Bab 5 Terancam Gagal Menjadi Dokter Spesialis

1803 Kata
Berita tentang tuntutan yang diajukan keluarga pasien itu, entah bagaimana, telah meramaikan laman-laman berita pada besok harinya. Wanita yang merupakan menantu dari keluarga Dwelly itu terus berkoar-koar di depan media, menuduh dokter Brandy Colleen dengan kejam. Pernyataannya memicu kemarahan anggota keluarga Dwelly yang lain, hingga akhirnya ikut mendukung upaya untuk melaporkan dokter Brandy Colleen. Gelombang reaksi netizen pun terus berkembang sejak semalam. Dokter Brandy Colleen yang sebelumnya sempat mendapat pujian karena prestasi akademiknya serta pencapaiannya yang luar biasa dalam menyembuhkan kakeknya yang mengalami serangan stroke, sejak malam itu berbalik menerima hujatan dari netizen. Alhasil pagi itu Brandy bangun dengan kepala pening. Dia sempat memantau reaksi netizen saat berita itu mulai diposting. Awalnya komentar netizen masih wajar namun semakin larut komentar mereka berkembang liar di saat ada seseorang menambahkan minyak ke dalam api, hingga kobaran api kemarahan netizen semakin membesar. Saat Brandy bangun pagi itu, semua sudah berkembang di luar kendali. Brandy frustrasi menghadapi masalah yang datang seperti gelombang pasang dalam hidupnya itu. Suara dering ponselnya yang terus menjerit sejak subuh dia abaikan. Brandy terlalu takut menghadapi pertanyaan rekan-rekannya ataupun keluarganya. Brandy tidak pernah mengalami hal seperti ini sejak dia masuk ke dunia kedokteran bertahun-tahun lalu. Segala sesuatu berjalan lancar. Yang menjadi persoalan dalam hidupnya hanya kurangnya dukungan materi dari ayahnya yang hanya fokus pada ibu tiri dan saudara tirinya. Namun itupun bisa dia selesaikan dengan berusaha mendapatkan beasiswa. Brandy bisa sampai sejauh ini dengan perjuangan berat. Bisa memenangkan persaingan ketat untuk mendapatkan beasiswa dari saat kuliah S1 dan sekarang Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) memerlukan usaha yang sangat besar. Lalu bagaimana semua itu bisa terjadi? Di saat-saat dirinya hanya tinggal tiga bulan lagi akan menyelesaikan pendidikan spesialis, justru masalah itu datang. Sungguh, secara mental Brandy tidak siap untuk menghadapi masalah ini. Sekarang ini dia hanya fokus untuk menyelesaikan pendidikannya, sama sekali tidak terbayang akan mendapat tuntutan malpraktik dari keluarga pasien. Pagi itu, Brandy sampai di rumah sakit dengan tubuh meriang. Dia kurang tidur dan stres. Ketika dia memasuki ruangan dokter residen, dokter Sanny Robin, sahabatnya melihat wajahnya yang pucat dan menyapanya. "Selamat pagi, Bree. Kamu tidak menerima teleponku. Kamu tidak sakit, kan?" "Aku tidak apa-apa, San. Hanya sedikit pening karena kurang tidur." Jawab Brandy sambil meletakkan tas di atas meja. "Sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan. Kamu pasti belum sempat sarapan. Yuk, sarapan dulu, Bree. Aku membeli dua paket sarapan, jadi satu buat kamu." Kata Sanny penuh perhatian. Sanny meletakkan satu kotak nasi kuning dan segelas teh di meja Brandy. "Terima kasih, San." Brandy berkata sambil menatap sahabatnya terharu. Karena merasa tertekan dengan pemberitaan mengenai tuduhan keluarga Dwelly terhadapnya, Brandy sudah tidak terpikirkan untuk sarapan. "Makanlah, Bree. Perutmu harus diisi