03

2008 Kata
Setelah Ken mengantar Dara dan menyuruh suster mengunci kamar rawat Ibu mertuanya, ia bergegas langsung pergi ke kantor karena ada take iklan di studio. Tentu Ken harus memantau kinerja karyawannya agar ia puas dengan hasilnya. Agensi milik Ken bukan agensi yang menjunjung tinggi tingkatan pangkat yang membatasi interaksi atasan dengan bawahan. Ken tidak suka istilah atasan dan bawahan, ia lebih suka menyebut karyawannya sebagai Tim. Dara sudah duduk di kursi yang terletak di sebelah ranjang ibunya⸻Lastri. Wanita paruh baya yang tengah koma hampir tujuh tahun lamanya. Lastri melewatkan pertumbuhan Dara dari remaja beranjak dewasa, Mungkin yang teringat di otak Lastri adalah Dara yang masih berumur 16 tahun. "Ibu apa kabar?" Tanya Dara mengusuk lembut punggung tangan Lastri. "Baik ‘kan, Bu? Dara kangen, kapan Ibu mau buka mata? Luka di tubuh Ibu udah sembuh, tapi kenapa Ibu belum bangun?" Mata bening Dara tak bisa lepas dari wajah Lastri yang mulai mengeriput itu. Biar sudah ia terkunci di dalam kamar dengan bau obat-obatan. Dara tak peduli, selama ia bersama ibunya, semua akan baik-baik saja. "Dara mau cerita Kenan lagi, Bu. Dara mau aduin Kenan lagi,” ungkap Dara, ia mengambil napas sebelum kembali bersuara, “Kenan kenapa berubah ya, Bu? Kenapa Kenan yang dulu janji sama Dara buat ngelindungi Dara malah berubah? Dia bikin Dara takut. Kenan gak tahu kalo Dara benci di bentak. Dara pengen lari, tapi Dara sayang sama Kenan. Dara harus gimana? Ibu harus bangun biar bisa bilang ke Dara, apa yang harus Dara lakuin." Berbagai pertanyaan yang Dara tahan untuk singgah di otaknya tiba-tiba menerobos masuk tanpa salam di otak Dara, kenapa pria yang ia percayai untuk memegang hatinya malah membuat dirinya ketakutan setiap hari? Dara sudah menuruti permintaan Ken, sudah bersabar menunggu keajaiban yang bisa saja mustahil menghampirinya. Tapi kenapa perilaku Dara selalu salah di mata Ken? Kalau saja Ken membencinya dari awal, kenapa Ken harus menikahi Dara? Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin Dara tanyakan kepada Ken. "Dulu Dara pikir, Dara punya Ken. Tapi Dara salah, Dara cuma punya Ibu," lirih Dara nelangsa. "Dara sayang Ken, cuma Ken yang bisa jadi sandaran Dara, yang bisa melindungi Dara. Tapi di lain sisi, Dara takut." Sekeras apapun Dara mengoceh, menceritakan kisahnya sampai mulutnya berbusa pun, Lastri tak akan pernah bisa menjawab keluh kesahnya. Lastri masih nyaman dengan selang-selang yang melekat di tubuh ringkihnya, dengan berbagai macam alat-alat rumah sakit sebagai penopang hidupnya. Mungkin, jika bukan karena Ken, Dara tidak akan mungkin sanggup membayar semua biaya rumah sakit Lastri. Tidak mungkin juga Lastri menempati ruang VIP. Tak bisa dipungkiri, ia harus berterimakasih untuk itu. Ocehan Dara berakhir pada kantuk. Dara menguap, ia membungkuk melipat kedua tangannya dan menumpukannya sebagai bantal di pinggiran ranjang, ia berusaha tidur dalam posisi duduk. Mencium aroma ibunya adalah satu-satunya obat penenang Dara. Ia rindu Lastri, rindu usapan lembut tangan Lastri di kepalanya. *** "Ok! Kerja bagus semua!" ujar sutradara iklan pada speaker sirine yang ia genggam. Bersamaan dengan take video selesai di ambil. Asisten model buru-buru menghampiri sang model, membantu menutupi bagian terbuka tubuh model itu menggunakan kain tipis. Semua sibuk pada pekerjaan masing-masing, membereskan lighting, properti, kamera, dan lain-lain. Namun Ken masih tetap terdiam di posisinya. Melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul enam sore. Ia terlambat satu jam untuk menjemput istrinya. Ken buru-buru berpamitan pada rekan satu timnya untuk pulang terlebih dahulu. Ia mengambil kunci mobilnya dari dalam saku. Ken Sedikit berlari menuju tempat parkir karena pikiran negatif terus saja mengganggunya. Apalagi jika ingat insiden Dara berbicara berdua dengan dokter muda lajang itu, d**a Ken dipenuhi amarah. Sesampainya di lobi rumah sakit, Ken keluar, melemparkan kunci pada satpam untuk membantunya memarkirkan mobil. Meski satpam rumah sakit tidak bertugas untuk itu, tapi apa peduli Ken? Ken sudah dihantui hal yang tidak-tidak sejak di lokasi tadi. "Minta tolong, Pak, darurat." Ucap Ken seraya berlari masuk. Sangat tidak sopan, untung saja satpam muda itu memaklumi. Ken berlari menuju lift, sesampainya ia di depan lift, kesabaran Ken kembali diuji. Lift masih harus melewati banyak lantai untuk terbuka. Butuh waktu lebih dari tiga menit untuk sampai pada lantai tempatnya berpijak. Ken tentu kalah pada urusan sabar, ia benci menunggu. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke lorong, membuka pintu tangga darurat. Ken berlari menaiki tangga tersebut melebihi kecepatan lift. "Awas aja kalau kamu kabur. Aku bakal kurung kamu gak peduli apapun Dara!" Setelah menaiki beratus-ratus anak tangga, akhirnya Ken menemukan pintu yang bertuliskan 6F, lantai tempat mertuanya dirawat. Ken buru-buru membuka pintu tersebut dan kembali berlari hingga sampai pada depan pintu ruang rawat Lastri. Ia tak peduli sedari tadi menjadi tontonan orang karena berlagak seperti di kejar rentenir. Kaca persegi yang menampilkan keadaan di dalam ruangan membuat Ken bisa bernapas lega saat melihat Dara tidur di samping ibunya. Dengan posisi duduk, dan tangan yang menumpu kepala di tepi ranjang. Posisi wanita itu sama seperti terakhir kali memejamkan kedua matanya untuk tidur. "Suster, buka pintu ruang rawat mertua saya." Ucap Ken kepada suster yang ada di meja resepsionist. Beruntung ruangan Ibu Dara terletak dekat dengan meja resepsionis lantai itu, jadi ia tidak perlu olahraga jantung lagi. Setelah dibuka, Ken menutup kembali pintu tersebut, menghampiri Dara dan menggoyang tubuhnya agar terbangun. "K..ken.." ucap Dara. Ia mengucek matanya dan berusaha berdiri meski ia masih sangat mengantuk. "Ayo pulang." Hanya anggukan yang menjadi jawaban Dara, ia meraih handphonenya dan memasukkan ke dalam tas. Sebelum pergi, tak lupa Dara berpamitan, "Dara pulang dulu, Bu, baik-baik di sini. Nanti Dara ke sini lagi." Bisik Dara. "Cepet!" Ken menarik pergelangan tangan Dara tak sabar. Membawa istrinya kembali pulang setelah beberapa jam mengurungnya di ruangan ibu mertuanya sendirian. *** Tepat pukul setengah dua belas, namun Dara sama sekali belum tidur, bahkan ia sudah tidak sabar menanti hari ulang tahun dirinya dan Ken yang entah takdir atau hanya kebetulan bersamaan. Cake dan kado untuk suaminya sudah Dara siapkan di atas meja kamarnya. Ia tak bisa berhenti gugup. Apa Ken akan senang diberi kejutan seperti yang ia lakukan sekarang? Karena tahun lalu, sebelum mereka menikah, Dara pernah melakukan hal yang sama. Ken tersenyum, ia mengucapkan terimakasih dan mencium bibir Dara untuk pertama kalinya, tepat, di hari ulang tahun mereka, Dara menyerahkan ciuman pertamanya pada cinta pertamanya. Kenan Adam. Namun kenaifan seorang Dara tidak pernah luntur, apalagi saat menjadi istri Ken, ia tidak bisa kemana-mana. Di rumah, menjadi istri yang baik, yang penurut, yang tidak boleh berinteraksi dengan sinar matahari di tempat umum tanpa seizin Ken. Egois memang, Ken tidak memperbolehkan Dara keluar seenaknya tanpa izin darinya. Cklek Pintu kamar Ken kebetulan tidak dikunci, dan di dalam kamar tampak gelap. Kebiasaan Ken saat tidur, ia akan mematikan lampunya, berbeda dengan Dara yang takut saat lampunya mati. Sebelum benar-benar masuk ke dalam kamar, Dara menyalakan lilin yang tertancap di atas cake yang ia bawa. Setelah semua siap, Dara masuk perlahan. Ia membangunkan Ken dengan pelan karena takut membuat Ken terkejut. "Ken," bisik Dara. "Ken bangun," ulangnya. Saat Kenan membuka kedua matanya ia terkejut melihat Dara membawa kue ulang tahun dengan lilin menyala. Ia buru-buru duduk di tepi ranjang. "Happy birthday, Ken." Sorak Dara ceria. Senyum di bibirnya membuat Ken tersihir untuk beberapa detik. "Tiup lilinnya Ken, saya juga punya kado buat kamu." Bukannya meniup lilin, Ken berdiri, menghidupkan lampu dan menatap mata Dara tajam. Sedetik kemudian, ia melempar kue ulang tahun yang Dara pegang, bersama dengan membanting kado ulang tahun yang ada di kotak kecil berpita hingga isinya keluar. Sebuah jam tangan, namun sayang jam tangan tersebut sudah pecah karena bantingan tadi. "Kamu melanggar perintah saya lagi?" bentak Ken. Bentakan itu berhasil membuat Dara mundur dua langkah untuk menjauhi Ken seperti biasa. Dara terpaku, ingin berbicara namun susah bersuara. Kejutan tahun lalu jauh berbeda dengan tahun ini. Jika tahun lalu saat Dara memberi kejutan ulang tahun, Ken sangat senang bahkan tertawa lebar. Kali ini Ken memberikan respon bentakan yang membuat Dara terkejut bukan main. Karena pasalnya Dara tidak membuat kesalahan. Detik itu Dara sadar bahwa Ken telah berubah begitu banyaknya. "Kapan kamu keluar dari rumah tanpa izin dan menyiapkan ini semua!" bentak Ken lagi. "I ... Itu ...," "Jawab!" Dara memundurkan satu langkahnya lagi. Ia harus menghindar sejauh mungkin. Tangannya ia sembunyikan di balik badan, ia tidak mau Ken tahu kalau tangannya sudah bergetar tak karuan menahan takut. "Pas kamu ke luar kota. Saya bohong, saya keluar buat beli cake sama jam tangan itu. Saya mau kasih kejutan, makanya saya gak bilang kamu." Jelas Dara pelan. Ia sangat berusaha untuk bersikap wajar. Meski tangan yang ia sembunyikan di balik punggungnya sudah basah akan keringat dingin. Ken semakin marah, ia tidak tahu bahwa Dara mulai berani berbohong padanya. Dan sialnya ia tidak tahu hal itu. Ken tertawa sinis, Dara sudah melukai harga dirinya. Tawa sinisnya berubah, hanya beberapa detik sebelum ia mengubah ekspresi wajahnya menjadi dingin kembali. Mati-matian Ken menahan marahnya, terlihat dari rahang yang mengeras itu. "Dari mana kamu dapat uangnya? Gak ada laporan kamu pakai uang yang saya kasih ke kamu!! Oh! Kamu sudah dapat laki-laki baru buat beliin jam tangan sama cake buat saya? Gitu? Pintar bohong kamu sekarang!" Tuduh Ken masih marah-marah seperti sedang kerasukan. Jangan takut Dara. Semua bakal baik-baik aja. Ucap Dara dalam hati. "Saya gak pernah kenal sama laki-laki lain. Kamu tahu, kamu pacar pertama saya, sekaligus suami saya. Saya juga gak berani buat cari laki-laki lain. Uangnya dari celengan saya, uang sisa belanja yang saya tabung. Sengaja saya pakai uang itu biar kamu gak curiga saya kasih surprise." "Bohong!" "Saya gak bohong," ucap Dara meyakinkan, meski dirinya sudah putus asa menjelaskan semuanya. "Kamu pikir saya suka kamu kasih kejutan dengan kebohongan kamu seperti ini? Saya sudah muak ya sama kamu! Saya bukan Ken yang dulu, yang akan mengucapkan terimakasih. Kamu tahu pasti saya benci kamu keluar tanpa izin saya. Kamu juga tahu aturannya, setiap kamu melangkah keluar dari rumah ini, kamu harus hidupin GPS kamu, kirim lokasi ke saya dan tentunya harus mendapat izin dari saya lebih dulu." Dara menunduk, ia menjerit dalam hati. Benar, harusnya ia sadar Ken sudah berubah. Harusnya ia paham Ken, harusnya ia menerima kenyataan bahwa Kenan bukan Kenan yang dulu ia kenal. Bodohnya ia selalu berpikir bahwa Ken masih sama. Ken yang dulu tidak akan pernah membentaknya, membuatnya bergetar takut. Dan bahkan, Ken tidak akan pernah membiarkan setetes air mata jatuh membasahi pipi Dara. "Maaf, saya gak akan ulangi lagi Ken," akhirnya hanya kata itu yang bisa Dara ucapkan. "Maaf sudah buat kamu bangun malam-malam gini," tambahnya. "Ya! Kamu ganggu jam tidur saya! Sudah tahu saya capek!" "Maaf." "Kamu tahu ‘kan apa yang bakal saya lakuin kalau kamu berani membantah saya?" tanya Ken dengan nada sedikit mengancam. "Maaf, Ken. Maaf, saya gak bakal bohong lagi. Jangan hukum saya." "Kamu tahu, saya tidak pernah menyakiti kamu Dara. Hukumannya cukup kamu berada di ruangan gelap. Seperti terakhir kali, kamu pingsan dan membuat susah saya harus membawa kamu ke rumah sakit. Hukuman untuk seorang Dara pembangkang." Tekan Ken menertawakan perilakunya dulu. Ken benar-benar tidak menyangka bahwa Dara sangat takut berada di ruang kosong yang gelap sendirian. Wanita itu sampai pingsan Ken kurung beberapa menit. Suatu kesenangan bagi Ken, bahwa ia tahu kelemahan Dara tanpa harus menyakiti gadis itu. "Jangan! Saya gaakan ulangi lagi, saya salah Ken, maaf." Lirih Dara menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali. Ia sangat takut Ken akan menghukumnya malam ini. "Kali ini saya harap kamu benar-benar pegang ucapan kamu itu." Dara mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Ia bersyukur jika Ken tidak akan menghukumnya dengan cara kejam itu lagi. Dara berjongkok, mengambil jam tangan rusak yang tadi Ken banting serta membawa pergi cake yang sudah hancur dari atas lantai itu. Dara keluar dari kamar, tanpa mau menoleh lagi. Membuang kedua barang yang awalnya ia bawa utuh menjadi tidak berbentuk lagi saat keluar dari pintu yang ia masuki beberapa menit lalu. "Kenan, kamu tahu kamu jahat? Harusnya dulu saya gak kasih tahu kamu kalau saya takut gelap. Harusnya, saya gak kasih tahu itu dan biarin kamu nekan ketakutan saya." Isak Dara. Punggungnya bergetar hebat. Ia menangis sesenggukan di depan tempat sampah. Tanpa Dara sadari, Ken melihat punggung bergetar itu. Namun tak ada ekspresi yang Ken tunjukan selain datar. Ada makna tersirat dibalik semuanya. - To be continued -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN