Deru motor tua milik tetangganya menjadi satu-satunya suara yang memecah pagi itu. Vivian Azalia duduk di teras rumah kontrakan mungilnya, memandangi secangkir teh hangat yang tak ia sentuh. Kepalanya terasa berat, dadanya sesak oleh serangkaian kenyataan yang tak kunjung memberinya celah untuk bernapas.
“Gimana ini, Vi…” gumamnya lirih, memeluk lutut. Di dalam rumah, ibunya batuk keras. Suara napasnya kini sering terdengar berat, dan harga obat-obatan semakin melambung.
Tabungan mereka? Sudah habis bahkan sebelum bulan ini dimulai.
Pekerjaan freelance-nya sebagai editor video tak memberi penghasilan tetap. Kadang dapat order, kadang kosong. Dan sekarang, dia tak punya waktu untuk menunggu. Ibunya butuh perawatan rutin dan terapi yang tak bisa dibayar dengan belas kasihan.
Saat itu ponselnya berbunyi. Sebuah notifikasi dari grup lowongan kerja.
Dicari segera: Pengasuh pribadi untuk anak-anak. Full-time, tinggal di tempat. Gaji: Sangat tinggi.
Lokasi: Rumah pribadi di daerah elit.
Info: [Nomor kontak + link]
Hanya untuk kandidat serius & bertanggung jawab.
Vivian mengernyit. Biasanya, pekerjaan semacam itu menawarkan upah standar. Tapi ini? Terlalu tinggi. Terlalu bagus untuk dilewatkan. Tidak biasanya seorang pengasuh akan mendapatkan gaji setinggi ini.
Sesuatu dalam dirinya berkata hati-hati. Tapi suara lainnya—yang lebih putus asa—berbisik, ambil saja dulu. Kau bisa mundur kapan saja.
Ia langsung membuka browser dan mengetik cepat nama keluarga: Hartanto Group.
Nama itu muncul di mana-mana. Perusahaan properti, otomotif, hingga media digital. Dan foto pria di bagian CEO membuat jantungnya sedikit berdebar—Leonard Hartanto.
Dingin.
Kaku.
Wajahnya tak asing. Ia pernah melihat berita tentang kematian istrinya dua tahun lalu karena kecelakaan mobil saat hujan deras. Istrinya meninggal di tempat, meninggalkan empat anak yang masih kecil.
Empat anak? Vivian mereguk saliva. Mungkin itu sebabnya gajinya besar. Satu anak saja menurutnya sudah membuatnya kerepotan apalagi empat anak. Dia tidak bisa bayangkan akan seperti apa repotnya dirinya nanti ketika menjadi pengasuh di sana.
Dengan niat mengumpulkan informasi lebih dulu, Vivian memutuskan untuk datang ke alamat kantor rekrutmen yang tertera di iklan.
**
“Serius kamu mau ambil kerjaan itu?” tanya seorang wanita paruh baya yang duduk di ruang tunggu bersamanya. “Saya aja baru aja ditolak, padahal udah pengalaman 10 tahun.”
“Kenapa ditolak, Bu?” tanya Vivian, pelan.
“Entahlah…katanya bukan soal pengalaman. Tapi…ya, banyak yang gagal di sana. Anak-anaknya katanya nakal, bandel. Banyak pengasuh keluar dalam hitungan minggu. Bahkan ada yang lari malam-malam.” Ia merapatkan jaketnya, suara mengecil. “Dan Bapak Leonard… bukan tipe orang yang mudah didekati.”
Vivian merebut khalifah dengan berat. Rasa ragu mulai merayap pelan. Cerita itu sungguh menakutkan baginya. Dia pun merasa di dalam sekarang harus memilih. Sebelum terlambat dia masih bisa kabur untuk sekarang. Tapi sebelum sempat berkata apa-apa, pintu ruangan rekrutmen terbuka.
“Vivian Azalia?”
Ia berdiri gugup. “Iya, saya.”
Petugas hanya mengangguk, mengisyaratkan ia masuk.
Ruangan itu dingin dan rapi. Seorang wanita dengan setelan hitam elegan duduk di balik meja, memandangi berkas di tangannya.
“Latar belakangmu tak biasa,” katanya tanpa basa-basi. “Bukan lulusan keperawatan atau pendidikan anak, tapi kami tertarik. Kamu tinggal bersama ibu, ya?”
Vivian mengangguk. “Iya, beliau sedang sakit dan…”
“Kami menyediakan tempat tinggal, makanan, fasilitas kesehatan…dan tentunya, gaji.” Wanita itu menyodorkan selembar kertas. Vivian nyaris terbatuk saat membaca nominalnya. Di sana terserah gaji sebulan yang akan diterima adalah lima belas juta. Itu fantastis sekali baginya. Tidak pernah selama ini dia mendapatkan gaji sebanyak itu dari kerja serabutannya. Hingga dia tidak percaya dan menganggap ini semua mimpi.
“Ini…ini benar?” pekik Vivian masih tak percaya.
“Ya. Tapi kamu harus bisa tinggal penuh di sana. Tidak boleh pulang tanpa izin. Anak-anak membutuhkan figur yang konsisten.”
Vivian menggigit bibir. “Saya… butuh waktu memikirkan—”
Pintu di belakang terbuka. Langkah kaki terdengar tegas. Wanita itu segera berdiri menyambut seseorang yang datang. “Pak Leonard.”
Vivian refleks ikut berdiri dan membalikkan badan.
Dan di sanalah dia. Leonard Hartanto.
Tinggi. Dingin. Rahangnya tajam, tubuhnya dibalut kemeja hitam yang kontras dengan kulit putihnya. Tapi bukan itu yang membuat Vivian membeku.
Tatapan pria itu menatapnya—tajam, membelah udara seperti pisau. Namun di baliknya… ada ketidakpercayaan. Ada kejutan.
Seolah ia sedang menatap… hantu.
“Kamu siapa?” suaranya dalam dan kaku.
“Vi—Vivian Azalia, Pak,” jawabnya gugup bukan hanya dengan pertanyaan yang mendadak dilontarkan padanya tapi juga wajah Leonard yang membuatnya setengah takut.
Leonard mendekat, matanya menyisir wajah Vivian dengan intensitas yang membuat darahnya berdesir.
Wanita di meja terlihat canggung. “Pak Leonard, Miss Vivian kandidat terakhir hari ini. Kami—”
Leonard mengangkat tangan, menyuruh diam.
“Siapa yang mengirimmu ke sini?” tanyanya, kali ini pelan.
“Saya melihat lowongan di grup, Pak,” jawab Vivian pelan. Ia ingin mundur, tapi kakinya menolak, entah karena takut atau karena kebutuhan yang mendesak.
Leonard memandangi wajahnya lama. Sangat lama.
Lalu dengan suara hampir seperti bisikan, ia berkata, “Wajahmu… seperti dia.”
Vivian mengerutkan alis. “Dia… siapa, Pak?” tanyanya tak mengerti apa yang dimaksud.
Namun Leonard tidak menjawab. Ia berbalik, melangkah keluar ruangan. Sebelum pintu menutup, ia hanya berkata singkat kepada wanita di balik meja.
“Beri dia kontraknya.”
Se-kepergian Leonard, wanita tadi kemudian mengajak Vivian untuk duduk kembali. Dia kemudian mengeluarkan berkas yang berisikan kontrak. Apa saja yang diinginkan tulis di sana.
“Baca ini dulu sebelum menandatanganinya,” ucapnya menggeser map beberapa lembar dokumen di dalamnya.
Tanpa berkata Vivian membuka halaman demi halaman dan membacanya sampai pada halaman terakhir.
“Tanda tangan di sini,” untuk wanita itu pada sebuah sisi di sudut bawah halaman.
Sesaat Vivian memejamkan mata. 'Bertahanlah demi ibu sebentar saja selama setahun untuk biaya pengobatannya.'
Vivian membuka mata dan membubuhkan tanda tangannya di sana setelah memikirkannya.
**
Malam itu, Vivian duduk di tepi ranjang, memandangi dokumen yang baru saja ia tanda tangani. Kontrak kerja satu tahun. Semua terasa seperti mimpi—atau mimpi buruk yang terlalu nyata.
Ia membuka galeri ponselnya, mencari kembali berita lama soal Leonard Hartanto. Dan di sana… foto wanita itu. Istrinya yang meninggal dua tahun lalu.
Vivian menatap layar dengan napas tercekat.
Wajah itu…
Sangat mirip dengan dirinya. Terlalu mirip.
Seolah mereka… saudara kembar yang terpisah.
“Kenapa mirip sekali?” bisiknya terperanjat.