agar tidak sakit lagi seperti beberapa hari lalu." "Iya, San." Sambil menikmati sarapan, Sanny memberikan dukungan dengan suara yang penuh empati, "Bree, aku tahu ini sangat sulit bagimu. Tapi ingatlah, kamu adalah dokter yang luar biasa dan kami semua percaya kamu tidak melakukan kesalahan. Jangan biarkan situasi ini mengalahkanmu. Kamu kuat, Bree. Aku dan rekan-rekan para medis mendukungmu." Brandy mengangguk sambil menatap Sanny penuh rasa terima kasih. "Tuduhan malpraktik itu hanya omong kosong. Aku sempat mengikuti proses perawatan yang kamu lakukan, semuanya sesuai prosedur. Kamu bahkan dengan jeli melihat gejala sampingan hingga bisa menentukan langkah perawatan yang tepat." Kata Sanny lagi. Nada suaranya kali ini mengandung kemarahan. "Aku tahu, San. Tapi sikap keluarga Dwelly benar-benar membuat aku merasa terjepit. Tuntutan malpraktik ini seperti mimpi buruk dan ditambah komentar netizen membuat semuanya menjadi sangat mengerikan." Keluh Brandy. Sanny meletakkan tangannya di atas punggung tangan Brandy. "Aku paham betul perasaanmu, Bree. Semua dokter yang mengalami situasi ini pasti akan menunjukkan reaksi yang sama. Semua bisa merasakan hal yang sama dengan apa yang kamu rasakan saat ini. Kita akan mencari bantuan, mengumpulkan bukti, dan melawan tuntutan ini bersama-sama." Brandy kembali mengangguk. "Terima kasih, San. Aku sangat dikuatkan oleh dukunganmu. Dan terima untuk sarapannya. Ini enak sekali. Lain kali nanti aku yang traktir ya?" "Oke. Aku tunggu, Bree." Sambut Sanny sambil tersenyum. Mereka menyelesaikan sarapan sambil terus berbincang-bincang. Perasaan Brandy menjadi sedikit lega saat itu. Ketika mereka sudah bersiap-siap untuk memulai kunjungan pasien, direktur rumah sakit meminta Brandy untuk ke ruangannya. Wajah Brandy menegang, merasa khawatir akan apa yang akan disampaikan oleh pimpinan mereka mengingat berita itu sudah tersebar luas. Bagaimana pun, nama rumah sakit ikut terseret dalam kasus ini. Namun Sanny terus menyemangati Brandy. "Kamu pasti bisa menghadapinya, Bree. Ingat, kamu memiliki integritas dan kompetensi yang luar biasa. Aku yakin direktur rumah sakit akan menghargai itu." Ujarnya sambil menepuk bahu Grizella lembut. Brandy mengangguk. "Terima kasih, San. Aku akan mencoba yang terbaik." Dengan semangat dari Sanny, Brandy memasuki ruang direktur dengan perasaan lebih tenang. Di ruangan direktur rumah sakit, Brandy melihat ada dokter Sharon Avilla. Wanita itu merupakan residen spesialis penyakit dalam sekaligus menjabat sebagai manajer pelayanan medik dan marketing dalam struktur direksi rumah sakit. Brandy merasa tidak nyaman bertemu langsung dengan wanita itu mengingat sejarah hubungan mereka yang kurang baik. Wanita itu sekarang menjadi tunangan Natan. Ketegangan langsung terasa di udara begitu Brandy masuk ke ruangan direktur. Dokter Sharon Avilla menatap Brandy dengan tatapan tajam, "Brandy, saya sangat kecewa dengan kondisi ini. Anda tidak hanya membuat kesalahan besar, tetapi juga menempatkan reputasi rumah sakit dalam bahaya. Bagaimana Anda bisa begitu lalai dan tidak kompeten?" Brandy menegakkan dagunya, menanggapi dengan tegas, "Saya tidak setuju dengan tuduhan itu, Dokter Avilla. Saya telah melakukan segala yang terbaik dalam merawat pasien. Keadaan yang terjadi mungkin di luar kendali saya." Dokter Avilla menggeleng keras, "Itu tidak cukup. Kami harus menemukan solusi untuk masalah ini dengan cepat, sebelum reputasi rumah sakit tercemar lebih lanjut." Brandy tersenyum kecut. Berusaha menjelaskan masalah tersebut dari sudut pandangnya. Namun dokter Sharon Avilla tetap menyalahkannya. Brandy berkata, "Saya memahami keprihatinan Anda, Dr. Avilla, tetapi saya yakin ada hal-hal yang perlu dipertimbangkan secara lebih mendalam sebelum menarik kesimpulan." Dr. Avilla membalas dengan nada dingin. "Saya tidak melihat alasan untuk mempertimbangkan lebih lanjut. Anda telah membuat kesalahan yang serius, dan kami harus bertindak sesuai dengan itu." Brandy tidak mau menerima pendapat tendensius dari wanita yang selalu memusuhinya itu. "Saya memahami pentingnya kesalahan yang terjadi, tetapi saya yakin ada faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam situasi ini." Dr. Avilla mengeleng-gelengkan kepalanya sebelum berbicara, "Faktor-faktor lain apa lagi yang ingin Anda pertimbangkan? Anda bertanggung jawab atas kesalahan ini, dan sekarang kami harus menanggung akibatnya." "Saya tidak menyangkal tanggung jawab saya, tetapi saya percaya bahwa ada cara untuk menyelesaikan masalah ini dengan bijaksana dan adil bagi semua pihak yang terlibat." Balas Brandy. Dia tidak akan menyerah. "Saya tidak yakin ada solusi yang bisa diterima oleh semua pihak dalam situasi ini. Anda harus siap menerima konsekuensi dari tindakan Anda." Kali ini suara dokter Sharon Avilla mulai terdengar sinis. Brandy tidak bisa diintimidasi, dia tetap berbicara dengan penuh tekad, "Saya akan melakukan yang terbaik untuk menyelesaikan masalah ini. Saya akan mengumpulkan semua bukti untuk mendukung upaya pembelaan saya." "Oke. Kami akan melihat apa yang bisa dilakukan dalam hal ini, tetapi saya tetap mempertahankan pendapat saya bahwa Anda bertanggung jawab atas kesalahan ini. Keluarga pasien tidak main-main. Mereka sudah melaporkanmu ke pihak berwajib." Brandy menatap wanita itu dengan sorot mata penuh tekad dan berkata, "Saya akan menghadapi tuntutan itu. Saya akan membuat dokumentasi pelayanan medis yang sudah saya lakukan terhadap pasien itu." Sharon mengibaskan tangannya. "Tidak ada gunanya. Kamu tidak bisa melawan kekuatan besar keluarga Dwelly." "Tapi saya tidak bersalah, Dokter Avilla!" pekik Brandy, mulai merasa frustrasi. Sharon menggeleng. "Sayangnya, itu bukan hanya tentang bersalah atau tidak, Brandy. Ini tentang reputasi rumah sakit ini. Dan saat ini, reputasi itu dalam bahaya besar karena tindakan Anda." Dia menunjukkan dengan jelas seringai jahatnya. "Mereka hanya menuduh tanpa melihat fakta yang sebenarnya." Ujar Brandy berusaha bertahan. Dokter Sharon Avilla menatapnya tajam. "Karena masalah ini, Anda akan dikeluarkan dari program PPDS. Dan karena tuntutan malpraktik ini sangat serius, Anda akan menerima sanksi pencopotan gelar akademik dan kewajiban mengembalikan uang beasiswa pendidikan yang sudah Anda terima sejak pendidikan S1 plus denda, karena Anda dinilai telah lalai dalam mengemban kepercayaan donatur. Kalau dihitung-hitung nilainya hampir satu setengah milyar." Kata dokter Sharon Avilla dengan ekspresi datar. Sama sekali mengabaikan pembelaan Brandy Brandy merasa seperti dunianya runtuh. Matanya berkaca-kaca, namun dia berusaha menahan air matanya. "Tapi ini tidak adil," ucapnya dengan suara gemetar. “Ini bukan soal adil dan tidak adil, dokter Colleen. Kami hanya berusaha menyelamatkan reputasi dan masa depan rumah sakit ini dari kemungkinan dampak buruk kasus yang sedang Anda hadapi. Kami tidak ingin mempertaruhkan nasib begitu banyak orang hanya untuk membela satu orang residen yang bermasalah.” Ucap dokter Sharon Avilla. Kata-kata wanita itu semakin kejam. Brandy menatap direktur rumah sakit, meminta perlindungan pada pria setengah baya yang sejak tadi hanya berdiam diri menyaksikan percakapannya dengan dokter Sharon Avilla. “Bagaimana ceritanya bisa jadi begini, Pak? Bukankah pihak direksi rumah sakit akan membantu saya menghadapi tuntutan tersebut? Saya tidak bersalah. Tuntutan keluarga Dwelly hanya mengada-ada.” Kata Brandy dengan suara bergetar. Pria itu sebelumnya menyatakan bahwa pihak rumah sakit akan berusaha membantunya. Tapi sekarang dia malah menatap Brandy dengan tatapan hambar. Seketika Brandy merasa sesak. Apakah mereka akan membiarkannya menghadapi ini sendirian? "Untuk kasus seperti ini, rumah sakit akan menerima dampak buruk yang sangat besar. Tentu saja kami tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Jadi Anda harus menerima konsekuensi ini secara pribadi." Kata direktur dengan nada tidak peduli. "Apa?" Brandy terperanjat. Dia tidak menduga direktur rumah sakit akan bersikap seperti itu. Sesaat Brandy terdiam dengan wajah pucat. Melihat wajah kejam Sharon, dan ekspresi tidak peduli di wajah dokter Ramos Warren, dia menangkap sesuatu yang tidak beres. Namun dia kemudian menatap kedua orang di depannya dengan penuh tekad. “Dokter Warren dan dokter Avilla rupanya sangat mengharapkan saya menyerah dan pasrah menghadapi kehancuran yang sengaja ditimpakan pada saya, tapi tidak! Saya tidak akan membiarkan siapapun menyusahkan saya dengan tuduhan tak berdasar seperti itu. Saya pasti akan menemukan jalan untuk menghadapi tuntutan itu. Selamat pagi!" Setelah mengucapkan kalimat itu, Brandy berbalik melangkah ke pintu. Di belakangnya dokter Sharon Avilla menatapnya dengan mata berkilat penuh kebencian. Dia mengepalkan kedua tangan di samping tubuhnya dengan kuat hingga buku-buku jarinya memutih dan ujung kukunya menimbulkan rasa sakit di telapak tangannya. Dia tidak akan berhenti hingga masa depan pengganggu hubungannya akan berakhir. *** Di ruang kerjanya yang luas dan mewah, yang berada di lantai dua puluh delapan gedung perkantoran mewah yang menjulang tinggi di kawasan bisnis yang ramai itu, Rowan terus sibuk menatap layar ponselnya sambil ibu jarinya terus menggulir layar. Rowan sedang membaca berita tentang dokter yang dituntut melakukan malpraktik. Namun perhatiannya bukan tersedot pada kasus itu, tetapi profil singkat sang dokter yang telah berhasil menyembuhkan kakeknya sendiri dari kelumpuhan akibat stroke. Inilah orang yang dia cari. Sepasang mata Rowan berbinar-binar. Rowan segera memanggil Jasman, asistennya, yang langsung datang dengan cepat. “Ada apa, Tuan Marthin?” Rowan menyodorkan ponselnya, yang layarnya masih menampilkan profil dokter Brandy Colleen. “Selidiki semua hal tentang wanita ini.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN