah Opa ya." "Opa sama Oma baik-baik kan?" "Baik. Jangan kuatir." Nadya membawa keponakannya itu ke mobil dan memerintahkan supir pribadinya untuk jalan. Tak ada perbincangan selama perjalanan. Perempuan itu terlalu takut untuk mengabarkan apa yang membuat mereka memanggil Anshel. Seorang anak yang pernah diabaikan oleh orang tua kandungnya sendiri. Tiba-tiba saja Nadya ikut merasakan sakit yang menusuk dadanya. Membayangkan dirinya berada pada posisi Anshel, entah bagaimana rasanya. Dia menatap sendu wajah keponakannya itu. "Aunty?" "Maafkan aunty Nad ya, Shel." "Maaf untuk apa?" "Untuk semua yang kamu alami karena Papamu." "Huh. Jadi kalian bertingkah aneh dan memanggilku tiba-tiba karena laki-laki itu?" "Dia tetap Papamu, Shel." "Papa macam apa yang menelantarkan anak sendiri demi anak orang lain." Nadya tertunduk. Dia ingat betul kalimat papinya hari itu. "Jadi, demi janda itu kamu mau membuat istrimu sendiri menjadi janda? Kamu telantarkan anak-anakmu agar anak orang lain memiliki bapak sambung? Persetan dengan cintamu itu, Raka. Jangan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi. Papi gak sudi punya anak laki-laki macam kamu." Nadya kembali menatap sendu keponakannya saat mobil mereka memasuki halaman rumah. Sebuah rumah besar dengan halaman yang cukup luas. Di teras, kepala keluarga Ranuwijaya sudah menunggu dengan wajah yang tak sekeras tadi pagi. "Ayo turun. Tuh Opa sudah nunggu kamu," Nadya turun setelah supir membukakan pintu untuknya. Anshel mengangguk. Melangkah lebar menuju opanya yang sudah merentangkan tangannya. Masuk dengan nyaman ke dalam pelukannya. "Cucu opa," laki-laki tua itu memeluk erat tubuh muda yang dulu kerap ditimangnya. Bagaimanapun, Anshel adalah cucu pertama. Kehadirannya tentu saja menjadi curahan cinta opa-omanya, hingga membuat kakek nenek itu begitu terpukul saat anak itu keluar dari rumah keluarga Ranuwijaya bersama ibu dan kedua adiknya. "Oma mana?" "Istirahat di kamar. Ayo masuk." "Oma sehat?" "Sehat. Hanya sedikit lelah. Maklum sudah tua." Laki-laki tua itu membawa cucu kesayangannya ke ruang keluarga. Meminta salah satu asisten rumah tangga membuatkan minuman. "Ada yang gak beres, Opa?" Opanya terkekeh. "Kamu itu. Kepintaran. Gimana sekolahmu?" "Anshel sedang persiapan ke perguruan tinggi." "Mau ambil apa?" "Anshel pingin kedokteran. Tapi lihat kondisi nanti." "Kondisi apa?" "Mama sudah cukup susah selama ini, Opa, Ans gak mau bikin Mama tambah susah." Laki-laki tua itu tahu betul apa maksud cucunya. Menantu dan ketiga cucunya hidup dalam kondisi keuangan serba pas-pasan dibanding dirinya. Meski ia selalu berusaha memastikan mereka tidak pernah kekurangan, tetapi menantunya itu tak pernah sama sekali memanfaatkan kekayaannya. Perempuan itu tak mudah menerima uluran tangan orang lain. Harga dirinya terlampau tinggi. Ia terbiasa berdiri di atas kakinya sendiri. "Kamu lupa kamu itu cucu siapa? Bahkan om dan tantemu saja bisa membantumu tanpa opa turun tangan langsung." "Ans cuma gak pingin Mama terluka lagi." Laki-laki tua itu menghembuskan napas kasar. "Opa yang paling gagal disini." "Opa, bukan begitu maksud Ans. Opa tetap opa terbaik. Tapi Mama. Mama yang paling terluka dari semuanya." "Opa tahu. Nanti biar opa bicarakan dengan Mamamu. Sekarang, ada tugas berat buatmu." "Tugas?" "Kita tunggu om kamu. Kamu istirahat dulu saja. Solat dulu. Nanti kalau om Andre dateng, kita bicara lagi." Meski masih dipenuh tanda tanya, tapi Anshel mengangguk. Kemudian berpamitan ke kamarnya di atas. Kamar yang hanya ia tempati saat liburan. Kamar yang jauh berbeda dengan kamar yang ditempatinya di rumah tinggalnya sekarang. "Papi yakin?" tanya Nadya setelah Anshel masuk ke kamarnya. "Kamu punya pilihan lain? Perkara nanti Anshel menolak, itu hak Anshel. Setidaknya ini kesempatan kita mengembalikan semua hak cucu-cucu Papi." "Tapi Anshel masih tujuh belas tahun, Pi." "Tapi dia lebih berhak mewarisi semua aset kakakmu dibanding perempuan itu." "Kevin bagaimana?" "Dia bukan siapa-siapa. Dasar Raka bodoh,” umpatnya kembali kesal setelah tadi mereda sejak tahu cucunya bersedia datang. "Abang itu anak Papi lho." "Tutup mulutmu." Nadya menggeser duduknya di samping laki-laki itu. Merangkulnya. "Nad cuma ngebayangin ada di posisi kak Citra. Anshel benar, Pi, Mamanya sudah cukup susah selama ini. Nad tahu Papi cuma ingin semua seperti seharusnya, tapi bagaimana kalau kita malah bikin kak Citra kembali terluka." "Papi gak berencana membuat Citra balikan sama laki-laki b******k itu. Biarkan saja Citra dengan pilihannya. Dan kakakmu biar dengan karmanya sendiri." Nadya mengangguk pelan. Dari arah pintu masuk terdengar langkah kaki semakin mendekat. Andre muncul dengan wajah kusut. "Gimana, Ndre?" tanya Nadya setelah Andre duduk di hadapan mereka. "Mami mana?" "Istirahat di kamar." "Anshel?" "Di kamarnya. Abang gimana?" "Kakinya yang paling parah karena terjepit. Operasinya memang berhasil. Tapi ada kemungkinan cacat permanen. Kalaupun bisa jalan lagi udah gak sempurna dan butuh waktu lama." "Siapa yang jagain?" "Asistennya." "Freya?" Nadya menyebutkan nama istri kakaknya. "Gak usah bawa-bawa perempuan itu." Papinya memotong cepat. "Pi, Abang belum resmi cerai. Mungkin kita bisa paksa perempuan itu tanda tangan dengan kondisi Abang sekarang. Tapi tetap tunggu Abang sadar dulu. Besok aku hubungi pengacara Abang. Kak Nad sudah kasih tau Anshel?" Nadya menggeleng. "Gak tega." "Pi, tentang Anshel, Andre rasa ia masih terlalu muda, Pi." "Lalu kalau bukan Anshel siapa? Kalian punya keluarga masing-masing. Apa kamu lupa umur berapa dulu kamu waktu Papi mulai ajak kamu keliling pabrik?" "Tapi ini beda, Pi. Dulu aku cuma disuruh belajar ngurus perusahaan, sedang Anshel disuruh nguruh orang sakit. Aku sama kak Nadya bisa kok gentian ngurus Abang. Kita bisa ambil perawat pribadi nanti." "Kamu tahu kan, maksud Papi gak semata-mata biar kakakmu itu ada yang merawat." Andre mendesah. "Iya. Aku tengok Anshel dulu. Kak, bisa minta tolong bilangin Mbok bikinin kopi?" "Abis ini kakak pulang dulu gak apa-apa kan,Ndre?" "Gak apa-apa. Abang udah stabil kok. Media juga udah aman. Biar aku yang urus sisanya. Kak Rey lagi repot kan?" "Iya. Nanti kakak suruh mbok anter ke kamar Anshel kopinya. Besok biar kakak sama Rey saja yang hubungi pengacara Abang.” “Okey.” “Kabari kakak kalo butuh apapun ya." "Pasti." "Kakak bangga punya kamu." Andre terkekeh menerima pelukan dari kakak perempuannya itu. Lalu ia pamit ke atas menuju kamar Anshel. Mengetuknya pelan. "Wah, jagoan Om Andre tambah ganteng aja." Anshel tertawa menyambut pelukan om kesayangannya. "Ada yang serius ya om? Opa bilang ada tugas berat buat Ans." "Yah. Something like that. Siap kan?" "Apaan?" Andre menarik kursi dan duduk di hadapan Anshel yang bersila di atas kasur. "Hmmm. Papamu kecelakaan." Andre berhenti sejenak untuk menelisik ekpresi keponakannya. Tak ada yang berubah. Wajah itu tetap saja datar. "Seberapa parah?" "Sampai saat ini belum sadar." "Sejak kapan?" "Dini hari tadi." "Mabok?" Andre tersenyum. Bahkan anaknya sendiri mengira bapaknya kecelakaan karena pengaruh alkohol. "Clean. Gak ada alkohol. Papamu menghindari sepeda motor yang ngebut." "Kenapa Anshel yang diminta datang cepat-cepat." "Papamu sedang proses cerai setahun ini." Anshel mendesah. "Sebenarnya, Papamu selalu berusaha mencari kalian. Hanya, karena menghormati permintaan Mamamu dulu, kami sepakat untuk tidak memberitahukan keberadaan kalian." "Itu semua sudah gak penting lagi, Om." "Tapi kamu tetap anaknya, Shel." "Dia punya anak lain." Andre menggeleng. "Hanya kalian." Anshel mengernyit. "Kevin tidak ada hubungan darah dengan kalian." Anshel tertegun. "Karena itu Papa mencari kami?" Andre menggeleng. "Beberapa bulan sejak kalian pindah ke Jogja, bik Nani sama suaminya pamit mau pulang kampung saja karena sudah tidak ada yang diurus di rumah kalian. Saat itu baru Papamu tahu, kalian pergi dan Mamamu tidak pernah mengambil uang bulanan yang selalu dikirimkan Papamu sejak mereka bercerai." Anshel yang saat itu sudah sekolah menengah tentu tahu persis cerita perceraian orang tuanya meski mamanya selalu berusaha menutupi agar papanya tetap terlihat baik. "Anshel belum bisa memaafkan semua perlakuan Papa ke Mama." "Jika dalam posisi kamu, mungkin om juga demikian. Tapi saat ini, Papamu membutuhkan seseorang. Setelah makan malam nanti, kita tengok bareng ke rumah sakit. Apapun sikap kamu setelahnya, itu hak kamu sepenuhnya." "Apa dia akan meninggal?" Andre tersenyum. "Kondisinya sudah stabil. Tapi, ke depannya mungkin akan banyak bergantung sama kita." Anshel menatap bingung omnya. Andre hanya menepuk pundaknya sambil bangkit berdiri. "Om mandi dulu. Nanti kita bareng ke rumah sakit setelah makan malam." * Di atas ranjang rumah sakit, seorang laki-laki dewasa tergolek tenang. Kakinya tampak terbungkus gips putih sementara tubuhnya yang lain dipenuhi kain perban. Seorang laki-laki yang menunggui segera berdiri begitu Andre masuk bersama seorang remaja yang tampak begitu mirip dengan bosnya yang sampai saat ini belum sadarkan diri. "Mas Andre." Andre mengangguk. "Istirahatlah. Malam ini biar kami yang jaga. Jangan katakan apapun pada media. Terutama tentang Anshel." Laki-laki itu mengangguk. Jadi ini yang namanya Anshel. Begitu mirip. Bahkan nyaris persis dengan foto bosnya itu kala masih muda. "Kalau begitu saya permisi. Kabari jika membutuhkan sesuatu. Mari, mas Andre. Anshel." "Terimakasih, Om." Anshel yang menjawab. Laki-laki itu tersenyum takjub. Ucapan terimakasih yang santun itu jelas bukan hasil didikan keluarga Ranuwijaya. Dulu, hanya Citra, menantu keluarga itu yang demikian santun pada karyawan-karyawannya. Sayang sekali keluarga indah itu tercerai berai karena keegoisan putra sulung Ranuwijaya. "Dia belum sadar?" tanya Anshel setelah sekian menit membisu menyaksikan tubuh yang penuh perban itu. "Dokter bilang masa kritisnya sudah lewat. Hanya ada kemungkinan kakinya akan cacat." "Apa Ans harus kasih tau Mama, Om?" Andre tersenyum. Dia tahu sebenci apapun selama ini Anshel pada ayahnya, anak itu pasti akan mudah luluh melihat kondisi ayahnya yang kini tak berdaya. "Itu terserah Anshel. Tapi om pikir, mungkin jangan dulu." "Dia sudah sangat menyakiti Mama. Tapi dia tetap Papaku kan, Om." Anshel tertunduk di kursinya. Andre bangkit menepuk pundaknya. "Om percaya kamu anak yang baik. Seperti Mamamu. Ajaklah Papa bicara. Siapa tau dengan mendengar suara kamu, akan lebih cepat sadarnya. Om di luar ya. Tante Maura telepon barusan." Anshel mengangguk. Matanya nanar menatap ayahnya. Bagaimana pun, dulu ayahnya adalah ayah terbaik yang ia punya. Sebelum datang Tante jahat memporak-porandakan semuanya. * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN